Jumat, Oktober 11, 2024

Polarisasi Politik di Media Sosial dan Peran Algoritma

Fajar Novianto Alfitroh
Fajar Novianto Alfitroh
Seorang konten kreator Youtube dengan nama kanal Youtube yang sama.Memiliki ketertarikan menulis artikel sebagai wadah untuk healing

Menjelang pemilu, semua awak media yang ada di Indonesia selalu menyajikan isu-isu hangat berupa penampilan citra baik dan buruk dari setiap calon kandidat. Semua media menggoreng habis isu Pilpres menjelang pemilu karena pasarnya yang sangat menjanjikan. Kita bisa melihat betapa mengerikanya kondisi media massa pada pemilu presiden tahun 2019 yang mana pada saat itu peningkatan pengguna platform Instagram meningkat tajam.

Pada dasarnya, pemilihan presiden harus kita maknai sebagai pesta demokrasi bagi kita semua agar semuanya dapat terlibat untuk menyuarakan aspirasinya dalam berpolitik. Idealnya, negara demokrasi harusnya selalu menjaga ketertiban dan keberlangsungan berbagai macam aspirasi dari rakyat agar sistem pemerintahan dapat berjalan selaras tanpa adanya pihak yang mendominasi.

Sistem demokrasi yang diterapkan di negara kita seakan-akan hanya menjadi bentuk formalitas saja. Bayangkan, dari segi anggaran untuk berkampanye aja, di Indonesia belum ada regulasi untuk menyama ratakan anggaran agar seluruh partai di Indoneisa sama rata. Hal itulah yang tentunya membuat polarisasi politik ini seakan-akan rakyat hanya dijadikan sebagai komoditas demi mendapatkan suara semata.

Di dalam dunia pers pun sama, apalagi banyak pemilik media massa yang dikuasai oleh kalangan elite politik. Kita mungkin seringkali menemukan media massa yang sangat mengunggulkan salah satu kubu politik dan ketika kubu tersebut melakukan kesalahan, media massa tersebut enggan untuk mempublikasikan berita negatif yang ada di kubu tersebut.

Merambah masyarakat dalam pemakaian media sosial juga menjadi sasaran empuk bagi para elit politik untuk melancarakan polarisasi politik. Kepercayaan publik terhadap kanal berita yang tersedia di televisi semakin menurun, yang membuat publik beralih ke media sosial dengan harapan mendapatkan informasi yang terkesan mengungkap sisi sebaliknya dari konten-konten kanal berita di Televisi.

Namun, karena masyarakat belum banyak yang sadar akan kebenaran berita dan pentingnya filter terhadap konten-konten yang bermunculan di media sosial, seringkali masyarakat terbawa carut-marut kotornya persaingan politik yang terjadi di media sosial tersebut.

Algoritma Menjadi Peran Utama Polarisasi Politik

Bagi media sosial,para pengguna merupakan raja yang harus dilayani dengan konten-konten sesuai perilaku ketika menggunakan media sosial. Perilaku yang dimaksud adalah kecenderungan pengguna dalam menyukai hiburan atau informasi yang tersedia didalamnya.

Media sosial akan tahu apa yang kita cari selama kita menggunakannya dengan data base yang mereka simpan. Algoritmalah yang akan bekerja untuk menyesuaikan tampilan konten-konten bagi pengguna sesuai dengan perilaku pengguna dalam mencari dan menyukai informasi

Para buzzer pun sangat terbantu dengan hal ini. Ketika masyarakat tidak menyadari jebakan algoritma yang berusaha untuk selalu menampilkan informasi dari satu sudut,disitulah masyarakat telah terpolarisasi. Pilihan politik masyakat pun akan berganti pada keyakinan informasi yang dikonsumsi tanpa mempelajari betul kenyataan yang sebenarnya lewat.

Menjangkit berbagai kalangan pengguna medsos 

Dari berbagai kalangan usia, di media sosial sering bersliweran para buzzer dengan informasinya yang menyesatkan. Sasaranya pun tidak pandang bulu, banyak sekali para remaja yang masih diuduk di bangku SMP sudah mempraktikan hate speech terhadap calon kandidat tertentu. Padahal,mereka semua banyak yang sama sekali tidak mengenali para calon kandidat presiden akibat postingan-postingan yang bersliweran di Medsos.

Polarisasi ini juga terjadi kepada pengguna medsos orang tua. Akibatnya, para orang tua ini menjadi korban polarisasi politik yang dikarenakan anggapan orang tua mengenai berita di medsos sudah pasti valid. Tentunya hal ini sangat berdampak terhadap keberlangsungan hubungan sosial di keluarga dan masyarakat. Banyak kita temukan kiriman para orang tua di grup keluarga besar ataupun grup perkumpulan masyarakat yang isinya ujaran kebencian lewat temuan konten di media sosial.

Kualitas kontrol diri masyarakat masih sangat rendah

Dalam panduan bermedia sosial yang baik dan benar, sudah pasti para pengguna dilarang untuk membuat keos di dunia maya. Segampang untuk tidak langsung membagi informasi yang ada di media sosial sebelum difilter berkelanjutan itu akan menjadi upaya untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan.

Namun kenyataanya, masyarakat indonesia masih saja gegabah menanggapi suatu berita tanpa berfikir panjang akan efek yang ditimbulkan kedepanya. Kontrol diri yang sangat rendah inilah membuat para pengguna media sosial mudah sekali dikendalikan algoritmanya.

Sehingga,rendahnya kontrol diri masyarakat ini membuat para buzzer dengan kepentingan elit politiknya mendapatkan bahan bakar baru agar suasana politik di Indonesia semakin panas.

Para buzzer ini mendapatkan follower secara sukarela ketika masyarakat lenggah dalam kontrol diri untuk tidak condong ke salah satu kubu. Kita sering jumpai para buzzer dengan akun media sosialnya mendapatkan sebuah forum pendukung untuk menyerang pendukung lain yang berseberangan. Al hasil, hal tersebut akan menambah korban-korban selanjutnya yang sebelumnya tidak terlarut dalam polarisasi politik ini

Kontrol diri dalam bermedia sosial sangatlah penting agar kita sendiri tidak terlalu memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk kehidupan pribadi. Kita harus kembali lagi pada tujuan diciptakan sebuah media sosial, yakni sebagai media hiburan kita dari penatnya rutinitas sehari-hari.

Polarisasi Terhadap Pilpres 2024 yang akan datang

Isu Pilpres 2024 ini dari jauh-jauh waktu sudah sangat panas.Mulai dari pandemi Covid 19 tahun kemarin,topik pembicaraan mengenai aktor yang akan mengisi podium pemilu pun sudah sering dibahas hingga saat ini.

Akun-akun buzzer pun sudah banyak bersliweran untuk mendukung dan menjelekan kandidat yang kemungkinan masuk di pemilu 2024. Terhitung sampai detik ini,kemungkinan kandidat yang akan mendaftarkan diri sebagai calon presiden sudah semakin jelas. Para buzzer pun sudah tancap pedal untuk memanaskan iklim politik yang akan merusak demokrasi.

Melihat tahun politik sudah semakin dekat, prediksi keos yang mungkin saja terjadi dengan resikonya semakin besar, yakni para buzzer bisa saja akan memanfaatkan teknologi AI untuk mengelabui para pengikutnya ataupun masyarakat luas nantinya. Canggihnya teknologi AI ini dalam meniru visual dan ciri khas indrawi setiap individu, sangat rentan disalah gunakan untuk membuat informasi palsu atas kandidat calon presiden 2023-2924.

Pada perkembanganya saja teknologi ini telah berhasil membuat inovasi baru bagi para kriminal untuk melancarkan aksi kejahatanya dengan cara baru,apalagi nantinya untuk menjatuhkan lawan politik masyarakat bisa saja tertipu dengan teknologi yang satu ini.

Mungkin saja, skema yang nantinya akan dipakai para buzzer dengan memanfaatkan teknologi AI ini bisa menjelang hari pemilihan, para buzzer ini membuat sebuah video negatif dengan menirukan karakter calon presiden seakan-akan video tersebut merupakan rekaman asli dari calon kandidat.

Fajar Novianto Alfitroh
Fajar Novianto Alfitroh
Seorang konten kreator Youtube dengan nama kanal Youtube yang sama.Memiliki ketertarikan menulis artikel sebagai wadah untuk healing
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.