Dalam beberapa dekade terakhir isu tentang moderasi beragama, menjadi isu up to date yang diperbincangkan di forum-forum resmi, lingkaran diskusi mahasiswa, sampai ke meja kopi masyarakat awam. Isu moderasi beragama semakin sering diperbincangkan tatkala, gerakan intoleransi beragama semakin banyak. Wacana moderasi beragama menjadi counter narasi untuk merespon para ekstremis.
Hampir setiap tahunnya, kasus intolerasi beragama di Indonesia terus terjadi. Imparsial mencatat sepanjang tahun 2019, tercatat 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kasus intoleransi di Indonsia masih terus terjadi, dan sangat perlu untuk mendapat perhatian khusus.
Kementrian agama misalnya berusaha merespon hal tersebut dengan melakukan sosialisasi gagasan moderasi beragama, pelembagaan moderasi beragama kedalam kebijakan yang mengikat, dan mengintegrasikan rumusan moderasi beragama ke dalam rencana pembangunan (Tim Penyusun Kementrian Agama RI, 2019).
Secara sederhana moderasi beragama yang disosialisasikan oleh kementrian agama memiliki empat indikator, yaitu: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; 4) akomodatif pada kebudayaan lokal. Empat indikator yang disosialisasikan oleh kementrian agama tersebut, berusaha agar relevan dengan konteks keIndoesiaan yang sangat plural dan heterogen.
Sebenarnya dalam sejarah panjang indonesia berdiri, komitmen moderasi beragama telah ditunjukkan oleh para tokoh bangsa kita. Mungkin orang-orang hanya mengenal Gus Dur, Cak Nur, dll. sebagai bapak toleransi Indonesia. Tapi jauh sebelum mereka menyuarakan moderasi/toleransi beragama, sang proklamator kita yaitu Sukarno telah bersuara lebih dulu. Dia berusaha membangun rumah bagi seluruh golongan, yah rumah yang ia namakan Indonesia.
Sukarno dan Komitmen Moderasi Beragama
Sukarno dalam sebuah pidatonya mengatakan “ingat, kita ini bukan dari satu suku-budaya, bukan dari satu adat-istiadat, kita ini bukan dari satu agama!, kita ini Bhineka Tunggal Ika”(Sukarno, 1965). Pidato tersebut menegaskan kita boleh saja berbeda identitas agama, suku, dan budaya tapi kita tetap satu yaitu Indonesia. Sukarno berharap agar bangsa Indonesia tak bertikai dan terpecah-belah.
Hal tersebut juga menggambarkan bagaimana Sukarno mengedepankan kepentingan bersama, dari pada kepentingan pribadi atau golonganya. Sigit Aris Prasetyo dalam bukunya “Bung Karno dan Revolusi Mental” (2017) mengatakan bahwa Sukarno memang pemeluk Islam yang taat, tapi ia cinta terhadap keberagaman, menghargai pemeluk kepercayaan yang lain dan tidak diskriminasi.
Tidak hanya itu, selain ia menyuarakan moderasi beragama di atas mimbar dengan pidatonya, Sukarno juga menyuarakan moderasi beragama dengan membuat simbol toleransi beragama. Dia membangun masjid megah dengan nama “Masjid Istiqlal” yang berarti “Masjid Merdeka”. Masjid Istiqlal adalah sebuah harapan Sukarno akan toleransi dan kerukunan umat, dia membangun masjid tersebut berdampingan dengan gereja Katedral agar terjalin keakraban umat satu sama lain.
Selain itu Sukarno, tak pernah mengkafirkan serta menganggap dirinya yang paling benar (truth claim). Sukarno dalam amanatnya mengatakan “tidak semua manusia berhak berkata: aku sajalah yang paling benar, orang lain pasti salah, golongan, dan partaiku saja yang benar, golongan dan partai lain pasti salah (Sukarno, 1965). Orang tersebut menurut Sukarno adalah seorang yang sombong, ego sentris, eksklusif dan ekstream.
Beberapa sikap dan kebijakan Sukarno tersebut menunjukkan kepada kita, komitmen kebangsaan, toleransi, akomodatif, serta anti kekerasannya, hal mengkonfirmasi bahwa moderasi bergama yang dikembangkan oleh kementrian agama saat ini, sesungguhnya sejalan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh Sukarno ketika mengimajinasikan Indonesia.
Sukarno dan Harapan Perdamaian Dunia
Seorang Sukarno tidak hanya mengharapkan sebuah perdamaian di negerinya sendiri, komitmen-komitmen perdamaian yang ia tunjukkan dengan moderasi beragamanya ia coba suarakan pada dunia. Hal tersebut Sukarno tunjukkan melalui sidang umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dalam pidatonya yang berjudul “To Build The World A New” yang berarti “Membangun Tatanan Dunia Baru”, dia menggambarkan toleransi beragama, dengan mengutip ayat dalam Al-Qur’an dan Injil
Dalam Al-Qur’an Sukarno mengutip surah Al-Hujrat ayat 13 dan dalam Injil ia mengutip Lukas 2:14. Dia menegaskan dengan dua kutipan tersebut, bahwa tak ada suatu bangsa yang boleh mendominasi dengan praktik kolonialisme dan imperialismenya. Dengan lantang Sukarno menyampaikan bahwa praktik kolonialisme dan penindasan tersebut, bertentangan dengan fitrah manusia yang diberikan Tuhan berupa kebebasan.
Keberagaman menurut Sukarno adalah sebuah fitrah yang diberikan oleh Tuhan, keberagaman manusia tersebut di mata Tuhan setara. Tak ada golongan manusia yang lebih tinggi dari golongan yang lain, kecuali dengan ketaqwaan. Pesan universalitas dari agama disampaikan Sukarno kepada dunia, komitmen perdamaian dunia disampaikan Sukarno dengan moderasi beragama, dia tidak hanya melihat dari satu perspektif kepercayaan saja, tapi dia menarik pesan univesal dari beragam kepercayaan.
Sekali lagi seorang Sukarno adalah tokoh yang lantang menyuarakan gagasannya yang di dalamnya terdapat nilai-nilai moderasi beragama dan menariknya kepada sebuah harapan akan terciptanya perdamaian dunia.