Menjelang pesta demokrasi tahun 2019, sejumlah lembaga survei berlomba-lomba “menerawang” siapa yang nanti berjaya di tahun depan, utamanya Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin Indonesia untuk periode 2019-2024.
Beberapa lembaga survei secara konsisten merilis hasil “terawangan” mereka hampir setiap bulan. Masing-masing dari lembaga survei tersebut mengklaim bahwa hasil yang diperoleh sudah mendekati keadaan di lapangan.
Namun, apa yang mereka paparkan mendapat berbagai macam respon dari politisi. Hasil survei yang menempatkan mereka “di atas” para rivalnya seringkali dijadikan sebagai barometer seberapa populer kelompok tersebut dibanding lawan politiknya.
Variabel yang sering disebut dalam hasil survei berupa elektabilitas juga dipandang sebagai hegemoni politik atas lawannya sekaligus psy war apabila dilaporkan lebih tinggi. Sebaliknya, pihak yang merasa “dirugikan” menganggap apa yang disajikan lembaga survei adalah sebuah “survei pesanan”.
Mereka menganggap bahwa semua yang dilaporkan sudah diatur sedemikan rupa sehingga menempatkan pihak lawan yang seolah-olah menang atas diri mereka. Bahkan, metode yang digunakan dianggap “salah” sehingga hasil yang muncul tidak sesuai kondisi real. Lalu, apa benar sebuah survei dapat dipesan? Dan apa untungnya?
Survei Sebagai Metode Ilmiah
Sebelum kita menjawab pertanyaan pada intisari tulisan ini, menjadi penting bagi kita semua untuk memahami survei itu sendiri secara konseptual. Kita dapat mengumpulkan data melalui 3 (tiga) cara, yaitu sensus, survei, dan kompilasi administrasi.
Sensus merupakan cara pengumpulan data dengan mencacah seluruh anggota populasi. Sedangkan kompilasi administrasi merupakan cara pengumpulan data melalui pencatatan administrasi baik pemerintah maupun masyarakat. Sekarang kita fokuskan bahasan mengenai apa itu survei.
Menurut UU nomor 16 tahun 1997 tentang statistik, survei adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu.
Secara sederhana, kita dapat menarik suatu kesimpulan mengenai kesukaan suatu komunitas dari “segelintir orang” di dalam komunitas tersebut. Cara semacam ini sering disebut dengan teknik sampling. Hal ini tentu memiliki syarat dan ketentuan. Kita tidak bisa serta merta begitu saja menarik kesimpulan dari segelintir orang yang kita tanya tersebut.
Syaratnya, orang yang kita pilih dari komunitas tersebut haruslah dipilih secara “acak” dan setiap orang dalam komunitas tersebut memiliki peluang terpilih. Atau dalam teknik sampling sering diistilahkan dengan probability sampling. Secara teori, semakin banyak orang yang kita tanya pada komunitas tersebut, maka kesimpulan yang didapat akan semakin mendekati kondisi komunitas secara keseluruhan. Jika demikian, mengapa tidak bertanya kepada semua anggota komunitas tersebut?
Salah satu keunggulan survei adalah lebih “hemat”. Bayangkan saja apabila pabrik korek api mencoba semua korek yang diproduksi untuk mengetahui tingkat kualitas, atau koki yang harus menghabiskan satu panci sayur untuk memastikan masakannya tidak terlalu asin.
Kejadian semacam ini tentu tidak efektif dan efisien. Selain hemat dalam hal penggunaan sumber daya, survei juga lebih hemat waktu dan tenaga. Akan tetapi, metode pengumpulan data dengan menggunakan survei juga memiliki kelemahan. Peneliti seringkali kesulitan memilih metode penarikan sampel karena keterbatasan kerangka sampel.
Hal ini dapat berpengaruh pada hasil yang diperoleh. Terlebih apabila populasi memiliki karakteristik yang heterogen, pemilihan metode penarikan sampel yang tidak sesuai dapat menyebabkan sampling error meningkat. Akibatnya, kesimpulan yang diambil menjadi bias. Atau bahasa sederhananya tidak sesuai kondisi sebenarnya.
Survei Bisa Dipesan!
Hasrat untuk memenangkan kontestasi demokrasi sudah menjadi lazim untuk sebuah entitas pelaku politik. Mereka membutuhkan gambaran kondisi preferensi politik masyarakat agar dapat menetapkan strategi yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, rasanya sah-sah saja apabila sebuah lembaga survei dan entitas politik melakukan kerja sama dalam melaksanakan survei.
Pihak yang berkepentingan tersebut “memesan” lembaga survei untuk melakukan penelitian. Karena Setiap pelaksanaan survei membutuhkan biaya, baik itu yang berhubungan dengan biaya sampling atau biaya lain yang ditimbulkan dalam pelaksanaan survei, lembaga survei yang “dipesan” tersebut memperoleh dukungan berupa dana penelitian dan mungkin saja ditambah insentif.
Sebetulnya, model bisnis tersebut tidak menjadi masalah sepanjang kaidah statistik dilakukan dengan benar. Satu hal yang tidak dibenarkan adalah ketika entitas politik berusaha untuk menggiring opini dan preferensi politik masyarakat dengan cara melakukan kerja sama dengan lembaga survei agar “seolah-olah” melakukan survei dengan menerapkan kaidah statistik.
Lembaga survei yang “nakal” tersebut berkilah bahwa mereka sudah menerapkan kaidah statistik dalam survei nya. Memang, mereka melakukan penarikan sampel, pengumpulan data, pengolahan, dan penyajiannya pun dilakukan secara “meyakinkan”. Padahal, bisa saja mereka “mengakali” kaidah statistik dengan mengambil sampel yang tidak mewakili populasi. Atau menggunakan metodologi yang seharusnya tidak diperkenankan untuk menggeneralisir secara induktif.
Akhir-akhir ini santer terdengar desakan agar setiap lembaga survei “berani” transparan soal raw data. Menurut hemat saya, hal tersebut justru tidak boleh dilakukan karena raw data yang memuat karakteristik masing-masing responden adalah informasi rahasia yang tidak dibenarkan untuk disebarluaskan.
Sudah selayaknya pemerintah concern terhadap moral hazard dari semua lembaga survei. Selain mendidik masyarakat agar berpolitik cerdas, pengawasan lembaga survei harus ditingkatkan untuk kemajuan demokrasi Indonesia.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membuat payung hukum yang lebih kuat mengenai kegiatan perstatistikan. UU No 16 Tahun 1997 tentang statistik memang memperbolehkan kegiatan statistik khusus dapat dilakukan secara “bebas” oleh masyarakat.
Namun hal tersebut seakan-akan justru memberikan “keleluasaan” bagi pihak yang ingin bermain dengan angka statistik. pemerintah perlu mengkaji ulang UU tentang statistik tersebut agar statistik selalu digunakan untuk kepentingan yang positif. Selain itu, pemerintah perlu lebih galak dalam mengawasi para lembaga survei melalui audit rutin atau bahkan memberikan punishment berupa pencabutan izin bagi lembaga survei yang ketahuan “nakal”. Kita semua berharap agar statistik dapat memberikan manfaat untuk kemajuan bersama.