Menurut pandangan saya mengenai emotional eating adalah sesuatu perasaan atau hal yang dapat menyebabkan seseorang makan secara berlebihan.
Saya meyakini bahwa ketika seseorang mengalami emotional eating, makanan tidak hanya dikonsumsi karena rasa lapar, tetapi lebih sebagai upaya untuk mengatasi kondisi psikologis dan mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh stres.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Syarofi dan Muniroh (2020) terhadap mahasiswa tingkat akhir prodi gizi di Fakultas Kesehatan Universitas Airlangga, sebanyak 55% responden setuju bahwa makan berlebihan saat sedang stres merupakan bentuk perilaku untuk menghindari penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
Penelitian lain dari Norwegian juga menyatakan bahwa tekanan psikologis dan stres memiliki hubungan yang kuat dengan makan secara emosional, dengan hasil odds ratio (OR) sebesar 4.2 (CI95% 3.9–4.4), dan 54% terjadi pada wanita. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tingkat stres yang dialami seseorang dapat memengaruhi kondisi psikologis mereka, yang kemudian berdampak pada pola konsumsi makanan mereka.
Terdapat banyak faktor-faktor yang dapat menyebabkan emotional eating, menurut saya faktor-faktor tersebut seperti stres, kecemasan, depresi, dan kurang tidur yang secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya emotional eating.
Saya berpendapat bahwa kondisi stres, kecemasan, dan depresi dapat membuat seseorang mengalami perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati, yang kemudian dapat mendorong perilaku makan berlebihan sebagai bentuk mengatasi emosi negatif.
Selain itu, kurang tidur juga dianggap sebagai faktor yang memperbesar risiko emotional eating karena menyebabkan pelepasan hormon ghrelin yang meningkatkan nafsu makan. Data dari penelitian yang dilakukan oleh Guerdjikova et al. (2017) menunjukkan bahwa tingkat depresi, kecemasan, dan stres berkontribusi pada kejadian emotional eating pada responden.
Demikian pula, hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutiek (2021) menyoroti peran mediator emotional eating dan kualitas tidur pada responden, menunjukkan keterkaitan yang signifikan (p-value 0,009). Oleh karena itu, menurut saya, mengelola stres, kecemasan, depresi, dan menjaga tidur yang cukup bukan hanya penting untuk pencegahan dan penanganan emotional eating, tetapi juga untuk menjaga kesehatan secara keseluruhan.
Saya meyakini bahwa emotional eating yang tidak terkendali memiliki dampak yang signifikan pada pola makan seseorang. Ketika seseorang terjerumus dalam emotional eating, makanan seringkali dikonsumsi tanpa perencanaan dan impulsif. Penyebabnya dapat ditemukan dalam perubahan beban allostatic, yang mengacu pada ketegangan kronis yang dihasilkan oleh sistem tubuh yang mengatur stres. Hal ini dapat memicu adaptasi neurobiologis dalam otak yang meningkatkan perilaku kompulsif terkait dengan makanan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lovyana & Humayrah (2023) ditemukan bahwa emotional eating memiliki korelasi yang kuat dengan pola perilaku makan makanan yang tidak sehat (p=0,000 atau p<0,05) dengan nilai korelasi sebesar 0,488, arah yang positif. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa emotional eating yang tidak terkendali dapat mengubah pola makan menjadi tidak terencana, tidak seimbang, dan kompulsif, sehingga seseorang dapat kehilangan fokus pada rencana makanan sehat yang telah mereka tetapkan sebelumnya dan memilih makanan yang tidak sesuai dengan tujuan kesehatan mereka.
Selain itu menurut saya, emotional eating juga memiliki dampak serius terhadap kesehatan, yang dapat menyebabkan peningkatan asupan kalori dan natrium yang berpotensi mengakibatkan peningkatan berat badan, obesitas, dan penyakit kronis. Orang yang cenderung mengalami emotional eating sering kali memilih makanan yang tinggi kalori dan natrium, seperti makanan cepat saji, makanan manis, dan makanan asin. Hal ini dapat diatribusikan pada asosiasi makanan tinggi kalori dan natrium dengan kesenangan dan kenikmatan, yang menjadi pilihan untuk mencapai rasa nyaman dan kepuasan saat mengalami emosi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekaningrum pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mengalami gangguan makan emosional mengonsumsi lemak dan natrium dalam jumlah yang berlebihan. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa kontrol emosi yang buruk dan kecenderungan untuk mengatasi stres dengan makanan tinggi kalori dan natrium dapat memiliki dampak signifikan pada kesehatan jangka panjang. Dengan demikian, perlu ditekankan pentingnya pendekatan holistik dalam manajemen kesehatan dan mendorong adopsi pola makan yang seimbang untuk menghindari risiko kesehatan yang dapat timbul dari emotional eating.
Saya meyakini bahwa kualitas diet dapat menjadi indikator yang sangat relevan untuk menilai asupan dan pola makan seseorang yang mengalami emotional eating. Kualitas diet mencerminkan sejauh mana seseorang mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya, karena diet yang seimbang dan berkualitas tinggi cenderung mencakup beragam jenis makanan yang menyediakan nutrien penting.
Sebaliknya, diet rendah kualitas mungkin mencakup konsumsi berlebihan makanan olahan, fast food, atau makanan tinggi gula tambahan dan lemak jenuh. Hal ini dapat mengakibatkan defisiensi nutrisi atau ketidakseimbangan asupan nutrisi.
Studi kohort menunjukkan bahwa konsumsi diet berkualitas tinggi dapat mengurangi risiko kenaikan berat badan. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu yang mengikuti pola makan Mediterania dengan kualitas tinggi memiliki kenaikan berat badan yang lebih rendah. Dengan mengevaluasi kualitas diet seseorang, kita dapat memahami sejauh mana kebutuhan nutrisi tubuh mereka terpenuhi, memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan tubuh.
Saya berpendapat bahwa seseorang yang mengalami emotional eating memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami obesitas. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk makan berlebihan dan mengonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi gula. Dalam proses ini, kelebihan asupan energi akan disimpan sebagai lemak, dan karena kapasitas tubuh untuk menyimpan lemak tidak terbatas, ini dapat mengakibatkan peningkatan jaringan adiposa dan pada akhirnya, terjadinya obesitas.
Data dari penelitian Trimawati & Wakhid (2018) mendukung pandangan ini, menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden yang mengalami stres dan menunjukkan perilaku emotional eating mengalami peningkatan berat badan yang signifikan.
Seseorang yang terbiasa dengan emotional eating cenderung mengonsumsi makanan tinggi lemak, dan ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan energi yang, dalam jangka panjang, dapat berdampak pada peningkatan berat badan. Oleh karena itu, mengenali dan mengatasi perilaku emotional eating adalah langkah penting dalam mencegah obesitas dan menjaga kesehatan yang optimal.