Kamis, April 18, 2024

Stigma Negatif Wanita Single

Hairunnisa Zulkifli
Hairunnisa Zulkifli
Alumni Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Tadulako. Instagram @nissahazul.

Sudah punya kerjaan, sukses, cerdas, baik hati, berpenampilan menarik. Wah, rasanya sudah cukup sempurna sebagai wanita. Eh, tapi mohon maaf. Selama kamu belum punya pasangan, kamu belum dianggap berhasil dalam menjalani hidup. Itulah stigma yang harus diterima oleh para wanita yang sudah berusia matang tetapi masih lajang.

Di Indonesia, menikah dan memiliki pasangan dianggap sebagai tolak ukur kesempurnaan hidup. Bahkan dijadikan standar kebahagiaan. Padahal siapa yang tahu hati seseorang? Bisa saja ada orang yang tetap bahagia meskipun belum menikah. Saya atau pun kamu bukan Park Soo Ha dalam drama Korea I Can See Your Voice yang bisa membaca pikiran orang lain, juga bukan Kim Bom dalam drama Korea Sweden Laundry yang bisa mengerti isi hati orang lain. Kita hanyalah manusia biasa yang menebak isi hati doi pun tak bisa.

Tak heran jika wanita yang sudah menginjak usia 20-an mulai ditagih jodoh oleh orang-orang di sekitarnya. Mulai dari keluarga, sahabat, teman-teman, tetangga, ibu RT, ibu kosan, ibu kontrakan, ibu-ibu tukang gibah di penjual sayur, bahkan orang sebenarnya tidak memiliki kepentingan denganmu, misalnya mantan sekadar kenalan.

Terlebih lagi jika teman-teman sebayamu sudah banyak yang menikah, bahkan ada yang sudah gendong anak, maka bersiaplah menerima pertanyaan “kamu kapan nikah?”, atau yang paling sering terjadi, ketika kita menghadiri pesta pernikahan salah satu kawan, maka akan ditanya “kamu kapan nyusul?”

Kita semua tahu bahwa sifat orang sangat beragam. Ada yang mungkin merasa biasa saja saat ditanya seperti itu. Namun, tidak sedikit pula yang merasa kesal, tetapi memaksakan tersenyum dan menjawab “doain aja”, padahal dalam hati pengen nanya, “lah kamu kapan nyusul tetanggamu yang kemarin wafat?” *eh

Selain mempertanyakan gaji seseorang, mempertanyakan perihal ‘kapan nikah’ menurut saya juga merupakan pertanyaan yang tak perlu dilontarkan, bahkan bisa dikatakan tak pantas. Memang ya kalau sudah menjadi kepercayaan, kebiasaan, dan budaya bakalan susah dihilangkan.

Saya pribadi pun pernah bertanya demikian kepada orang lain (maafkan ya guys). Jika ada yang protes dengan pertanyaan itu, orang-orang akan cenderung mengatakan hal yang sama, seperti: “ah, cuma bercanda, jangan baper.” Hm, jangan baper katanya. Padahal hati dan perasaan orang berbeda-beda. Terkadang kita memang lebih cenderung egois dan mengikuti pikiran sendiri, tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.

Menurut Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia, Devie Rachmawati, setiap masyarakat mempunyai standar ideal. Maka tak heran jika perempuan yang berstatus belum menikah sering mendapatkan label dan stigma negatif, seperti disebut perawan tua, si pemilih, tidak laku, dan berbagai macam label negatif lainnya.

Memang sih, tentu saja ada perempuan yang belum menikah karena belum bertemu jodohnya, entah karena memang pemilih, atau mungkin belum takdirnya saja. Memangnya kalau belum ada kenapa sih? Kalau dipikir-pikir, menikah atau tidaknya seseorang, urusannya sama diri kita apa coba? Hayoo apa?

Nah, meski demikian, banyak juga perempuan yang memilih untuk belum menikah karena belum ada keinginan dari hatinya yang terdalam. Ada banyak alasan; bisa karena ingin mengejar karier, masih sibuk dengan pekerjaan, atau yang paling sederhana karena memang masih ingin menikmati hidup sendiri. Menikah atau tidak, itu merupakan pilihan pribadi seseorang yang tak bisa kita paksakan. Zaman sekarang, wanita juga ingin menentukan pilihannya sendiri, tak mau didikte, tak mau dianggap tak bisa apa-apa.

Dilansir dari cekaja.com, meski banyak masyarakat yang memberikan stigma negatif terhadap perempuan single, tetapi ada berbagai penelitian yang mengungkapkan hal-hal positif. Dalam sebuah penelitian, potensi wanita single yang membuka bisnis dan menjadi entrepeneur sukses ternyata lebih besar daripada pria atau wanita yang sudah menikah. Hal ini dibuktikan lewat penelitian ahli ekonomi Carlianne Patrick dari Georgia State University.

Salah satu hal yang membuat peluang wanita single lebih sukses sebagai entrepeneur adalah persepsi budaya. Dalam masyarakat tradisional, wanita yang telah bersuami dipenuhi setumpuk kewajiban untuk mengurus keluarga. Persepsi ini kemudian memengaruhi wanita menikah untuk menomorsatukan keluarga meskipun memiliki bisnis sampingan. Sebaliknya, persepsi budaya tidak memengaruhi keputusan seorang wanita single untuk menjadi bos dengan cara entrepeneur.

Temuan Carlianne Patrick juga menunjukkan bahwa wanita yang sudah menikah lebih mudah terpengaruh oleh omongan orang sehingga lebih berhati-hati dalam tindak-tanduknya. Selain pengaruh omongan orang, wanita yang telah menikah apalagi masih memiliki anak kecil, tersita waktunya untuk membesarkan buah hati. Sedangkan wanita single lebih punya banyak waktu untuk fokus pada bisnisnya. Selain itu, faktor kepercayaan diri juga merupakan salah satu faktor wanita single lebih sukses dalam kariernya. Berdasarkan skor pada tes kepribadian di Rosenberg test, wanita single dengan kepercayaan diri tinggi ini lebih puas jika bekerja sendiri.

Tak usah jauh-jauhlah membahas hasil penelitian. Dalam kehidupan sehari-hari saja, wanita single lebih bebas bereksplorasi tanpa harus sibuk memikirkan pasangan. Melihat hal ini, wajar saja jika ada wanita yang lebih memilih kariernya lebih dahulu dibandingkan memikirkan pernikahan. Saya yakin, hal itu bukan karena mereka tak ingin menikah, tetapi mereka memiliki mimpi yang sudah lama ingin mereka kejar, lalu ingin membangun mimpi itu sebelum membangun keluarga. Karier aja dibangun dan dijaga, apalagi keluarga.

Lagi-lagi ini tentang pilihan hidup seseorang. Kita tak bisa memaksa orang lain memilih apa yang kita pilih, menjalani apa yang kita jalani, meyakini apa yang kita yakini, menyukai apa yang kita sukai, maupun mencintai apa yang kita cintai. Setiap orang bebas memilih jalan hidupnya. Jika kita memang peduli, kita hanya perlu memberi saran, tak perlu masuk terlalu dalam.

Meskipun stigma negatif itu tak akan pernah hilang, sebagai orang yang lebih paham, seharusnya kita tak perlu kan mengikuti stigma yang ada?

Hairunnisa Zulkifli
Hairunnisa Zulkifli
Alumni Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Tadulako. Instagram @nissahazul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.