Jumat, April 26, 2024

Sumanto Al Qurtuby dan Barisan Sakit Hati

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.

Pernah mendengar nama Sumanto Al Qurtuby? Seorang akademisi asli Batang, Jawa Tengah, yang saat ini menjadi dosen antropologi di King Fahd Petroleum University, Arab Saudi. Saya kira pembaca yang aktif di facebook tentu sudah kenal dengan sosok yang satu ini. Berpengetahuan luas dan sering ‘ngedablus’ kalau menulis status sentimen di facebook soal kondisi umat Islam di Indonesia, ya itulah beliau!

Beliau merupakan lulusan Boston University pada jurusan antropologi budaya beberapa tahun yang lalu. Gayanya menulis status cukup menggelikan. Setiap kritik yang dilontarkan pasti membuat pembaca ketawa. Pasalnya, ia sering menyelipkan guyonan-guyonan segar dalam status-statusnya di facebook, entah secara langsung maupun melalui plesetan kata-kata.

Rupanya, cara mengkritik seperti ini cukup membuat panas kuping kelompok ‘sebelah’. Kelompok ini ia juluki ‘Mamat-Mimin-Momon’. Dalam kelompok ini, yang ada hanyalah istilah ‘antek asing, kafir, kolonialisme Barat, boikot produk Barat’.

Tak heran jika sindiran Sumanto Al Qurtuby selalu menambah esmosi, eh emosi mereka di facebook.Dalam tulisan ini saya tidak ingin membincang lebih panjang tentang sosok Sumanto Al Qurtuby. Jika ingin tahu lebih dalam, silahkan ikuti facebook beliau. Gratis!

Saya ingin mengulas lebih banyak tentang wajah keislaman kita saat ini, khususnya yang banyak dipraktikkan oleh mereka yang disebut ‘Mamat-Mimin-Momon’ oleh Sumanto. Dalam dua tahun belakangan ini, agam Islam rasanya ‘sepet’ dan ‘pahit’ kalau sudah dihubungkan dengan politik di Indonesia. Tragedi memilukan dimulai dari kasus Ahok yang disnggsp mengina Al Qur’an kemudian dilanjutkan dengan aksi-aksi turun jalan ke Monas pada tanggal-tanggal cantik, bahkan shalat jum’at pun di bawa ke Monas.

Tentu secara demokratis, ini hal yang lumrah. Namun yang membuat prihatin adalah adanya dugaan politisasi agama oleh sekelompok umat Islam untuk memenangkan jago mereka dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu silam.

Sumanto dalam statusnya menyebut mereka ini dalam kelompok Politik Piramida. Apa itu? Sebuah strategi politik yang dimotori oleh beberapa orang dengan kapasistasnya yang berbeda di lapangan. Dalam bentuk Piramida, bagian atas dihuni oleh beberapa orang berkepentingan politik saja yang mendanai suatu aksi turun jalan. Umumnya orang-orang ini tak terlalu sering muncul di layar kaca, namun hadir di acara inti di tengah-tengah masa.

Bagian kedua di tengah yaitu di sebut korlap (koordinator lapangan). Yang bertugas di sini umumnya orang yang menghubungkan pemberi dana tersebut dengan masa yang berada di paling bawah. Orang yang menjadi korlap ini biasanya memiliki kepentingan juga namun terhambat oleh pendanaan.

Yang terakhir adalah bagian bawah Piramida yang besar dan luas. Bagian ini digambarkan kepada pasukan atau masa yang digunakan untuk menjalankan aksi-aski demo di jalan. Umumnya masa ini tak mengerti untuk apa sebenarnya aksi-aski turun jalan tersebut. Mereka hanya paham bahwa akan dapat amplop atau sekedar nasbung (nasi bungkus) dalam aksinya. Mereka ini sebetulnya dimanfaatkan oleh yang memberi dana yang berada di pucuk tertinggi bangunan Piramida. Setelah semuanya selesai, mereka akan ditinggal dan tak akan menikmati kekuasaan politik sama sekali.

Kasus yang terbaru, saya menyebutnya BAB II Penistaan Agama, yang menyeret nama artis Joshua Suherman dan Ge Pamungkas juga telah mewarnai wajah keislaman kita di awal tahun ini. Apakah mereka benar menista agama Islam? Hanya Tuhan yang tahu! Yang pasti, tuduhan telah menista agama ini membuat kehidupan seolah-oleh isinya tegang, kaku, dan tak ada ruang untuk berkreasi.

Kita semua merasa prihatin melihat bagaimana kelompok Mamat-Mimin-Momon ini dijadikan kendaran politik bagi sekelompok orang yang berambisi meraih kekuasaan, mengganti dasar negara, atau hanya sekedar ingin eksis di dalam pemerintahan. Rupanya, banyak dari mereka ini yang berasal dari kaum terpelajar di perguruna tinggi sekuler. Mereka aktif dalam komunitas kajian Islam eksklusif yang kemudian direkrut menjadi pengibar bendera perang Rasulallah, Ar Rayyan dan Al Liwa’ dalam setiap aksi turun jalannya.

Kelompok Islam seperti ini patut dikatakan barisan sakit hati karena sikap mereka yang ‘gagal move on’ dengan konstalasi politik internasional. Apa-apa yang terjadi di Islam mereka tuduhkan  ke negara Barat, khususnya Amerika. Jadi tak heran jika mereka sering melakukan hal-hal lucu yang bahkan konyol bagi seseorang yang mengaku beragama.

Satu contoh adalah mereka hingga saat ini mengampanyekan khilafah sebagai solusi nyata kerusakan demokrasi di Indonesia, namun dalam waktu bersamaan mereka menggunakan fasilitas demokrasi untuk melakukan demo. Yang terbaru adalah mereka berkampanye untuk memboikot facebook beberapa waktu yang lalu, tetapi setelah akun mereka diblokir oleh facebook, mereka melakukan demo dengan dalih ketidak adilan. Lucu, bukan?

Inilah wajah islam Indonesia saat ini. Aktivitas mereka terlihat lebih kuat dari pada kelompok-kelompok Islam moderat yang dinahkodai oleh Nahdlatul Ulama dan ormas-ormas Islam moderat lainnya. Kelompok-kelompok moderat sebetulnya lebih banyak jumlahnya dari pada mereka.

Hanya saja suaranya tidak lantang dan terlihat adem-ayem saja. Kelompok moderat banyak bergumul di kampus dengan kegiatan utama mengajar, menghadiri seminar, dan melakukan penelitian. Alhasil mereka terlihat kalah besar ketimbang kelompok Islam yang anti toleransi.

Saya kira sampai kapan pun Sumanto Al Qurtuby dengan joke-joke segarnya akan terus menulis status sindiran di facebook kepada kelompok-kelompok barisan sakit hati ini. Mereka juga, saya rasa, akan terus merasa sakit hati dengan apa yang disampaiakn Sumanto di dinding facebooknya.

Sebagai pengamat sosial politik, saya terhibur dengan sindiran-sindiran lucu Sumanto Al Qurtuby di facebook dan saya akan terus menyebarkan status itu demi wajah Islam yang moderat di Indonesia. Mereka yang sakit hati bukan urusan saya. Biarlah Sumanto sendiri yang mengurusi! Wallahu a’lam.

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.