Kamis, April 25, 2024

Tak Picik Memandang Masalah Perempuan

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar

Perempuan yang konformis dan penurut masih menjadi gambaran ideal seorang perempuan yang layak disebut perempuan baik-baik. Kita tidak hendak melakukan generalisasi, dus tidak bisa memungkiri bahwa asumsi yang demikian memang masih jamak diamini sebagian masyarakat. Kamila Andini melalui karya-karyanya hendak menjadi pengisah kuatnya asumsi yang begitu itu.

Beberapa waktu lalu, Fourcolours Films gencar melakukan pemutaran film-film karya sutradara Kamila Andini di beberapa kota di Indonesia. Bekerjasama dengan komunitas-pegiat film di beberapa kota, acara ini diberi tajuk Focus on Kamila Andini.

Ada 23 titik pemutaran mulai dari Surabaya sampai Ambon. Di Yogyakarta bahkan acara ini digelar dua kali di tempat berlainan. Sementara di Solo, Fourcolours Films bekerjasama dengan Kisi Kelir, komunitas-pegiat film yang sudah cukup moncer.

Focus on Kamila Andini sendiri merupakan upaya mengenalkan karya-karya Kamila Andini ke publik-penonton sebelum karya film terbarunya tayang di layar putih bioskop. Sekala dan Niskala (The Seen and Unseen) merupakan karya film panjang pertama Kamila Andini yang diangkat ke layar bioskop.

Film itu telah mendapat penghargaan di beberapa festival film internasional. Diawali di Asia Pacific Screen Awards untuk  kategori Best Youth Feature Film di Autralia, Grand Prize Tokyo FILMeX di Tokyo, serta The Golden Hanoman Jogja-Netpac Asian Film Festival di Jogja pada Desember 2017 lalu.

Keluar dari esensi film, penyambutan film yang hendak diputar di layar putih bioskop dengan menghadirkan film-film karya sutradara yang sama melalui pemutaran-pemutaran alternatif patut diberi tabik. Sebab film-film festival seperti ini jelas tidak linier dengan iklim konsumsi film masyarakat Indonesia pada umumnya.

Sudah bisa diduga Sekala Niskala tak akan mampu bersaing dengan jumlah penonton Dilan (2018) apalagi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss 1 (2016) yang tembus 6.858.616 penonton (tempo.co, 9 Februari 2018). Buktinya, belum genap sepekan diputar film ini sudah turun layar dari bioskop di Solo.

Narasi Sakit Perceraian

The Mirror Never Lies (2011), Sendiri Diana Sendiri (2015), dan Memoria (2016) adalah tiga film yang diputar dalam acara Focus on Kamila Andini di Solo. Digelar di lantai II Kusuma Sari Restaurant and Ice Cream Solo pada 9 Februari 2018, publik-penonton yang hadir boleh dikatakan cukup riuh. Sekira 3 jam publik-penonton khidmat dalam arus cerita setiap film.

Sendiri Diana Sendiri mengawali agenda pemutaran. Film berdurasi 40 menit itu menampilkan kesan sederhana dalam penggarapannya dus berhasil menjadi pintu bagi masuknya elegi dan melankoli dalam benak publik-penonton. Narasi hampir sepenuhnya dibangun oleh tokoh Diana, suami, dan seorang anak lelaki.

Kendatipun begitu, publik-penonton tetap tidak bisa menganggap angin lalu tokoh-tokoh lain yang memiliki porsi waktu kecil dalam film. Seperti ibu Diana serta keluarga sang suami. Suatu hari, suami Diana pulang dari kerja dan memberitahu Diana bahwa ia hendak menikah lagi. Tokoh suami berharap Diana bisa menerima keputusannya.

Pulang ke rumah orang tuanya, Diana mengadu pada ibu dan adik perempuannya.  Nasihat yang diterima Diana sungguh tak ia harapkan: “Jangan kamu yang membalas, Diana. Kalau suami sedang melenceng ya seharusnya kita menemani”. Demikian tanggapan ibu ketika Diana mengatakan dirinya lebih baik bercerai daripada dimadu.

Perempuan sehat mana yang tidak terluka batinnya mendengar pengakuan suami yang mengaku selama ini tidak memiliki masalah berarti dalam perkawinan mendadak hendak menikah lagi.

Pernyataan ibu Diana menjadi potret bahwa perempuan sudah semestinya mengalah-bungkam atas sengkarut hubungan rumah tangga. Perempuan dipaksa (atawa memaksakan diri) berupaya menunjukkan bahwa betapapun beracun kehidupan rumah tangga yang dijalani tetap harus nampak adem-ayem dipandang orang lain.

Suami Diana toh akhirnya menikah juga meskipun istrinya tak memberi restu. Ditampilkan sebagai sosok yang tegar dengan selalu berhasil tak menangis di hadapan suami, Diana akhirnya nampak rapuh juga. Ia membolak-balik celana anaknya dengan deru kecewa yang berlebihan, dus sesekali memalingkan muka untuk membasuh air matanya.

Saat itu Diana menanyakan apakah suaminya sudah menikah dan terutama sudah berhubungan badan dengan perempuan lain. Dialog malam itu menjadi pamungkas bagi Diana bahwa ia jelas harus berpisah dari suaminya.

Diana menjanda dan mengurus anak lelaki satu-satunya. Sudah karib dengan perselisihan orang tuanya, si anak lebih cepat tumbuh dewasa. Ia menjadi penyelamat Diana dari ketakutannya akan kecoa, membantu Diana membenahi lampu teras yang mati. Si anak dengan segala kesigapannya dibanding umur sebenarnya menjadi narasi sakit atas perceraian. Betapapun ia berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja.

Luka dan Air Mata

Memoria mengisahkan kisah pilu Maria sebagai korban kekerasan seksual pada masa kelam kemerdekaan Timor Leste. Ia menyusuri kuil tempat para prajurit pernah memperkosanya, menceritakan kepada publik-penonton kekejaman-kekejaman yang dilakukan para prajurit perang masa itu terhadap para perempuan.

Maria dan dua perempuan sebayanya memiliki ritual bercerita tentang masa silam begitu selesai memetik panenan dari kebun. Mereka mengenang dan menertawakan masa-masa berbalut derita yang dialami jelang kemerdekaan negaranya.

Maria akhirnya memang menikah kendati tidak pernah bisa lepas dari jerat nestapa. Suaminya hanya pulang untuk meminta uang dan menumpang makan. Tidak jarang Maria kena pukul apabila mencoba mengajukan perlawanan dengan mengutarakan pendapatnya. Mulut perempuan pokoknya harus dibungkam.

Maria  mengabaikan keinginan Flora – anak perempuan satu-satunya — untuk hengkang dari jerat kemiskinan dan mendapati masa cerah hari depan dengan cara menikah. Pinangan dengan mahar menggiurkan dari kekasih Flora akhirnya ditolak Maria sebab ia tidak mau anaknya menjadi korban kekerasan dari pihak lelaki. Maria telanjur sakit oleh kuasa lelaki di masa lalu. Ia hendak memutus kesengsaraan perempuan dengan tidak menikahkan anaknya. Benar-benar sakit.

Konsistensi kekaryaan Kamila Andini juga nampak di The Mirror Never Lies. Kental dengan budaya Suku Bajo, film ini menggambarkan kekuatan sekaligus kerapuhan kaum perempuan. Pakis, anak perempuan usia Sekolah Dasar (SD) terus menerus mencari jejak bapaknya yang hilang ketika sedang melaut. Ia menggunakan cermin untuk mencari bayangan sang bapak. Sementara Tayung ibunya melakukan penyangkalan dengan memakai bedak putih terus-menerus.

Pakis yakin bapaknya masih hidup meski entah di mana keberadaannya. Sosok bapak bagi Pakis ialah intelektual termahsyur dalam kehidupan kecilnya. Bapak kerap memberi dongeng tentang laut. “Laut adalah cermin raksasa. Ikan-kecil kecil bebas berenang di dasarnya. Mereka tidak takut tumbuh dewasa”. Laut kemudian menjadi medium ketabahan para perempuan pesisir Wakatobi. Para istri dan anak-anak bersahabat dengan penantian, ketidakpastian, dus segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Laut memberi penghidupan dengan ikan-ikan, teripang, dan rumput laut. Dus, menjadi saksi kematian para suami yang kabarnya sering sampai ke tepian dengan tiba-tiba. Di sana, sudah ada perempuan yang kering air matanya.

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.