Belum lama ini, Bupati Banjarnegara, Budi Sarwono dijemput paksa oleh KPK. Ia tersandung kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara tahun 2017-2018. Tahun lalu sekitar awal Desember 2020, Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka kasus suap bantuan sosial untuk penanganan pandemi Covid-19.
Realitas pahit ini sering tersaji pada bumi pertiwi ini, bahkan munculnya ditengah kemurungan sosial yang tercerminkan dalam huru-hara pandemi ini. Seakan-akan kutukan masalah terus silih berganti mendera bangsa ini. Namun, kondisi seperti ini harusnya tidak membuat kita menjadi tegang hidupnya dan jauh dari kata santai.
Terkadang ada baiknya kita menjadi orang yg rileks ketika mendengar ada pejabat publik berbohong atau melakukan tindak pidana korupsi, Apa mungkin janji kampanye yg elok itu mudah ditepati menjadi kenyataan? Meskipun tidak bermaksud bohong sekalipun, atau bahkan berusaha dengan sungguh-sungguhpun, janji itu masih sulit ditepati.
Analoginya pertama, misalkan saya berjanji kepada istri, bahwa saya akan membahagiakannya lahir, batin dunia dan akhirat. Ketika mengatakan janji itu, saya sangat sadar bahwa saya sendiri ragu-ragu.untuk bisa menepati seluruh variable janji itu. Tetapi kepada mertua, apa mungkin saya berterus terang bahwa masih ada keraguan dalam hati saya untuk membahagiakan anaknya lahir, batin dan bersikap ideal. Bisa-bisa calon mertua saya berfikir ulang untuk menyerahkan putrinya untuk saya peristri.
Jika para pembaca menolak analogi ini, pertanyaan penulis adalah, “anda yakin bisa membahagiakan lahir dan batin istri anda? Anda yakin bisa membahagiakan seterusnya batin istri anda, padahal anda tidak tahu hal apa saja yang membahagiakan batin istri anda? Parameter ukurannya seperti apa? Pun demikian dengan janji-janji politik pejabat publik
Jadi dari awal janji politik itu karakteristiknya mirip sebuah “ritual” saja bukan MOU, makanya terhadap pejabat publik itu santai saja. Harus mengerti kadar idealnya dan kadar rasionalnya.
Rasionalnya pejabat publik itu hanya bisa melakukan soal soal yang sangat rasional. Dimana yang dimaksud rasional itu adalah bahkan jauh dari platform janji janji itu. Baru pada tingkat janji saja, jarak ideal dan rasional sudah demikian jauhnya. Belum ditingkat pelaksanaannya, baru terverifikasi, oh ternyata lebih jauh lagi.
Analoginya yang kedua adalah membaca peta, Di tataran skala antara Jawa Tengah dengan Jawa Barat sangat dekat. Namun, ditingkat realitas sangat jauh. Di sepanjang perjalanan ada gunung, ada lembah dan mungkin juga potensi gangguan juga sudah bersiap menghadang anda.
Jadi, janji pejabat itu harus dipahami seperti itu, tetapi mereka juga tidak mungkin tidak berjanji. karena protapnya seperti itu. Masak dalam kampanye, dia berorasi,” pilihlah saya, tetapi karena saya manusia biasa yang penuh khilaf dan kesempurnaan hanya milik Tuhan maka jika nanti saya terpilih dan melakukan kekhilafan, mohon dimaklumi ya? Kan saya bukan Tuhan? Kalau model kampanye seperti ini mungkin tidak perlu ada yang namanya orasi kampanye, strategi pemenangan politik terlebih konsultan politik.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah perilaku tidak menepati janji yang biasa dilakukan oleh pejabat publik berhubungan dengan karakter kepribadian? Bisa iya tapi juga bisa tidak. Jika pun ia terkait maka bisa terkait dengan kategori bermacam-macam, keterkaitan yang ringan, moderat atau bahkan berat. Tapi penulis tidak tertarik untuk membahas itu. Penulis tertarik memahasnya dari sisi kompleksitasnya.
Coba kita potret realitas politik tersebut dari sisi kompleksitasnya, Analoginya seperti ini, misal kita masuk ke jalan protokol, misalnya JL Tamrin di Jakarta, betapapun kita makhluk introvert, sangat sulit bagi kita untuk tidak mendengar bunyi klakson. Seperti itulah realitas politik. Jika anda berfikir tenang dan mendalam maka anda akan menemukan keterkaitannya.
Analogi kedua, dan jika seberapapun sabar anda pasti kita melihat ada tabrakan norma yang mengagitasi kita. sehingga kalau kita marah pada situasi itu bukan berarti orang dengan serta merta menyalahkan kita atau men-judge kita, “kamu mbok yang sabar?. Kalau kita dirumah kepada keluarga, tetangga mungkin judgement itu masih relevan tapi kalau tekanannya berada di tempat dan posisi yang sangan komplek, saya kira asas-asas rasional kontekstual boleh dipakai. Rasional dan sesuai konteknya.
Anda sudah menemukan keterkaitan antara analogi dengan realitas politik? Dan mengapa para pejabat publik sulit menepati janji-janjinya?. Tentu kupasan seperti ini sangat tergantung dari sudut pandangnya. Mungkin akan berbeda pandangannya dari sisi agama, budaya, sosial dan seterusnya
Ya, memang politik itu sangat kompleks, tetapi jika yang menanggapi terlalu sederhana maka justru yang muncul hanyalah warna hitam dan putih saja, atau sekedar boleh dan tidak. Dampaknya hanya akan terjebak pada rasa gemas, marah namun tidak bisa berbuat apa apa, Ya, hanya ikut gemas dan marah. Dari pada hanya merasakan perasaan seperti itu dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka lebih baik santai saja jika mendapat kabar pejabat publik sedang tertangkap korupsi, kena OTT ataupun membohongi seabrek janji saat kampanye dulu.