Jumat, Mei 3, 2024

Student Loan, Sebuah Kritik Terhadap Satu Opini Geotimes

asad mahdi
asad mahdi
Saya adalah Mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Kesibukan saya sejauh ini hanya kuliah dan aktif di beberapa organisasi intra-ekstra kampus

    “Namun bukannya kaum miskin itu tanggung jawab negara dalam memelihara mereka?” – Muhammad Vicky Afris Suryono

Saat membaca kolom opini GeoTimes saya menemukan salah satu tulisan yang sedikit mengganggu pemikiran saya mengenai cara pandang terhadap sektor pendidikan secara khusus dan peran pemerintah secara umum dalam perspektif ekonomi. Misalnya saja kalimat di atas. Dengan sudut pandang humanis liberal, tentu pandangan tersebut adalah sebuah penghinaan atas kebebasan manusia. Namun, dalam tulisan ini saya akan lebih berfokus pada argumen terkait student loan.

Untuk memahami student loan tentu pertama-pertama kita harus dapat membedakan antara bersekolah dan belajar. Bersekolah adalah belajar di sekolah, di mana apabila dilihat dari perspektif ekonomi, bersekolah adalah kegiatan untuk meningkatkan skill yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai jual kita di masyarakat. Apabila saya melihat dari sudut pandang tersebut, maka bersekolah adalah suatu tindakan yang didasari oleh motif ekonomi.

Tindakan-tindakan yang lahir atas dasar motif ekonomi tentu harus diperlakukan dengan pendekatan yang pro pasar, kenapa? Karena apabila saya menggunakan sudut pandang kapitalisme dan Equilibrium, kebijakan yang terlalu banyak mengintervensi pasar hanya akan menimbulkan distorsi terhadap pasar. Pada akhirnya hal tersebut hanya akan menghasilkan output yang inefisien.

Tentu saya butuh tulisan lain untuk membahas alasan dibalik inefisiensi dari tindakan yang mendistorsi pasar, tetapi saya akan coba menjelaskan dengan sederhana pada kasus sektor pendidikan. Terlalu banyak pihak yan memberikan arahan pada sektor pendidikan pada dasarnya hanya akan membatasi inovasi dalam penyelenggaran pendidikan. Pendidikan yang paling efisien adalah pendidikan yang dapat menyediakan insentif bagi penyelenggaranya untuk berinovasi dan konsumennya untuk memilih.

Hal tersebut tentu tidak dapat terjadi apabila pendidikan masih dikekang oleh banyak kepentingan, apalagi tindakan-tindakan yang populis, misalnya saja subsidi besar-besaran untuk sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Harapannya memang seluruh penduduk dapat merasakan nikmatnya terdidik, namun apakah untuk terdidik kita harus bersekolah? Tentu hal tersebut adalah sebuah kesalahan logika.

Belajar tentu beda dengan bersekolah. Anda bisa belajar di perpustakaan nasional dengan gratis atau sedikit membayar apabila ingin menjadi anggota, sedangkan sekolah hanya untuk melegitimasi bahwa anda telah “belajar”. Seperti yang saya telah jelaskan di pargraf ke-2, bersekolah adalah motif ekonomi untuk mendapatkan “keuntungan”. Peningkatan skill dan legitimasi ijazah akan meningkatkan standar upah anda.

Sekarang kita bayangkan apabila semua orang wajib bersekolah sampai pendidikan tinggi, dan negara wajib untuk membiayai mereka. Hal yang pasti akan terjadi adalah penumpukan pencari kerja. Penawaran tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi yang berlebihan pada akhirnya akan membuat tenaga ahli kita dihargai murah. Penghargaan yang murah pada akhirnya akan membuat tenaga ahli kita tidak memiliki insentif yang cukup untuk bekerja dan berinovasi. Maka jangan kaget apabila anda bertemu dengan office boy yang memiliki gelar sarjana. Itu terjadi karena gap penghargaan antara office boy dengan pemilik gelar sarjana mungkin kecil.

Itulah yang saya maksud dengan bahaya dari distorsi terhadap pasar. Inefisiensi yang dihasilkan oleh tindakan yang mendistorsi pasar tentu akan sangat merugikan tenaga kerja ahli di Indonesia yang membiayai sekolahnya dengan uang pribadi. Lantas apakah saya sepenuhnya tidak setuju dengan sekolah gratis? Tentu tidak juga!

Sekolah gratis tentu saja tetap diperlukan, tetapi hanya pada tingkat tertentu. Misalnya saja program wajib belajar 12 tahun. Sekolah gratis semacam itu tetap diperlukan untuk memastikan adanya standarisasi pengetahuan masyarakat kita. Kurikulum di sekolah tersebut juga harus hanya berfokus tentang tata cara menjadi masyarakat di Indonesia, peraturan-peraturan yang ada di Indonesia, baca-tulis, dan segala kurikulum dasar yang diperlukan untuk menunjang kemampuan masyarakat dalam menjalankan hidup di negara yang demokratis.

Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari apa yang disebut sebagai neighborhood effect. Sederhananya keadaan tersebut adalah kondisi di mana ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak dapat menyentuh pendidikan standar karena keterbatasan ekonomi.

Tentu tindakan pemerintah pada kasus ini dibenarkan, karena memang tanpa pendidikan standar ditakutkan kelompok masyarakat tersebut akan sulit untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya dan akan terus tertinggal. Apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia, tentu pendidikan dasar akan menjadi suatu yang sangat mendesak untuk diadakan.

Student loan sendiri sebenarnya hanya salah satu solusi untuk menyelenggarakan pendidikan yang inklusif. Tentu saya tetap mengakui bahwa di beberapa negara yang menyelenggarakan student loan kerap terjadi kegagalan yang cukup merugikan pasar. Pertanyaannya, apakah hal tersebut cukup untuk menjustifikasi penolakan terhadap kebijakan tersebut? Tentu tidak!

Apabila anda ingat Global Financial Crisis 2008, di mana pada saat itu banyak orang yang langsung menyalahkan bahwa pasar bebas adalah dalang dari kejadian tersebut. Padahal, kita juga harus mengkaui bahwa 20 tahun sebelumnya pasar bebas telah menunjukkan hasil yang gemilang, di mana negara-negara mantan penganut ekonomi terpimpin dapat merasakan pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Menurut saya yang salah bukan pasar bebas, melainkan tindakan-tindakan preventif yang kurang dijalankan untuk menghadang efek negatif dari pasar yang terlalu bebas. Setelah kejadian tersebut akhirnya kita mengenal Makroprudential.

Pada akhirnya saya berharap hal yang sama dapat diberlakukan juga dalam konteks kebijakan student loan. Tentu tidak adil apabila kita menolak suatu kebijakan hanya karena kebijakan dengan nama yang sama pernah gagal ketika diimplementasikan di negara lain. Apalah arti sebuah nama? Menurut saya yang diperlukan adalah mengimplementasikan kebijakan yang pro pasar namun tetap dengan tindakan-tindakan preventif untuk menghindari kegagalan yang mungkin terjadi.

asad mahdi
asad mahdi
Saya adalah Mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Kesibukan saya sejauh ini hanya kuliah dan aktif di beberapa organisasi intra-ekstra kampus
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.