Lost in Translation adalah film drama Amerika Serikat-Jepang tahun 2003 film yang disutradarai Sophia Copolla. Lewat kacamata Bob Harris (Bill Murray) dan Charlotte (Scarlett Johansson), dua orang Amerika yang mengunjungi Jepang, penonton disuguhkan keterpenjaraan di tengah ruang Tokyo yang metropolitan.
Film ini tayang secara luas dan terbatas hingga menerima rating positif dari para kritikus.Film ini menceritakan tentang seorang bintang film Amerika yang tua (Bob Harris) tiba di Tokyo untuk membuat iklan wiski Suntory. Dan perempuan muda lulusan perguruan tinggi (Charlotte) dan Suaminya John (Giovanni Ribisi) seorang fotografer selebriti yang ditugaskan di Tokyo. Mereka teralienasi di tengah gaya hidup Tokyo dan menemukan kenyamanan dalam diri satu dengan yang lain.
Kajian geografi budaya melihat ruang kota dari aspek simbolik, fungsi arsitektural, dan budaya. Salah satu adegan yang menjadi ikon film Lost in Translation adalah saat Charlotte berdiri di persimpangan jalan Tokyo yang ramai dan ruang terbuka sebuah Gedung pencakar langit, disini Charlotte memandangi apa yang ditampilkan oleh Gedung pencakar langit itu. Terlihat sebuah Binatang Purbakala yang ditampilkan secara artifisal dan massif seolah-olah mewakili ruang terbuka ini.
Adegan tersebut termasuk dalam salah satu kajian geografi budaya, Yi-Fu Tuan “Space and place ; Humanistic Perspective” di mana termasuk dalam salah satu ruang kategori public symbols (simbol publik), seperti gambaran ruang-ruang yang bermakna ruang-ruang yang bangun dan diciptakan secara sengaja dan fungsinya sebagai pusat makna yang mewakili nilai-nilai yang dimiliki sebuah masyarakat. Persimpangan jalan dan gedung-gedung tidak hanya menggambarkan modernitas Tokyo, namun juga merepresentasikan apa yang disebut oleh Yi-Fu Tuan sebagai public symbols yang memperlihatkan tanda-tanda umum sebagai sebuah ruang yang maskulin.
Dari wujud Gedung yang tinggi ini dapat mendominasi orang-orang yang melihatnya akan merasa terpancar otoritas tersebut. Gedung pencakar langit adalah ikon kota metropolitan yang menurut Lefebvre (1984) menyerupai penis, “Vertikalitas arogan yang dimiliki gedung-gedung pencakar langit, terutama gedung-gedung milik umum dan negara, mengenalkan sebuah elemen phallic, atau lebih tepatnya phallocratic, ke dalam lingkup visual”5 (Lefebvre dalam Mountford 2001: 49-50). Ruang-ruang maskulin tersebut hadir di sekeliling charlotte yang mempunyai simbolik seakan memenjarakan Charlotte.
Charlotte hanya di dalam ruang hotel dan kota Tokyo hanya pelengkap hidup saja, karena suami yang sibuk bekerja di luar. Posisi Charlotte disini hanya sebagai tokoh sampingan. Dalam konteks ini ia menjadi pelengkap baik untuk suami maupun untuk ruang kota Tokyo, seperti tersirat dalam pernyataannya, “My husband is a photographer, so he’s here working. I wasn’t doing anything, so I come along, also to meet some friends”.
Adegan yang memperlihatkan keresahan Charlotte merasa terpenjara dalam ruang kota Tokyo ini muncul secara berulang kali ditunjukan pada saat Charlotte memandang ke luar jendela kamar, karena Jendela kamar hotel tergambarkan secara simbolis perantara antara “dalam” dan “luar”, seperti pembatas antara keterkurungan dam kebebasan.
Kondisi Charlotte memilih tetap tinggal di hotel, dalam film tersebut ia menunjukkan beberapa usaha untuk bertahan di dalam kota maskulin. Charlotte berusaha memperlihatkan diri dengan hal-hal yang menandai feminitas. Bisa dilihat dalam adegan saat Charlotte menghiasi ruang hotel dengan bunga warna merah muda. Aspek-aspek Feminitas sangat ditonjolkan dalam beberapa adegan bahkan saat Charlotte berada di ruang feminitas ia masih terpenjara.
Ia mengeluhkan hal itu kepada temannya sambil menangis “I went to this shrine today and I didn’t feel anything, you know? I even tried” dialog Charlotte pada bagian ini sangat menunjukkan keterpenjarannya dia di ruang yang baginya teras hampa. Ia melakukan kegiatan Feminitas sebagai upaya memperlihatkan Charlotte yang bertahan di dalam kota yang mendominasi maskulinitas.
Film ini memperlihatkan seorang perempuan yang menjadi objek yang terperangkap di tengah kemegahan kota Tokyo yang mendominasi maskulin dalam masyarakat sosial yang patriarki yang dimana Charlotte merasa berada di ruang yang dirasakannya sangat memenjarakan dirinya sebagai perempuan, upaya-upaya Charlotte yang berusaha keluar dari rasa keterpenjaraannya yang menciptakan suatu ruang yang memberi kebebasan dan kebahagiaan.