kata” Pribumi” yang dilontarkan seketika itu meruntuhkan kekagumanku padanya. sekian lama aku bungkam, ketika AHOK harus bertarung melawan beliau di dalam pentas pemilihan Gubernur kemarin, aku mengalami dilematis, bagaimana mungkin dua tokoh idola ini meng aduk-aduk perasaanku hingga pada akhirnya ketika itu, aku memutuskan untuk enggan berkomentar apapun terhadap situasi tersebut.
namun kali ini lain,..kata-kata Pribumi itu-terlepas bagaimana cara memandang kita terhadap term itu, bertolak belakang atau mendukung aku tidak mengambil pusing-selayaknya dan seharusnya tidak terucap darinya. dia adalah sosok intelektual, penggagas Indonesia mengajar, tokoh muda yang sudah dipercaya menjadi rektor di Universitas Paramida, sebuah universitas yang memiliki visi misi menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas dalam kebhinekaan. penggiat pluralis, bahkan beliau adalah tokoh liberal yang cukup diperhitungkan dan dikhawatirkan.
ketika seseorang berbicara, apalagi seseorang intelektual sepertinya, ada konteks, kausalitas yang menyebabkan kata-kata itu terucap. walau kita bisa berdalih bahwa orang bisa-bisa saja menyebut kata itu, dan sah-sah saja hingga ada yang sampai membanding-bandingkan beberapa orang tokoh nasional pernah juga mengucapkan kata seperti itu. namun…kita berbicara konteks, pembicaraan seorang kaum intelektual, apalagi sekelas doktor. dalam konteks ini, konteks setelah seleainya pertarungan dia dengan ahok, yang notabenenya suku tiong hoa, membentuk stigma bahwa kata pribumi yang dimaksud adalah RASIS!
seolah-olah, statement tersebut merupakan ungkapan kemenangan terhadap peperangan melawan NON Pribumi. lihatlah konteksnya.. ah…bang Anis… seandainya Alm. Cak Nur masih hidup….tentu telingamu di jewernya