Syariat Islam sudah lama disoal, ia bukan barang baru bagi sejarah bangsa ini. Ia lahir jauh sekali sebelum negeri ini merdeka. Apalagi sejak ada wacana dari salah satu kelompok tertentu yang menginginkan negeri ini berdiri di atas ideologi agama. Dan syariat Islamlah yang kemudian akan menjadi dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Sebut saja misalnya, “perdebatan” Soekarno dan M. Natsir soal hubungan antara negara dan agama. Soekarno sebagai representasi kaum nasionalis, menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Beliau menginginkan urusan negara dan agama dipisahkan. Sedangkan Natsir sebagai representasi kaum Islamis, sebaliknya, menginginkan nilai-nilai agama (Islam) menjadi modal untuk membangun negeri ini.
Kedua tokoh di atas tentu mempunyai argumentasi masing-masing. Soekarno berkaca kepada Turki yang dipimpin Kemal Attaturk yang memisahkan urusan privat, seperti agama, sebagai urusan individu yang tak membolehkan agama ikut campur di dalamnya.
Lain lagi yang dipikirkan Natsir. Menurutnya, segala aktivitas umat Islam, termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara, adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian urusan negara adalah urusan agama juga. Peran ulama dalam konteks ini menjadi penting untuk menuntun warga negaranya paham terhadap kaidah-kaidah agama. Dari sinilah kemudian syariat Islam ini mewujud.
Di ujung “perdebatan”, dalam sebuah sidang penting yang dihadiri tokoh-tokoh bangsa (founding father) menyoal apa yang akan menjadi dasar ideologi negara ini, keinginan untuk menjadikan agama sebagai ideologi negara tak diterima peserta sidang karena beberapa pertimbangan menyangkut masyarakat Indonesia yang heterogen dalam berbagai aspek. Dan akhirnya, Pancasila-lah yang cocok, pantas juga tepat, yang dipilih sebagai ideologi negara karena mengakomodasi keragaman dan kemajemukan.
Melirik Data Survey
Akhir-akhir ini, wacana syariat Islam kembali menjadi objek pembicaraan masyarakat. Ada satu laporan hasil survey Ardian Sopa, Peneliti di Lingakaran Survei Indonesia (LSI), yang menyatakan bahwa cita-cita publik untuk membentuk Indonesia sebagai negara Islam sangat kuat.
Simpulnya, publik sangat menginginkan nilai-nilai agama masuk dalam pemerintahan. Publik menginginkan Indonesia berdasarkan agama. Artinya, agama mengatur banyak hal dalam kehidupan publik yang masuk dalam pemerintahan (LSI “Menurunnya Pro Pancasila dan Harapan pada Capres, 17/7/2018).
Persoalan yang kemudian muncul adalah, apakah harapan dan cita-cita tersebut diperbolehkan atau tidak oleh konstitusi kita? Karena setiap individu atau warga negara mempunyai hak dan cita-cita. Sesuai dengan hukum yang berlaku, mereka dipersilakan mencita-citakan sesuatu selama tidak menyalahi hukum nasional serta tidak melakukan tindak kejahatan yang menyimpang dari undang-undang.
Masih menurut data LSI, cita-cita publik yang kuat di atas untuk mendirikan negara berdasarkan agama disebabkan fakta objektif masyarakat di lapangan yang pro terhadap Pancasila menurun. Publik sangat menghendaki sekali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini bersyariah, yakni syariat Islam.
Tengok saja datanya, dalam kurun 13 tahun terakhir, publik yang pro-Pancasila menurun sebanyak 10%. Padahal 2005 masih berada di poin 85,2%, 2010 (81,7%), 2015 (79,4%), dan di 2018 anjlok kembali menjadi 75,3%. Meski masih mayoritas, namun fakta terjadinya penurunan sebesar 10% tetap perlu mendapat perhatian serius.
Sedangkan publik yang pro-NKRI bersyariah justru mengalami kenaikan dari 4,6% di 2005 menjadi 7,3% di 2010. Angka tersebut kembali merangkak naik pada 2015 dengan 9,8% dan 13,2% pada 2018. Jadi dalam kurun 13 tahun ada kenaikan persetujuan publik terhadap NKRI bersyariah sebesar 9%.
Lantas, apa faktor penyebab utama sehingga publik ingin sekali “memimpikan” NKRI ini bersyariah? Setelah dilakukan survey oleh LSI ada tiga hal yang menyebabkannya: Pertama, persoalan ekonomi, yaitu adanya ketidakpuasan kalangan bawah akibat melebarnya kesenjangan ekonomi dari waktu ke waktu.
Kedua, intensifnya paham alternatif di luar Pancasila, hal ini terbukti mampu menarik warga muslim untuk mengkajinya lebih dalam. Ketiga, sosialisasi pemahaman terhadap Pancasila dari masyarakat ke masyarakat kurang efektif.
Saya kira data survey di atas harus dijadikan catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah hendaknya segere melakukan evaluasi bahwa program internalisasi nilai-nilai Pancasila yang sudah berjalan belum efektif serta membuahkan hasil.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebagai ujung tombak pemerintah, untuk terus meningkatkan kinerjanya agar lebih baik dari hari ini. Wawasan kebangsaan serta empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI agar terus didengungkan, disosialisasikan secara intensif kepada publik melalui berbagi bentuk kegiatan, antara lain; membentuk sebuah forum bersama yang konsen dengan wacana-wacana kebangsaan dan kebersamaan.
Tugas pemerintah dalam konteks ini tidak main-main, cukup berat, terutama menjawab factor penyebab pertama, yaitu memenuhi ketidakpuasan kalangan bawah akibat melebarnya kesenjangan ekonomi dari waktu ke waktu.
Data yang sungguh ironis hasil survey LSI di atas menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan pemerintah dengan serius. Selain pemerintah, kita juga mempunyai peran penting dalam hal ini. Mari kita, semua kalangan, untuk terlibat melakukan kerja besar ini.
Terobosan-terobosan baru harus segera diciptakan. Pendidikan Pancasila di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dini hingga perguruan tinggi harus tetap menjadi bagian penting dari kurikulum. Ormas, organisasi keagamaan, pemuda, harus bekerja sama dalam membina ideologi Pancasila.
Kerjasama ini membutuhkan peran semua pihak untuk menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa karena pertarungan ideologi ataupun infiltrasi ideologi saat ini sudah sangat nyata. Ideologi Pancasila bisa mengarahkan kepada kita kembali pada cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia agar pertarungan ideologi tetap kita menangi. Hidup Pancasila!