Indonesia saat ini dilanda bencana yang tentunya menyentil rasa kemanusiaan orang Indonesia selain di wilayah terjadinya gempa. Pertama di Lombok, selang beberapa bulan terjadi di palu, gempa dan tsunami yang menewaskan seribuan lebih penduduk palu dan diperkirakan akan bertambah jumlahnya.
Berbagai organisasi dan secara individu melakukan penggalangan bantuan, kakak saya di Makassar menghubungi saya merelakan beberapa baju untuk disumbangkan. Tentu segera saya iyakan tanpa perlu berpikir panjang. Begitupula teman-teman yang satu grup whatsapp dengan saya yang ada di Makassar sedang berdiskusi untuk memutuskan jenis bantuan yg akan mereka berikan. Saya yakin semua juga hampir sama dengan saya.
Tapi ada satu hal yang saya rasa tak penting untuk diberitakan. Adalah tentang Ratna Sarumpaet yang mendaku seorang aktivis. Beliau sering tampil di beberapa stasiun teve, paling sering kalau tidak salah di acara Indonesian Lawyers Club’ (ILC) – program tvone yang setiap Selasa malam tapi tak banyak lagi diisi oleh Lawyers. Dulunya masih.
Tak ada hal yang menarik untuk diberitakan soal beliau (baca: Ratna Sarumpaet), apalagi beliau terbukti berbohong. Sengaja atau tidak tapi tindakan ini sudah menciderai akal sehat, orang-orang dipaksa untuk mempercayai kata-katanya, lebih parahnya lagi dalam situasi politik seperti ini dia bisa memainkan kehebohan agar dia menjadi pembicaraan dan bisa trend.
Yang terkahir di atas terbukti, karena orang ramai membicarakan dia di sosial media dan terus diberitakan sampai sekarang, belum lagi orang yang membuang tenaga berdebat tentang dia. Kalau ini adalah sebuah gerakan politik berarti koalisi yang sering bertengkar dengan beliau di depan teve harus hati-hati. Ratna menjadi trending topik. Satu Indonesia membicarakan dia, meski dia telah mengaku bohong.
Meski ia sudah mengaku tetap saja berita tentangnya dibahas oleh media sampai Prabowo mengadakan jumpa pers di kediaman Kartanegara. Tampil sebagai sosok pemimpin yang melindungi orang-orangnya, meski nyatanya dibohongi ia terlihat begitu tenang menanggapi Ratna.
Tak seperti Prabowo di masa orde baru. Citra itu bisa ia bangun dari kekonyolan Ratna. Besok-besok mungkin ada Ratna yang lain lagi dijadikan korban sebagai jalan eksistensi satu pihak peserta pilpres. Satu-satunya tujuan adalah memang hanyalah menciptakan pembahasan heboh di media massa. Karena itu salah satu tujuannya jadi tak perlu urusi Ratna.
Tapi bagiamanapu media memang akhir-akhir ini sangat gatal mengangkat isu yang berkaitan dengan politik. Pilih-pilih jugalah mana yang pantas dan fakta. Memang teori “bad news ia a good news” sudah tergantikan dengan “fake news ia a good news”.
Peran media yang mementingkan akurasi tak berjalan disini. Media yang memberitakan kalau Ratna dipukuli menelan mentah-mentah perkataan narasumbernya. Di zaman sekarang diperlukan nalar atas mempercayai keterangan.
Ratna tak salah, yang disayangkan media yang terus mengurusi berita ini dan bisa tertipu. Tentang berita bohong ada yang lucu terjadi di kota kecil di Sulawesi Selatan. Palopo nama kotanya.
Selasa tengah malam, sekitar jam dua, penduduk dikagetkan dengan berita akan terjadi tsunami. Kedua orang tua saya yang kebetulan tinggal di Palopo dibangunkan tetangga di samping rumah untuk segera menyelamatkan diri. Beberapa penduduk juga sudah meninggalkan rumahnya dan bepergian ke arah puncak, kebetulan dataran tinggi tak begitu jauh dari situ. Mereka terus berlarian, mempercayai kabar yang tak jelas, tanpa menyadari apakah di Palopo berpotensi terjadinya tsunami atau gempa? Jika melihat dari sejarah adanya gempa dan tsunami, Palopo tidak termasuk daerah rawan. Hampir seluruh penduduk meninggalkan rumahnya, kepanikan ada di mana-mana. Itulah yang dinginkan fake news.
Persis seperti Ratna yang mengadu ke Prabowo lantas mengakibatkan kepanikan. Saya harus berterima kasih dengan Ratna sekali lagi karena dia telah membuka mata bahwa media saat ini kredibilitasnya masih bisa digoyahkan. Dan menunjukkan matinya elemen jurnalisme untuk memberitakan kebenaran serta melakukan konfirmasi kebenaran.
Sekarang beliaunya sudah mengaku berbohong, media tak perlu lagi melebarkan isu ini ke hal lain-lain. Anda-andalah yang secara ideal berperan dengan baik mendesak pemerintah, jangan sampai kehilangan ke-ideal-an itu. Bagaimana mau menjadi corong kebenaran dan social control kalau anda bisa dibohongi oleh satu orang Ratna.
Apakah anda kekurangan isu? Saya pikir tidak, banyak hal yang tak tampak memang tapi bukankah sebagai pekerja media menampakkan itu. Banyak yang perlu dilakukan, kasus kendeng misalnya tak tersentuh media mainstream dan kalaupun diberitakan pasti melemahkan gerakan penolakan pabrik semen. Informasi terbaru gempa dan tsunami di palu dan donggala masih perlu kita ketahui. Penyebabnya secarah ilmiah. Baru-baru ini penyegelan gereja di Jambi, kasus-kasus tentang keagamaan akhir-akhir ini intens terjadi.
Media harusnya hadir disitu mengungkapkan kenapa fenomena itu terus terjadi dan kenapa beberapa kasus seperti itu cenderung melibatkan organisasi-organisasi yang sama.
Sekali lagi tidak usah urusi Ratna. Hargai pembaca anda yang sudah menaruh kepercayaannya penuh terhadap berita yang tersajikan di media anda. Jangan sampai pembaca merasakan seperti apa yang dialami Prabowo terhadap ulah Ratna itu dan juga jangan sampai menciptakan kepanikan meluas seperti yang dialami warga Palopo.