Kamis, Mei 2, 2024

Standar Ganda Dibalik Berita Pembantaian Paus di Kepulauan Faroe

Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura
Ibu dari dua orang anak, tiga anak bulu, puluhan anak hijau. Mengisi waktu luang dengan membaca artikel lalu mengomentari dalam hati, menulis topik-topik ringan, dan memberi sedikit ruang tinggal sementara untuk hewan-hewan terlantar.

Belum lama ini, pada musim panas di bumi bagian utara, diadakan tradisi yang dikecam oleh banyak orang, terutama para aktivis perlindungan hewan dan lingkungan hidup.

Praktik ini terjadi di Kepulauan Faroe, puluhan speed boat dikerahkan ke laut untuk menggiring paus dan lumba-lumba berukuran besar ke perairan dangkal, lalu mereka dibunuh dengan tombak khusus (spinal lance), hingga terpampang pemandangan mengerikan di teluk yang berwarna merah dialiri oleh darah dari hewan-hewan malang tersebut, dengan barisan bangkainya di sepanjang pesisir.

Tradisi ini disebut dengan Grindadrap, atau biasa disebut dengan “the grind”, penduduk Kepulauan Faroe telah melaksanakannya setiap tahun pada musim panas sejak jaman Vikings. Dunia telah mencap mereka sebagai “mercury-intoxicated barbarians”, orang barbar yang terkontaminasi merkuri. Namun tampaknya tekanan internasional yang mengecam keras kegiatan ini tidak membuat mereka menyerah dan menghentikannya.

Tradisi ini, bila dilihat dari salah satu sisi, jelas mengerikan, tapi seperti biasa, kita tidak boleh mengabaikan sisi lain, yaitu perspektif dari penduduk Kepulauan Faroe sendiri. Apakah praktik Grindadrap benar-benar kejam dan tidak diperlukan sama sekali? Atau itu hanya penilaian kita orang awam yang tidak terbiasa dengan mekanisme produksi daging ikan besar yang didapatkan secara besar-besaran?

Pertama, kita harus mengerti situasi dan kondisi geografis Kepulauan Faroe, yang mana merupakan salah satu tempat yang terisolasi dari dunia luar. Selama beberapa abad, Kepulauan ini berada di bawah pemerintahan Norwegia dan Kerajaan Denmark. Namun sekarang berstatus sebagai negara otonomi dalam Kerajaan Denmark saja, dan dia bukan bagian dari Uni Eropa. Mereka memiliki parlemen sendiri dan mengontrol hampir seluruh urusan domestik.

Berlokasi di antara bagian utara Skotlandia dan Islandia, dengan cuaca berangin, hujan, dan dingin sepanjang tahun, negara ini hampir tidak mungkin memproduksi buah-buahan dan sayur-sayuran selain kentang dan tanaman berumbi lainnya. Bahan makanan tersebut, yang dijual di supermarket, diimpor dari Denmark, dan harganya bisa sepuluh kali lipat dari harga yang bisa didapat di negara-negara Eropa.

Agrikultur adalah hal yang hampir tidak eksis disana, hampir semua bahan pangan dikirimkan dari tempat lain dalam keadaan sudah siap konsumsi. Tapi memang konsumsi bahan pangan tersebut kurang, dikarenakan kebiasaan pola makan mereka yang terdiri ikan, unggas laut, dan daging paus.

Rekam jejak perburuan paus di Kepulauan Faroe sudah ada sejak abad ke-13. Caranya berbeda dengan perburuan paus secara “tradisional” yang biasa kita ketahui yang masih dipraktikan di Jepang, Norwegia, dan Islandia,  dilakukan di laut lepas, dan tentu saja tidak terpantau orang banyak.

Yang dilakukan penduduk Faroe adalah berburu dan membunuh di pantai. Ketika kawanan paus terpantau, mereka akan digiring ke pantai sebelum akhirnya dihantam menggunakan tombak khusus yang memutuskan hubungan antara tulang belakang dan otak, yang mana membunuh paus-paus tersebut dalam hitungan detik.

Pernyataan bahwa paus yang mereka buru adalah hewan langka dan dilindungi juga tidak tepat. Rata-rata hasil buruan penduduk adalah 850 ekor per tahun, namun dengan estimasi ukuran populasi 778.000 ekor di Atlantic Utara, dan mendekati 100.000 ekor di sekitar Kepulauan Faroe, maka bisa disimpulkan bahwa keberlangsungan spesies paus pilot sangat terjamin.

Pemburu adalah orang-orang yang sudah mendapatkan sertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, mereka harus melakukan pelatihan bagaimana cara menggunakan spinal lance dan cara membunuh paus dengan secepat mungkin tanpa menyebabkan, atau setidaknya meminimalisir rasa sakit dalam prosesnya.

Orang-orang yang diizinkan masuk ke wilayah perburuan juga tidak sembarangan.  Tidak boleh ada anak-anak di dalamnya, untuk menghindari trauma, atau yang lebih parahnya adalah terbiasanya anak-anak melihat pembunuhan sekalipun itu hewan. Bandingkan dengan anak-anak berumur belasan tahun di Amerika yang diajak berburu bersama ayahnya.

Setelah melihat sedikit dari sudut pandang penduduk Faroe, apakah kita masih dapat menyimpulkan bahwa penduduk Faroe tidak beradab? Ini hanya salah satu dari contoh standar ganda, hipokrisi, hasil dari informasi yang tidak lengkap,  dan online hate. Aktivis yang tidak bertanggung jawab mengunggah foto-foto yang “mengganggu”, dan dibagikan di media yang kerjanya hanya mengikut arus, tanpa diikuti fakta dan detail.

Seperti ada aktivis yang mengunggah foto seorang laki-laki usai melakukan praktik Grindadrap, baju dan tangannya berlumuran darah, dan dia tersenyum lebar. Ini adalah beberapa komentar yang muncul di media, “Orang ini sakit, kita harus mencabut kepalanya”, “Lihat orang-orang ini, mentalnya rusak”, bahkan ada yang menyebut bahwa pria ini mirip seorang pedofilia.

Mari kita pikirkan sejenak. Bagaimana bisa seseorang menyimpulkan bahwa pria tersebut tersenyum karena puas dan menikmati pembunuhan? Bisa saja seorang temannya memanggil ketika dia sedang difoto, atau seseorang sedang bercanda dengannya.

Bagaimanapun, menyebut seseorang “sakit”, “rusak mentalnya”, ”pedofilia”, bahkan menyumpahi kematian seseorang, tidak akan berimbas apa-apa kecuali memperparah pandangan dan kebohongan yang lebih liar lagi terhadap praktik ini.

Membaca artikel ini, mungkin membuat saya terlihat mendukung Grindadrap. Tapi faktanya tidak. Karena praktik ini bukan lagi hal yang vital bagi penduduk Faroe untuk bertahan hidup. Lagipula daging paus sekarang ini sudah banyak terkontaminasi merkuri, membuat pembunuhan paus semakin tidak diperlukan, di negara lain yang tidak terekspos sekalipun.

Bagaimanapun, mengubah tradisi suatu daerah, tidak semudah membalik telapak tangan, terlebih hal yang sudah mengakar sejak nenek moyang mereka. Grindadrap tidak akan berhenti oleh karena tindakan aktivis tertentu. Tradisi ini akan disudahi ketika para penduduk Faroe sudah sama sekali tidak membutuhkannya lagi.

Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura
Ibu dari dua orang anak, tiga anak bulu, puluhan anak hijau. Mengisi waktu luang dengan membaca artikel lalu mengomentari dalam hati, menulis topik-topik ringan, dan memberi sedikit ruang tinggal sementara untuk hewan-hewan terlantar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.