Sebagian masyarakat Indonesia hari ini sedang asyik menghujat sound horeg, yaitu semacam parade yang umum dilakukan di masyarakat, khususnya daerah Jawa Timur, dengan menampilkan sound system berukuran besar, bervolume tinggi, dan biasanya disertai penari di depan atau belakangnya.
Tapi, segera hujatan tersebut mendapatkan serangan balik dari para pendukungnya. Sejujurnya, masalah ini remeh-temeh, tapi kalau dipikir-pikir justru kompleks, karena bukan hanya soal benci-cinta, tapi persoalan sosial hingga kultural yang disimplifikasi. Sehingga, perlu dikupas lebih dar-der-dor.
Keadilan Sosial bagi Sound Horeg
Saya harus mendeklarasikan bahwa tulisan ini dibuat bukan untuk mendukung penghujat atau pendukung sound horeg, tetapi sebagai upaya mengulik kemarahan publik dengan segala cacian khasnya di media sosial.
Sebagai permulaan, saya akan membawa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sila kelima Pancasila, sebagai akar pemikiran untuk menjawab kegelisahan dari fenomena sound horeg, yaitu parade musik dar-dor dar-dor yang menutup jalanan kampung, merusak atap hingga tembok rumah warga karena gelombang suara bombastis, memekakkan telinga dengan 120 desibel (db) hingga mencapai 135 db, dan jangan lupakan penari-penari cantik dan tampan yang mengiringi sound horeg sepanjang jalan kenangan.
Sayang, kehadirannya tidak disambut semeriah penyambutan suka cita KPOP Korea, Bangtan Sonyeondan (BTS), tetapi duka cita dengan hujatan dan cacian di berbagai media sosial. Bahkan, tidak perlu survei kemuakkan, konten tentang sound horeg seperti menyatukan seluruh pembencinya di Indonesia sampai menutup sebagian kecil penikmatnya.
Hinaannya mulai dari Prindavan (hinaan yang ditujukan ke orang India), kampungan, terbelakang, Sumber Daya Manusia (SDM) rendah, dan hinaan lainnya. Sebagian (besar) masyarakat melihat mudarat parade ini lebih banyak daripada bagusnya. Bahkan, para penentangnya mempertanyakan “kewarasan” penikmat sound horeg. Puncak penghinaan.
Namun, di samping gema hujatan, sound horeg adalah penyelamat masyarakat dari harapan palsu 19 juta lapangan kerja atau kemiskinan yang berlarut-larut. Sebutan kerennya, ekonomi kerakyatan. Contoh, Metro TV News (2025) di “Geliat Bisnis Sound Horeg, Modal Miliaran dengan Omzet Puluhan Juta Sekali Tampil”, melaporkan bahwa bisnis sound horeg bisa menghasilkan omzet dari 20-700 juta dan membuka lapangan kerja dengan lahirnya 1.200 usaha serupa di Malang Raya dengan 500-nya berkapasitas besar. Selain itu, masyarakat (penikmatnya) pun menikmati hiburan yang megah namun gratisan, daripada seharian menonton acara TV yang menurunkan IQ dan membuat darah tinggi setiap mendengar berita dari pemerintah.
Artinya apa, baik penghujat dan penikmat sound horeg punya basis argumen yang kuat, tidak mau diganggu dan bersenang-senang. Tapi, apakah sepadan untuk melihat bahwa fenomena sound horeg ini adalah buah dari hancurnya persatuan masyarakat? Mereka penikmat sound horeg bisa jadi adalah pencari alternatif kebudayaan dari segala hal yang telah direnggut kemanusiaannya oleh para kapitalis serakah.
Sound horeg menjelma jadi ekspresi kebudayaan masyarakat kecil, yang dikatakan SDM rendah dan kampungan oleh mereka yang mungkin memiliki pendidikan tinggi, konglomerat, anak termodernisasi, atau tidak pernah secara langsung menjadi korban sound horeg. Ekspresi ini lebih kepada upaya mereka berbahagia di tengah-tengah keterbatasan mereka mengakses kebahagiaan virtual di HP atau artifisial seperti Trans Studio Mall, apalagi mengakses tiket untuk melihat BTS Korea jingkrak-jingkrakan di Gelora Bung Karno (GBK).
Kebisingan Melawan Keterasingan
Fenomena sound horeg sejatinya adalah otokritik atas kegagalan masyarakat dan negara dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan bersahabat, setara dan berkeadilan. Peter C. Ludz (1976) dalam “Theories of Alienation: Critical Perspectives in Philosophy and the Social Sciences” menjelaskan bahwa alienasi (keterasingan) tidak hanya menggambarkan dampak hubungan dan institusi sosial terhadap individu, tetapi juga menjadi instrumen penilaian untuk mengkritik keadaan yang ada, sekaligus merujuk pada perasaan terasing, tersesat, atau tidak berdaya dalam kaitannya dengan organisasi, kelompok, atau bahkan dalam kaitannya dengan diri sendiri. Asing sendiri bisa digambarkan dengan orang yang tidak dikenal, diacuhkan, terpencil, terpisahkan, pokoknya merasa “aku kesepian”.
Mereka penikmat sound horeg bisa jadi korban terabaikan pemerintah dan korban elektoral saja, yang dibutuhkan hanya ketika pemilu namun tidak pernah diberikan akses pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Masalahnya, kita turut musuhi mereka dan membuat gap, kita SDM tinggi dan mereka rendah. Padahal, alih-alih meratakan kesejahteraan, justru kondisi ini hanya menyuguhkan ketimpangan antara masyarakat yang beruntung secara finansial dan sosial dengan masyarakat pinggiran.
Apalagi, solusi atas masalah ini terkadang tidak selesai hingga ke akar dan cenderung menyelesaikannya di permukaan, misalnya turunnya fatwa haram sound horeg oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Kebiasaan kita, selesai keributan permukaan, dan akar pemicu sumbu terbakar. Perlu evaluasi akademis dan radikal, dan hujat-menghujat bukanlah solusinya. Anehnya, hujatan seolah menjadi ciri khas yang banyak dipakai masyarakat kita. Bila memang sound horeg mengganggu, walau benar—apalagi sampai meminta orang sakit dan anak-anak pindah lokasi, mengeroyok komentator sound horeg, dan lainnya—maka harusnya masyarakat diberikan sebuah ruang ketenangan yang menghibur, tempat yang memungkinkan kepenatan hidup akibat kemiskinan dan penyandang masalah kesejahteraan untuk lepas dan bebas.
Barangkali, ruang-ruang ibadah tidak memberikan ketenangan dan kebahagiaan semacam itu. Kaum urban pun begitu, kalau lepas penat tidak di rumah ibadah, rumah disko dan pub pasti penuh, dengan sound horeg versi elegan dan tertutup di bangunan mahal. Maka, tugas pemerintah dan masyarakatlah yang wajib menyediakan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap keterasingan. Perlu disadari bahwa ketika semua opsi tidak ada, dan mungkin hanya parade dar-der-dor, bukankah alternatif perlu dipertanyakan? Kebahagiaan itu subjektif, tapi memberikan kebahagiaan kepada semua orang adalah tanggung jawab manusia bernurani, kalau ada.
Pada akhirnya, kita sadar bahwa keterasingan diciptakan oleh masyarakat modern itu sendiri, dengan sistem moral kaku yang diterjemahkan mereka yang berilmu. Tidak heran, fenomena sound horeg adalah perlawanan sederhana. Alih-alih secara persuasif dan solutif diselesaikan, justru malah ditampar dengan hujatan yang lebih keras.
Mungkin, yang diperlukan bukan menghilangkan sound horeg, tapi menghilangkan manusia serakah, khususnya menghapuskan egoismenya untuk menjadi raja dunia, sebab egoisme akar dari kejahatan, tetapi karena nikmat sehingga dipertahankan. Oleh karena itu, fenomena sound horeg bukan hanya soal hiburan pengganggu, tapi sinyal bagi perbaikan peranan sosial kita melalui literasi dan membangun kesejahteraan bersama. Kalau orang sejahtera, mungkin mereka tidak akan berpikir untuk merusak rumah warga dengan sound horeg, atau mengeroyok mereka yang komentar karena terganggung olehnya.