Seringkali kita mendengar filsafat stoikisme atau yang biasa kita kenal dengan Filosofi Teras. Sebuah filosofi tentang kehidupan yang pada saat itu dipopulerkan melalui buku dengan judul “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring. Mungkin diantara kalian sudah sangat mengenal tentang filsafat ini. Pembahasan mengenai filsafat ini sudah ada di Youtube, Instagram, Twitter/X, dan mungkin sempat menjadi topik diskusi kalian ketika nongkrong bersama teman.
Tahukah kamu, sebenarnya filsafat ini punya kembaran, dan filsafat ini ada disini, di Indonesia. Apa itu? Filosafat Jawa adalah kembarannya. Filosafat Jawa memiliki warna yang terasa sangat mirip dengan Stoikisme, mereka sama-sama berusaha mengajak pembacanya untuk mengontrol emosinya. Oleh karena itu kita akan membahas mengenai kesamaan dari kedua filsafat ini.
Asal Usul dan Konteks
Stoisisme adalah aliran filsafat kuno yang berasal dari Yunani Kuno pada abad ke-3 SM. Aliran ini mendapat pengaruh besar dari beberapa toko pentingnya, sepeti: Zeno dari Citium, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Pemikiran Stoisisme mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk etika, filsafat, dan tata cara hidup, seperti sikap dikotomi kendali yang mereka banggakan.
Kemunculan Aksara Jawa atau Hanacaraka berperan dalam perkembangan filsafat Jawa. Tokoh-Tokoh hebatnya seperti Empu Kanwa, Empu Prapanca, dan Empu Tantular turut memperkaya pemikiran dari filsafat Jawa. Filsafat Jawa memiliki empat dimensinya, yaitu:
- Metafisika: Menyelidiki hakikat keberadaan dan hubungan manusia dengan alam semesta.
- Ontologi: Mempertanyakan tentang apa yang ada dan sebab pertama.
- Epistemologi: Membahas tentang ilmu pengetahuan.
- Aksiologi: Menyelidiki norma-norma dan nilai-nilai. Filsafat Jawa mengutamakan kesempurnaan batin dan mengajarkan bahwa kesempurnaan hidup dapat dicapai dengan merenungkan diri dengan Tuhan.
Konsep utama dalam Filsafat Jawa, mencakup perasaan, emosi, dan keadaan batin manusia. Filsafat Jawa mengajarkan pentingnya merenung dan berpikir tentang hubungan dengan Tuhan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Setiap bidang dan dimensi dalam filsafat Jawa harus menyatu, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kesempurnaan hidup melibatkan keselarasan antara berbagai aspek kehidupan.
Konsep Kendali Diri dan Emosi
Konsep Apatheia adalah konsep Stoik yang mengajarkan tentang mengendalikan emosi dan reaksi terhadap peristiwa. Stoikisme menekankan bahwa manusia harus mampu menerima keadaan dunia dengan pasrah dan tawakal. Sikap apatheia merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia dan dianggap sebagai kemampuan tertinggi
Stoikisme mengajarkan bahwa ketenangan batin dapat dicapai dengan mengendalikan emosi dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kontrol. Manusia harus menerima takdir dan mengubah apa yang dapat diubah, serta bijaksana dalam membedakan keduanya
Konsep “Rasa” dalam Filsafat Jawa merupakan salah satu aspek penting yang mencakup perasaan, emosi, dan keadaan batin manusia. Rasa mengacu pada perasaan dan emosi yang dialami oleh manusia. Filsafat Jawa mengajarkan pentingnya memiliki keseimbangan emosional. Manusia harus mampu mengendalikan nafsu dan menghadapi situasi kehidupan dengan bijaksana
Filsafat Jawa juga mengajarkan konsep “Nrima”, nrima adalah sikap penerimaan terhadap segala peristiwa yang terjadi. Manusia harus menerima takdir dengan lapang dada dan menghadapinya dengan ketenangan batin.
Berdasarkan penjelasan diatas, kamu bisa melihat bahwa baik apatheia dari Stoikisme maupun Nrima dari Filsafat Jawa sama-sama memiliki kesamaan dalam mengajarkan ketenangan batin dan kesempurnaan hidup melalui penerimaan dan kontrol emosi. Kedua saling terhubung dalam pandangan manusia tentang bagaimana menghadapi dunia dan menghadirkan reaksi terhadap peristiwa tersebut.
Perspektif tentang Kebahagiaan
Baik Stoikisme maupun Filsafat Jawa sama-sama menekankan pentingnya mengendalikan emosi dan reaksi terhadap peristiwa. Namun terdapat perbedaan dari kedua filsafat ini yaitu bahwa Filsafat Jawa memiliki unsur spiritualitas dan pemujaan yang kuat, sementara Stoikisme lebih berfokus pada etika dan juga logika.
Perbedaan lain yang terlihat adalah dalam pendekatan mereka terhadap ketidakpastian adalah bahwa Stoikisme menerima ketidakpastian dan takdir, sementara Filsafat jawa lebih mencari letak keseimbangan dalam mencapai kepastian. Mencari keseimbangan disini lebih kepada mencari ketidakpastian dan kepastian, ini berarti kita harus menerima ketidakpastian namun tetap berusaha mencapai kepastian sebanyak mungkin.
Perbandingan Konsep Etika
Stoikisme:
- Kebajikan: Stoikisme menekankan pentingnya kebajikan sebagai landasan etika. Kebajikan melibatkan kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan keterkaitan dengan alam semesta.
- Moralitas: Para stoik mengajarkan bahwa moralitas terletak pada kontrol diri, rasionalitas, dan ketaatan terhadap hukum alam. Mereka percaya bahwa tindakan yang sesuai dengan alam semesta adalah tindakan yang baik.
- Tanggung Jawab Sosial: Stoikisme menekankan tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia. Kita harus berkontribusi pada kebaikan bersama dan membantu orang lain.
Filsafat Jawa:
- Kebajikan: Filsafat Jawa mengajarkan bahwa keseimbangan adalah bentuk kebajikan. Keseimbangan antara keinginan duniawi dan spiritual, serta antara individu dan komunitas, merupakan hal yang dihargai.
- Moralitas: Moralitas dalam Filsafat Jawa mencakup “Rasa” atau “Perasaan”. Manusia harus menjaga keseimbangan emosi dan mengendalikan nafsu.
- Tanggung Jawab Sosial: Filsafat Jawa mengajarkan konsep “Nrima”, yaitu sikap menerima dan bersyukur terhadap segala peristiwa. Tanggung jawab sosial melibatkan rasa saling menghormati dan membantu sesama.
Keduanya menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan. Kebijaksanaan membantu kita untuk membuat keputusan yang bijaksana dan memahami makna sejati kebahagiaan. Konsep “Nrima” pada Filsafat Jawa menjelaskan bahwa kita harus menghargai yang kita miliki.
Kita juga bisa lihat bahwa kedua filsafat ini juga mengajarkan kendali diri dan mengendalikan emosi. Ini membantu kita menghadapi tantangan dengan tenang. Meskipun kedua filasafat ini berasal dari budaya yang berbeda, kedua filsafat ini mampu menawarkan pandangan berharga tentang bagaimana kita dapat hidup dengan bijaksana, harmonis, dan bahagia.