Sabtu, April 20, 2024

Stigma Mayoritas dan Minoritas

Ados Aleksander Sianturi
Ados Aleksander Sianturi
Mahasiswa, Founder Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis (LSMM). "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Dua kata ini mungkin tak asing lagi terdengar di telinga kita yang mana di setiap aktivitas sosial, ekonomi,agama, politik selalu menjadi catur utama dalam pengambilan keputusan. Dua kata ini seakan jadi neraca yang dipandang eksplisit dapat menciptakan suatu keadilan.

Mayoritas sering dimaknai sebagai suatu golongan  besar yang mendominasi dan berkuasa. Sedangkan minoritas adalah suatu golongan kecil yang selalu rentan dikuasai, ditekan dan dilema untuk bersuara.  Kira – kira begitulah pengertian sederhananya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mayoritas adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.  Sedangkan kata minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain itu.

Dalam KBBI tersebut nampak jelas siapa yang dapat dikatakan sebagai “korban” dalam penamaan golongan ini yaitu golongan minoritas. Yang menjadi pertanyaan apakah benar golongan minoritas adalah korban dari mayoritas?

Pada umumnya, golongan yang merasa masuk dalam kategori mayoritas akan selalu leluasa dalam bertindak maupun bersuara. Mayoritas tak akan sungkan –sungkan melakukan hal–hal yang diskriminatif terhadap minoritas karena jelas berbeda dari karakteristik golongannya.  Sementara minoritas pada umumnya akan bertindak selow  saja karena bagaimanapun tindakan yang diambil tetap tidak ada gunanya, buang buang waktu.

Singkatnya golongan mayoritas seolah-olah mempunyai hak khusus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Stigma ditempah sedemikian rupa hingga akhirnya minoritas terkesan dituntut untuk “tunduk” kepada mayoritas. Minoritas harus menghormati mayoritas. Tentu jika kita sedikit menelisik, hal ini merupakan suatu ketidakwajaran. Dalam hal ini minoritas dapat dikatakan benar sebagai “korban”.

Penulis tegaskan bahwasanya mayoritas dan minoritas sesungguhnya mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik itu mayoritas maupun minoritas haruslah saling menghormati bukan terbeban hanya kepada minoritas saja.

Hal yang paling kurang mengenakkan adalah penggolongan mayoritas dan minoritas ini dikaitkan dengan agama dan etnik. Menurut saya ini merupakan suatu ketidakwajaran karena agama berbicara tentang keyakinan dan etnik merupakan suatu yang sifatnya sudah mendarah daging. Agama mayoritas seakan langsung merasa berbeda dan langsung mempunyai stigma buruk saat berhadapan dengan agama minoritas. Begitupun Etnik Mayoritas seakan merasa kuat saat berhadapan dengan etnik minoritas.

Di Negara yang sangat kita cintai ini, perlakuan terhadap mayoritas sangat berbeda dengan perlakuan terhadap minoritas. Yang dilegitimasi menjadi golongan mayoritas seakan jadi anak kandung dan minoritas seakan jadi anak tiri. Mayoritas mempunyai tempat teristimewa dalam negara ini.

Lantas, apakah benar minoritas haruslah tunduk dan mengalah kepada mayoritas ? Harusnya tidak. Kita harus secepatnya membunuh stigma ini. Kita hidup dalam langit yang sama, tanah yang sama, tentunya negara yang sama yaitu Indonesia. Negara yang kaya dan berlandaskan Pancasila yang cinta mati terhadap perbedaan.

Perbedaan adalah kekayaan yang harus dilestarikan. Terlepas dari golongan mana yang memiliki jumlah pengikut/penganut lebih banyak dan lebih sedikit. Semuanya haruslah sama dimata pemerintah dan masyarakat.

Pancasila sudah menjamin hak atas perbedaan tersebut dan merangkulnya dalam sebuah persatuan guna terwujudnya negara Indonesia yang aman, damai, dan tenteram. Tinggal bagaimana kita sebagai warga negara dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari .

Mayoritas dan minoritas harus dimaknai sebagai dua hal yang saling mewarnai dan melengkapi bukan sebagai ajang kompetisi yang secara jelas kemenangannya ada di tangan mayoritas. Begitupun minoritas, pikiran – pikiran yang merasa ditindas harus segera dihilangkan. Walaupun memang benar demikian, minoritas harus bangkit dan menunjukkan bahwa pada hakikatnya semua memiliki hak yang sama. Baik hak berpendapat, perolehan perlindungan, maupun keamanan.

Toleransi yang bersifat mutualisme haruslah ditumbuhkembangkan. Toleran jangan dimaknai sebagai suatu keadaan minoritas menghargai dan menghormati kelompok mayoritas melainkan juga sebaliknya. Rasa Nasionalisme harus ditumbuhkan demi menjamin terciptanya toleransi yang abadi.

Ados Aleksander Sianturi
Ados Aleksander Sianturi
Mahasiswa, Founder Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis (LSMM). "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.