Bagaimana tafsir Orba tentang G30S? Bagi yang berusia 35 tahun ke atas, tentu ini bukanlah hal yang asing lagi. Karena Orba sudah membuat film tentang itu dan semua orang wajib menontonnya.
Konon kabarnya, awalnya film karya Arifin C Noer ini kalah saingan sama salah satu film Warkop DKI (Dono Kasino Indro). Akan tetapi, karena pemerintah Orba kemudian menjadikannya sebagai film yang wajib ditonton, film ini berhasil merajai berbagai bioskop di era tersebut.
Tafsir hitam putih ala Orde Baru tentang G30S sebenarnya cukup sederhana sekali, sehingga sebenarnya tak layak untuk menjelaskan kompleksitas yang melatarbelakangi peristiwa G30S tersebut. Dua otoritas yang mendasari klaim ORBA tersebut, pertama adalah pendapat Soeharto, presiden Indonesia pada era itu. Kedua adalah pendapat dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), atau TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Dalam buku yang saya tulis, yang terbit tahun 2015, dengan judul “Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965”, terbitan Elpueblo Tritama Mandiri, (halaman 22-23), saya jelaskan bahwa sebenarnya antara pendapat Soeharto dan TNI terdapat perbedaan terkait siapa pemimpin G30S. Soeharto berpandangan bahwa Letkol (Letnan Kolonel) Untung lah yang memimpin gerakan tersebut.
Bagi Soeharto, Untung adalah anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dididik oleh tokoh PKI, Alimin. Sementara, menurut versi TNI, yang memimpin G30S adalah D.N Aidit, Ketua PKI. Akan tetapi, pada dasarnya, Soeharto dan TNI sama-sama menuduh bahwa PKI secara organisasi, adalah dalang G30S. Karena itu mereka menamai gerakan tersebut sebagai G30S/PKI.
Inilah versi ORBA yang dikunyah-kunyah oleh generasi zaman old sampai sekarang. Hanya sedikit sekali, dari generasi zaman old yang bisa keluar dari versi ORBA yang cacat secara ilmiah ini.
Mengapa saya bilang cacat? Karena tidak berbasis fakta sejarah yang asli, tetapi pada keterangan/pendapat yang manipulatif. Bahkan di antara dua pendapat yang mendasari tafsir ORBA tersebut, juga terdapat inkoherensi (ketidakkoherenan).
Sederhana saja, pertama, apakah ada bukti kongkrit bahwa Letkol Untung adalah anggota PKI? Memang Untung berhubungan dengan Sjam Kamaruzaman (Sjam), ketua Biro Chusus, sel Aidit di tubuh TNI. Akan tetapi, hal tersebut belumlah bisa membuktikan status keanggotaan Untung dalam PKI.
Biro khusus ini, mengapa saya bilang sel Aidit dan bukan sel PKI, yaitu karena, Sjam hanya berkoordinasi dengan Aidit saja. Tak ada anggota politbiro PKI yang tahu siapa Sjam. Sebagian bahkan mungkin menyangka kalau Sjam adalah intel tentara.
Kedua, ini sebenarnya logika sederhana sekali, yang sudah sering dipakai para intelektual, terakhir bahkan dijadikan meme di media sosial, yaitu jika memang PKI yang mau kudeta Soekarno, mengapa kemudian ketika Soekarno lengser dari kekuasaan, PKI dibubarkan, dan Jenderal Soeharto beserta kroni kroninya berkuasa puluhan tahun di Indonesia?
Secara nalar, ketika pihak yang akan dikudeta berhasil dijungkalkan dari kekuasaan, maka pihak pengkudeta sudah pasti mengambil alih kekuasaan. Jika PKI yang mengambil alih kekuasaan, mengapa organisasi mereka dibubarkan? Serta jutaan kader dan simpatisan mereka harus dipersekusi dan kehilangan nyawa?
Ketiga, mengapa
Jenderal Soeharto dan teman-temannya, yang juga rata-rata berpangkat jenderal, tidak diambil pada malam jahanam, saat operasi militer yang bernama G30S itu dilancarkan? Untuk hal ini, sebenarnya sudah ada kesaksian dari Kolonel Latief, Pangdam Jaya (Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya) kala itu, ia adalah salah satu pelaku utama G30S, kesaksian ini tertuang dalam buku yang ditulis Soebandrio.
Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen pada Masa Soekarno, yang berjudul “Kesaksianku tentang G30S”. Dalam buku itu (halaman 23-25), disebutkan bahwa Kolonel Latief telah melaporkan rencana penculikan para Jenderal tersebut pada Soeharto pada jam 23.00 WIB, tanggal 30 September 1965. sementara G30S ini baru beroperasi pada tanggal 1 Oktober, jam 4.00 subuh.
Artinya, dengan demikian, Soeharto sudah tahu bahwa akan ada sebuah operasi militer yang akan menculik para Jenderal, yang dicurigai sebagai bagian dari Dewan Jenderal tersebut. Dalam buku tersebut juga disebutkan, bahwa setelah bertemu Soeharto, Kolonel Latief melaporkan bahwa Soeharto berada di belakang mereka, kepada Letkol Untung dan Brigjend Supardjo, dengan wajah sumringah (halaman 25).
Kembali pada fokus awal. Jika mereka para penerima tafsir ORBA ini adalah Muslim, maka ada baiknya mereka ingat ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu “Iqra'”, atau “Bacalah”. Maknanya apa? Dari awal umat Islam sudah diperintahkan oleh Allah SWT untuk membaca, bukan untuk taqlid buta (mengikuti tanpa mikir) pada dogma palsu yang manipulatif, seperti tafsir ORBA atas G30S.
Berbagai pemerintah pasca ORBA (kecuali pemerintahan GusDur), yaitu institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dari mulai Era Habibie sampai Jokowi, tidak menolak dan tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966 (tentang pembubaran dan pelarangan PKI, juga berisikan larangan untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran Marxisme-Leninisme).
Bahkan melalui Ketetapan MPR, Nomor I/MPR/2003, TAP MPRS yang kontroversial tersebut, tetap dinyatakan berlaku (Lihat buku “Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965”, halaman 2).
Terakhir, pemerintah Jokowi, pada tanggal 1 Oktober 2018, tetap memperingati Totem yang diciptakan ORBA, yang bernama “Hari Kesaktian Pancasila” tersebut. Entah karena tidak ingin dituduh PKI, atau karena benar-benar paham kebenaran terkait peristiwa itu. Saya yakin yang kedua bukanlah jawabannya, karena bagi yang paham, peringatan terhadap Hari Kesaktian Pancasila, hanya melanggengkan kebohongan sejarah yang diciptakan oleh Rezim Orde Baru.
Akhir kata, dalam pandangan saya, satu-satunya yang agak progresif, pada upacara Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2018 tersebut, adalah doa yang dibacakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin. Dalam doa tersebut, beliau meminta kepada Allah SWT supaya bangsa Indonesia tidak tersandera dendam sejarah kelam di masa lalu (Dikutip dari www.suaramerdeka.com, akses 2 Oktober 2018).
Saya harapkan Allah SWT mengabulkannya, dengan menggerakkan hati nurani pemerintah Republik Indonesia (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), untuk mencabut dan menghentikan semua hal-hal yang melanggengkan dendam sejarah masa lalu ini, seperti TAP MPRS XXV/ 1966, dan Peringatan terhadap Hari Kesaktian Pancasila. Karena hanya dengan inilah orang-orang generasi zaman old, meninggalkan tafsir manipulatif tentang G30S oleh ORBA, dan berhenti memaksa generasi zaman now untuk mengikuti keyakinan yang salah tersebut.