Kamis, November 14, 2024

Tahun Politik, Inilah Kriteria Pemimpin “Islami”

Aru Elgete
Aru Elgete
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam "45" Bekasi
- Advertisement -

Tahun ini, politik menjadi obrolan utama dari setiap perbincangan ibu-ibu di pasar saban pagi. Pasalnya, sebanyak 171 daerah, mulai tingkat provinsi hingga kabupaten akan segera melaksanakan hajat dan merayakan pesta demokrasi.

Semua gegap gempita menyambutnya. Sementara ada beberapa pihak yang cemas dan khawatir. Terlebih, orang-orang berakal sehat; mereka berharap agar tidak ada konflik sektarian atau ego sektoral dalam pemilihan kepala daerah pada Juni mendatang.

Baiklah, dalam tulisan ini saya sama sekali tidak bermaksud membikin sebuah perpecahan. Namun justru, supaya kita mampu menyatukan segala macam kebaikan yang akan terwujud demi kelangsungan hidup yang lebih berkeadaban.

Kita, memang sudah ditakdirkan menjadi sesuatu yang terkotak-kotak. Kemudian, kita seperti punya daya ketakutan yang berlebihan saat mencoba keluar dari kotak kenyamanan sendiri.

Maksud saya, begini. Kita, khususnya saya, tentu mengimani bahwa Allah memang bermaksud membikin kita berbeda. Katakanlah, terkotak-kotak. Akan tetapi, yang mesti diperhatikan adalah bahwa Allah memberikan kerenggangan untuk menjalin hubungan baik dengan orang yang berbeda.

Mulanya, Allah turunkan wahyu kepada manusia pilihan. Seorang utusan yang dianggap mampu menyampaikan kebenaran dengan sangat baik kepada seluruh manusia. Kemudian, agar kebenaran itu bisa hidup sepanjang masa, maka ada upaya untuk dibukukan secara permanen. Kitab Suci, namanya. Setiap manusia pilihan, memiliki kitab suci yang diberikan Allah pada zamannya.

Lalu, masing-masing kitab suci itu saling melengkapi dan menyempurnakan. Meski begitu, tetap ada unsur kebaikan yang termaktub di dalamnya, agar tujuan tak menyimpang dari asal.

Kitab suci, menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut tidak bisa ditawar. Sebab, kitab suci merupakan sesuatu yang mesti diyakini benar, karena terdapat firman Allah yang terpelihara dengan sangat otentik.

Namun, firman Allah tak sedikit. Kemudian, unsur puitik di dalamnya turut menyertai. Sehingga, banyak ragam kiasan dan majas. Maka, diperlukan sebuah penafsiran yang dilakukan oleh ahlinya, yakni ahli tafsir atau mufassir.

Sebagian besar, kitab suci berkisah soal sejarah. Tak jarang, kisah-kisah itu menjadi hukum di masa lalu. Maka sebagian mufassir, dalam menafsirkan ayat suci, berupaya menempatkan konteks di atas teks. Hal tersebut agar kehidupan manusia yang sangat dinamis. Sehingga perubahan dan perkembangan zaman adalah niscaya.

- Advertisement -

Maka, bukan tidak mungkin, banyak dari kalangan ahli tafsir yang mencoba mengembangkan makna dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Sikap seperti itu sangatlah baik dan bijak.

Karena, agama bisa saja menjadi barang yang usang manakala menafsirkan teks secara leterlek saja. Barangkali, itulah alasan mengapa agama hingga kini bertahan. Bahkan, beberapa kali digunakan sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan.

Hemat saya, yang menjadikan agama kian kuat bertahan lama, selain karena atas izin Allah, adalah karena para ahli tafsir senantiasa memaknai teks dengan mengikuti konteks yang terjadi kekinian.

Indonesia merupakan bangunan negara yang didirikan tidak berdasar hukum agama. Melainkan, terdapat ruh keagamaan di dalamnya. Hal tersebut menjadi bagian dari keutuhan bangsa dan negara. Para pemuka agama kita, zaman dulu, sebelum mendirikan negara ini, telah sepakat untuk bersama-sama merumuskan bagaimana hakikat keagamaan dalam sebuah negara.

Kemudian, penafsiran penafsiran yang berkaitan dengan nasionalisme dan cinta tanah air pun dilakukan. Artinya, para pemuka agama menyesuaikan teks suci dengan keadaan yang sedang terjadi ketika itu.

Dewasa ini, di negeri yang jiwa ketuhanan sangat kentara, seringkali muncul konflik sektarian saban pilkada terselenggara. Menjadi pertengkaran hebat manakala calon pemimpin ternyata tidak sesuai dengan kriteria yang terdapat di dalam kitab suci salah satu agama. Padahal, kita sudah sepakat bahwa kitab suci diperuntukkan untuk seluruh umat manusia.

Kemudian kita selalu dipusingkan dengan ragam teks suci yang menggambarkan bahwa Allah arogan dan memiliki sikap seperti algojo. Maskulinitas yang menggambarkan keperkasaan Allah tak selamanya dapat dipercaya sebagai gambaran dari-Nya. Sebab, Dia juga memiliki sifat feminin, yang lembut nan penyayang. Penuh cinta kasih.

Semua kitab suci di setiap agama memang terdapat teks yang seolah mengistimewakan agama sendiri. Namun tak jarang juga, teks suci yang menganjurkan kita untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Dari situ, kemudian muncul tokoh-tokoh agama yang humanis.

Mereka menyerap ajaran manusia terdahulu yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan kebenaran kepada segenap manusia. Penafsiran pun terus berlanjut. Wahyu tetap mengalir, melalui manusia-manusia yang berpikir.

Dalam tradisi Islam, misalnya, seorang pemimpin punya kriteria tertentu. Yakni, empat sifat Nabi Muhammad. Jujur, dapat dipercaya, cerdas, dan komunikatif. Sayangnya, keempat sifat itu justru menjadi hak paten bagi sebagian besar umat Islam. Kemudian timbul anggapan bahwa pemimpin haruslah beragama, minimal ber-KTP, Islam.

Lebih-lebih saat ada firman Allah yang menyatakan bahwa seorang beragama Islam tidak boleh memilih pemimpin kafir. Kini, makna agama kian dipersempit. Seperti menjadi sebuah institusi, lembaga, atau bahkan instansi. Sempit sekali.

Saya berpendapat, memilih pemimpin harus yang beragama Islam. Bukan kafir. Sebab kita sedang mencari sosok yang mampu mengayomi, melindungi, dan menjaga martabat hidup orang banyak. Kafir, berarti menutup.

Maksudnya, menutupi kebenaran. Pemimpin kafir adalah pemimpin yang dilahirkan dari rahim penuh intrik. Kemudian dimunculkan karena mahar politik. Kerjanya hanya membuat rakyat terusir, dan terusik.

Pemimpin, hemat saya, harus seseorang yang sesuai dengan sifat utama Nabi Muhammad. Saya menolak seorang pemimpin yang tidak saleh. Terlebih yang selalu berbuat kerusakan, sehingga sama sekali tidak memunculkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Selain itu, saya mesti mencari pemimpin yang bersedia menegakkan Syariat Islam dalam kepemimpinannya.

Yakni, pemimpin yang menjaga eksistensi dan spirit keberagamaan; pemimpin yang bersedia menjaga akal budinya untuk senantiasa melindungi rakyat; pemimpin yang menjaga kehormatan warganya; yang mampu menjaga kerukunan; dan pemimpin yang senantiasa menjaga keutuhan jiwa setiap warganya. Saat kelimat poin tersebut dijalankan oleh seorang pemimpin, maka dengan otomatis, Syariat Islam telah ditegakkan. Karena dengan begitu, maslahat akan tercipta.

Seperti itulah, pemimpin yang menurut saya saleh. Maksudnya, layak untuk dipilih. Pemimpin yang berkaca pada Nabi Muhammad dalam bersikap; pemimpin yang tidak kafir; dan pemimpin yang mampu menegakkan Syariat Islam. Pemimpin yang jujur, yang lahir tidak dari rahim penuh intrik. Bukan yang terlibat transaksi jual beli mahar politik. Bukan juga pemimpin yang rakyatnya sendiri diusir dan diusik.

Pilkada serentak pada Juni mendatang segera tiba, siapa pemimpin pilihanmu?

Aru Elgete
Aru Elgete
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam "45" Bekasi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.