Inna arsalnaka rahmatan lil alamin adalah pesan universal yang disampaikan Tuhan dengan instrumen bahasa Arab kepada Muhammad Saw. untuk membumikan Islam rahmah kepada setiap individu tanpa mesti mendeskriditkan makhluk yang lain.
Atas prinsip universal ini jualah, kita dapat berkata, wajah Islam semestinya dipenuhi dengan rasa kasih sayang yang tercermin pada keharmonisan relasi.
Di satu sisi, Al-Qur’an ketika menyebutkan sekian banyak ayat yang berbicara mengenai hal yang sifatnya prinsip, atau nilai-nilai subtantif dalam ajaran Islam (damai, dsb), juga tidak luput untuk menyebutkan secara partikular thariqah atau jalan untuk mewujudkan prinsip umum tersebut.
Tulisan ini mengangkat satu term, yakni tahiyyah dari sekian banyak kata dalam Al-Qur’an yang mengindikasikan pesan untuk mewujudkan Islam damai rahmah bagi sekalian alam.
Tahiyyah dalam Al-Qur’an
Terminologi kata tahiyyah sendiri, dalam pandangan ulama tafsir (khususnya klasik) dipahami sebagai salam penghormatan antara satu dengan lainnya ketika bertemu. Olehnya itu, pengertian ini membatasi tahiyyah dalam konteks ucapan.
Kendati demikian, tidak juga mesti menapikan pendapat lain yang memahami tahiyyah sebagai segala bentuk penghormatan yang tidak dibatasi oleh tradisi lisan semata, seperti ucapan assalamu ‘alaikum, namun lebih dari itu dengan mengamalkan makna salam itu sendiri.
Ketika mengaji kata ini dalam al-Qur’an, setidaknya ditemui 6 kali dalam beberapa ayat yang berbeda. Secara umum, pemetaannya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni ucapan salam ketika memasuki rumah, ucapan penghormatan penghuni surga, dan pesan damai dengan membalas penghormatan dengan yang lebih baik.
Lebih jauh, saya memahami bahwa hakikat dari kata ini sebenarnya akan menjadi jelas jika berangkat dari makna kebahasaan. Karena satu kata dengan kata lainnya yang terambil dari huruf yang sama memiliki kaitan yang erat.
Olehnya itu akan sedikit disinggung makna asal dari kata ini. Tahiyyah sebenarnya terambil dari kata haya, yang pada asalnya berarti kehidupan sebagai lawan dari kematian. Dari sini saja, kita dapat menemukan titik terang bahwa sesungguhnya penghormatan memiliki peran yang sangat signifikan bagi kehidupan manusia.
Penghormatan hakikatnya memberikan yang dihormati hidup, dalam konteks mendoakan, memberi rasa aman, dan menghargainya sebagai manusia yang memiliki martabat.
Mafhum mukhalahnya, hilangnya penghormatan terhadap yang lainnya ibarat menghilangkan “hidup” seseorang. Karena apa makna sebuah kehidupan jika khidmat dan hormat telah binasa. Ini seperti prinsip Bugis Makassar yang bahkan mempertaruhkan hidup untuk sebuah siri’ (malu).
Damai dengan Tahiyyah
Pemberian penghormatan dalam suatu dan kondisi tertentu dapat beragam. Hal tersebut disebabkan kemajemukan masyarakat dan objek yang dihadapi. Dari sini pula, kita berkata bahwa kendati pengertian dan tujuan dari penghormatan sama, tetapi aplikasinya bersiat dinamis.
Aplikasi penghormatan kepada orang tua berbeda dengan memberi penghormatan kepada anak kecil. Penghormatan orang Arab bisa jadi berbeda dengan orang Indonesia, orang Jawa dengan orang Makassar, atau bahkan dunia nyata dengan dunia maya. Semua memiliki perbedaan dalam konteks pengaplikasiaan rasa hormat.
Namun, tujuan yang hendak dicapai sama, yakni kesamaan hak untuk mendapatkan rasa hormat dan upaya untuk merekatkan kekeluargaan, kekerabatan, dan kemanusiaan dengan rukun dan harmonis.
Karena, hemat saya, konflik dan lenyapnya ketenangan, damai salah satunya disebabkan hilangnya kesadaran untuk memberi penghargaan dan penghormatan terhadap yang lainnya.
Ketidakhormatan tersebut tercermin dalam realitas kehidupan kita, seperti penyeberan hoax (tidak menghormati orang lain dan etika komunikasi), mengkafirkan dan membid’ahkan yang lainnya, ujaran kebencian, serta sekian banyak contoh lainya yang menyebabkan hilangnya sakinah dan mutmainnah yang menjadi indikator kedamaian itu sendiri.
Layaknya rahmah yang saya sebutkan di awal pragraf, tahiyyah mesti dibumisuburkan kepada seluruh alam untuk menciptakan Islam damai, dengan asas penciptaan tunggal dari Allah, hamba Allah dan atas dasar persaudaraan kemanusiaan global.
Bahkan al-Qur’an memerintahkan untuk memberi hormat dengan yang lebih baik dari penghormatan yang didapatkan (QS. al-Nisa:4/86) sebagai balas budi atas penghormatan sebelumnya.
Lebih bijak lagi, karena setiap kemampuan seseorang berbeda dengan yang lainnya, Allah swt. memberikan alternatif lain jika pada akhirnya tidak dapat membalas dengan yang lebih baik, paling tidak balaslah dengan penghormatan yang serupa.
Tidak sama sekali ada tuntutan ataupun indikasi untuk membalas penghormatan seseorang dengan yang lebih rendah, karena hal tersebut sesungguhnya adalah manifestasi dari ketidakhormatan kita kepada yang lainnya.
Terakhir, upaya untuk menciptakan rasa damai dengan kata tahiyyah sendiri, semestinya dipahami secara universal oleh setiap individu, bukan hanya segelintir orang saja.
Sehingga, penghormatan seseorang kepada yang lainnya tidak bertepuk sebelah tangan, melainkan ada integrasi antara keduanya untuk saling mengerti dan membalas penghormatan.
Pemeluk agama Islam akan menghormati pemeluk ajaran Kristiani, sebaliknya umat Kristiani dengan senang hati membalasnya dengan penghormatan yang lebih baik, atau paling tidak dengan penghormatan yang serupa, sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara pemeluk agama yang berbeda.
Masyarakat Bugis memahami dan menghormati masyarakat Mandar, sebaliknya Mandar akan memberi penghargaan yang lebih kepada masyarakat Bugis, dan sekian banyak contoh lainnya. Olehnya itu, tahiyyah mestinya menjadi sistem nilai dalam dinamika interaksi kehidupan kita agar terjalin hubungan yang rukun dan harmonis. Wassalam.
Referensi
Sahabuddin, dkk., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Dhuha Abdul Jabbar dan N. Burhanuddin, Ensiklopedia Makna Al-Qur’an: Syarah Alfaazhul Qur’an, Cet. I; Bandung: Media Fitrah Rabbani. 2012.
Muh{ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi>, Al-Mu‘jam Mufahras li Alfa>z{ al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dah{la>n, t.th
M. Quraish Shihab, Tafsi>r al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2007.