Di tengah hiruk-pikuk algoritma, campaign besar-besaran, dan tools digital yang terus berkembang, satu hal menjadi semakin jelas: strategi pemasaran tidak lagi cukup. Merek yang hanya fokus pada taktik penjualan cepat akan segera ditinggalkan oleh pasar, terutama oleh generasi muda seperti Gen Z. Kini, yang dibutuhkan bukan hanya pendekatan yang cerdas, tetapi juga pendekatan yang penuh empati dan benar-benar memahami kebutuhan, nilai, serta emosi konsumen secara mendalam.
Gen Z: Konsumen yang Tidak Bisa Diperintah
Gen Z telah mengubah wajah pemasaran global. Mereka tumbuh dalam dunia yang serba cepat, penuh informasi, dan kritis terhadap segala bentuk pencitraan. Mereka menilai brand bukan dari seberapa mewah iklannya, tetapi seberapa tulus pesan yang dibawanya. Mereka menginginkan interaksi, kejujuran, dan nilai yang dirasakan secara nyata.Menurut laporan Kreavi Insight 2025, lebih dari 52% Gen Z lebih mempercayai opini kreator konten mikro (micro-influencer) dibanding iklan resmi, dan hampir 68% dari mereka mengaku lebih tertarik pada brand yang menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial.
Empati Adalah Kunci Baru dalam Pemasaran
Empati dalam pemasaran adalah kemampuan untuk memahami setiap konsumen, merespons audiens, dan membangun hubungan emosional yang kuat antara merek dan audiensnya sehingga audiens sendiri merasa diperlakukan secara spesial. Banyak sekali cara yang bisa dilakukan agar meningkatkan rasa empati dari para audiens, seperti membalas komentar pelanggan secara personal, membuat kampanye berdasarkan pengalaman nyata komunitas, serta menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial secara konsisten dan bijaksana, bukan hanya saat isu tersebut sedang ramai.
Sebuah studi dari Edelman Trust Barometer menyatakan bahwa brand yang responsif terhadap nilai dan kekhawatiran audiensnya memiliki 1,8x lebih besar peluang menciptakan loyalitas jangka panjang.
Contoh Nyata: Merek yang Mempraktikkan Empati
Tak hanya di kancah internasional, brand lokal juga terbukti telah berhasil menerapkan bagaimana empati dari sebuah brand dapat diterapkan menjadi sebuah strategi yang efektif, seperti:
• Janji Jiwa membangun sebuah narasi yang ringan dengan kehidupan harian masyarakat Indonesia secara konsisten seperti memanfaatkan brand awareness dan loyalitas pelanggan, sembari mendukung UMKM dan komunitas lokal.
• The Body Shop secara disiplin selalu mengangkat isu keadilan sosial dan keberlanjutan, sehingga Masyarakat tidak hanya menilai pesan tersebut sebagai pemasaran tetapi sebagai DNA merek.
• Sociolla mengadakan sesi live Instagram bukan hanya untuk promosi produk, tetapi juga edukasi seputar skincare yang sehat dan aman, menjawab pertanyaan audiens dengan sabar dan humanis.
Kesimpulan
Di era digital ini, emosi adalah mata uang baru dalam pemasaran. Merek yang hanya berfokus pada algoritma akan kalah dengan mereka yang fokus pada manusia. Empati bukan lagi pelengkap; ia adalah sebuah nilai inti yang membedakan brand biasa dari brand yang dicintai.
Kemenangan di dunia digital bukan hanya soal pemasaran atau promosi, tetapi tentang bagaimana sebuah brand mampu membangun rasa percaya, relevansi, dan koneksi emosional yang tahan lama.