Sumatera kembali dalam kesedihan. Hari ini, beberapa daerah mengalami banjir dan longsor yang mengganggu akses jalan, merusak rumah hunian, serta memaksa banyak keluarga pindah ke tempat yang lebih aman. Hujan deras yang berlangsung semalaman tampaknya menjadi pemicu, namun akar masalahnya lebih kompleks: kerusakan hutan yang semakin meluas akibat aktivitas pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkelola.
Di beberapa lokasi, banjir turun dari lereng bukit dengan kekuatan yang sulit untuk dihadang. Tanah yang seharusnya bertahan kini kehilangan daya dukung karena akar pohon yang penting untuk mengikat tanah telah dihilangkan akibat penebangan dan penggalian. Masyarakat yang tinggal di lereng bukit dan tepi sungai adalah mereka yang paling merasakan dampak—rumah hancur, lahan pertanian tertutup lumpur, dan rasa takut selalu mengintai saat musim hujan tiba.
Sangat disayangkan, bencana ini bukanlah sesuatu yang baru. Setiap tahunnya, Sumatera semakin rentan terhadap masalah lingkungan. Aktivitas pertambangan yang menerabas hutan secara kejam tidak hanya menciptakan lubang besar, tetapi juga mencabut hak masyarakat untuk memiliki lingkungan yang aman. Kita seakan menyaksikan siklus menyedihkan yang berulang: eksploitasi, ketidakpedulian, bencana, serta tangisan masyarakat yang ditinggalkan tanpa perlindungan yang memadai.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa bencana hari ini bukan hanya sekadar merupakan kejadian alam, tetapi juga sebuah peringatan tegas dari lingkungan mengenai kegagalan kita untuk menjaga keseimbangan. Pemerintah daerah maupun pusat seharusnya tidak lagi mengabaikan praktik pertambangan yang merusak ekosistem. Pengawasan yang kurang ketat, izin yang diberikan tanpa analisis kondisi ekologis yang cukup, dan kurangnya tanggung jawab dari perusahaan tambang adalah rangkaian permasalahan yang memicu tragedi ini.
Kritik dan Saran
Pertama, pemerintah perlu memperketat regulasi izin pertambangan dan secara terbuka memberikan informasi mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kepada masyarakat. Tidak boleh ada lagi aktivitas yang merusak hutan tanpa adanya tanggung jawab ekologis yang jelas.
Kedua, perusahaan tambang harus benar-benar melaksanakan rehabilitasi hutan, bukan hanya sebagai formalitas administratif. Upaya penanaman kembali pohon harus dijadikan prioritas untuk memulihkan kemampuan serap tanah dan stabilitas lereng.
Ketiga, masyarak harus dilibatkan dalam pengawasan lingkungan. Masalah ekologis di Sumatera tidak akan teratasi jika mereka yang tinggal paling dekat dengan hutan justru diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Keempat, pendidikan tentang lingkungan perlu diperkuat kembali. Generasi saat ini harus memahami bahwa bencana bukanlah sekadar nasib, tetapi dapat dicegah jika alam diperlakukan dengan penuh penghormatan.
Bencana banjir dan longsor hari ini adalah luka yang tidak hanya menyakiti bumi, tetapi juga kehidupan sosial masyarakat. Semoga insiden ini menjadi titik tolak untuk perubahan kebijakan dan kesadaran bersama bahwa hutan bukan hanya sebatas tempat eksploitasi—melainkan penyangga kehidupan.
