Kamis, April 25, 2024

Sosialisme Ilmiah, Cetak Biru Pemikiran Karl Marx

Rizky Pratama Lianto Putra
Rizky Pratama Lianto Putra
Mahasiswa PENS. Politeknokrat. Merdeka dalam sikap dan pemikiran. Berdikari secara ekonomi. Bijak dalam bertindak.

Bagi banyak orang, mungkin tulisan ini berbahaya. Selain marxisme atau komunisme telah mendapatkan stigma buruk dalam kontruksi sosial masyarakat Indonesia, histori yang diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia juga menunjukkan keburukan-keburukan komunisme yang mengharuskannya untuk dibumi-hanguskan; baik secara organisasional ataupun dalam ranah pemikiran kritis.

Meskipun demikian, marxisme mendapatkan posisi penting sebagai ideologi alternatif yang menjadi harapan oleh masyarakat untuk meraih keadilan sosial yang sesungguhnya.

Marxisme alias sosialisme-ilmiah digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami masyarakat dari perspektif sosiologis dan filosofis. Melalui Sosialisme-ilmiah, Marx berusaha untuk menjelaskan bahwa dasar pemikiran yang dipakainya bukan berdasar atas pertimbangan-pertimbangan moral, melainkan syarat-syarat obyektif dalam masyarakat.

“Pemikiran marxisme bukan saja sebagai ideologi perjuangan kaum buruh dan komponen inti dalam ideologi komunisme. Pemikiran Marx juga menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis.” Ungkap Franz Magnis-Suseno.

Sosialisme-utopis dan Sosialisme-ilmiah

Sosialisme merupakan kritik atas kondisi perekonomian masyarakat, khususnya penguasaan atas alat produksi yang timpang antara pemilik modal dengan pekerjanya. Cita-cita besar sosialisme adalah penerapan azas kebersamaan dalam kepemilikan alat produksi dan menghilangkan monopoli atas tanah.

Tokoh pertama yang mencetuskan ide tersebut adalah Babeuf (1760-1797). Babeuf beserta pengikutnya-lah yang pertama kali menyuarakan tuntutan-tuntutan inti Komunisme dengan penghapusan hak miliki pribadi atas alat produksi. Babeuvisme mencita-citakan sebuah “Republik orang-orang sama”.

Sosialisme-purba, istilah yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno dalam menjelaskan aliran sosialisme sebelum Karl Marx memiliki perbedaan signifikan daripada sosialisme-ilmiah hasil pemikiran Marx. Perbedaan tersebut terletak pada metode pendekatan sosialisme dan bagaimana sosialisme memandang hukum perkembangan masyarakat.

Sosialisme-ilmiah merupakan usaha merasionalkan tahap perkembangan masyarakat melalui pendekatan sosiologis. Marx memandang arah gerak masyarakat dapat dipahami sebagai dialektika antara perkembangan dalam bidang ekonomi dan struktur kelas sosial dalam masyarakat.

Sosialisme-ilmiah tidak sama dengan sosialisme-purba yang cenderung utopis, dan berhenti dalam ranah filosofis. Marx menegaskan bahwa tahap akhir dari filsafat adalah bagaimana filsafat dapat menjadi sarana aktualisasi pemikiran secara praksis. Melalui Materialisme Dialektika Historis, Marx mampu untuk menjelaskan hal tersebut.

Materialisme Dialektika Historis (MDH), Filsafat Menurut Marx

Apabila ditinjau secara teoritis, MDH merupakan hasil dari kritik Marx atas model filsafat Hegel dalam berbagai hal. Menurut Franz, terdapat tiga unsur penting untuk memahami filsafat Hegel; pengetahuan absolut, filsafat sejarah, dan dialektika sebagai pola Hegel berfilsafat.

Landasan kerasionalan materialisme-dialektis merupakan pengembangan dari filsafat pengetahuan absolut yang merupakan titik akhir perjalanan filsafat. Marx beranggapan bahwa realitas obyektif tidak sefilosofis seperti yang Hegel pikirkan, maka perlu untuk mengaktualisasikan filsafat secara praksis untuk mencapai perubahan dalam masyarakat.

Pengetahuan absolut apabila diterapkan dalam ranah praksis, diharapkan mampu mencapai perubahan dalam struktur sosial-politik dan ekonomi-politik dalam masyarakat. Lantas, realitas seperti apa yang menjadi faktor utama perjuangan masyarakat dalam meraih cita-cita sosialisme?

Marx mengklaim bahwa sosialisme-ilmiah berdasar atas pengetahuan tentang hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Arah gerak sejarah manusia ditentukan oleh cara manusia berproduksi yang berperan dalam menunjang kehidupan manusia. Inilah yang disebut materialisme-historis.

Dasar pemikiran materialisme-historis bermula dari anggapan bahwa kegiatan manusia yang paling dasar adalah perjuangan mengubah bentuk alam untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia membutuhkan kegiatan produksi sebagai proses dalam pengelolaan bahan baku dari alam untuk menghasilkan bahan siap pakai.

Marx menyebut kerangka dalam kegiatan produksi material adalah “basis” yang meliputi hubungan-hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif. Untuk menghasilkan barang hasil produksi, manusia menciptakan hubungan produksi dengan alam. Hubungan ini berupa cara atau teknologi yang digunakan manusia untuk mengolah alam. Agar produksi terus berjalan, dibutuhkan tenaga-tenaga produktif sebagai unsur kekuatan untuk mengerjakan dan mengubah alam.

Hubungan produksi yang terjalin antara manusia dengan alam memiliki dua watak yang secara dikotomis berbeda, yaitu eksploitatif dan kolektif. Pembagian watak ini dipengaruhi oleh kepemilikan alat produksi, partisipasi produksi, dan distribusi hasil produksi.

Watak dalam hubungan produksi memiliki peran signifikan dalam membentuk dinamisasi masyarakat. Kepemilikan atas alat produksi, partisipasi produksi, dan distribusi hasil produksi yang berbeda antara pemilik modal dengan pekerjanya menciptakan hubungan yang berat sebelah yang menciptakan struktur masyarakat yang berkelas.

Kritik Marx Atas Kapitalisme

Watak eksploitatif dalam hubungan produksi menciptakan sistem perekonomian kapitalistik yang dijalankan oleh kelas borjuasi atau pemilik modal sebagai kelas sosial yang menguasai alat produksi. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki alat produksi, menjual tenaga kerjanya kepada borjuis untuk mengerjakan alat produksi yang dimiliki.

Konsekuensi dalam berjalannya sistem perekonomian kapitalistik adalah terbukanya akses persaingan bebas antar pemilik modal. Untuk memenangkan persaingan, cara paling mudah yang dilakukan adalah memproduksi barang dengan harga yang lebih murah. Namun, realisasi kebijakan tersebut berdampak pada pengurangan upah buruh.

Menurut Marx, seluruh keuntungan yang dimiliki oleh kapitalis diperoleh dari hasil kerja buruh yang tidak dibayarkan. Dengan modal yang dimiliki, kapitalis dapat menghasilkan kapital yang nantinya dijadikan modal untuk memperluas pasar dan akan menghasilkan kapital yang lebih besar. Pola tersebut berjalan terus menerus.

Kapitalisme, yang diartikan masyarakat luas sebagai sistem perekonomian, apabila dianalisis melalui metodologi ‘MDH’ pada dasarnya merupakan sebuah krisis. Kapitalisme menghasilkan kontradiksi kepentingan antara pemilik modal dengan pekerja. Di tangan pemilik modal yang jumlahnya sedikit, terkumpul seluruh modal raksasa yang jumlahnya terus bertambah. Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa, hanya segelintir upah yang dibayarkan kepada mereka.

Penutup

Bagaimanapun arah politik dari komunisme, serta apapun anggapan masyarakat atas adanya komunisme, sosialisme-ilmiah merupakan cetak biru pemikiran Marx yang patut untuk diapresiasi. Pemikirannya masih relevan hingga sekarang, serta masih banyak elemen masyarakat yang meyakininya sebagai alternatif lain dari kapitalisme yang jauh dari azas keadilan dan kesamaan.

Referensi

Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rizky Pratama Lianto Putra
Rizky Pratama Lianto Putra
Mahasiswa PENS. Politeknokrat. Merdeka dalam sikap dan pemikiran. Berdikari secara ekonomi. Bijak dalam bertindak.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.