Dalam kontestasi politik, perdebatan yang dihadirkan kelompok masyarakat pada akar rumput terkonsentrasi mengenai pilihan politik dengan debat yang tidak berkesudahan.
Sementara di saat yang bersamaan, kita menghadapi berbagai tantangan, salah satunya bagaimana terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berakar dari kebijakan yang belum mendukung keberlanjutan lingkungan hidup. Hal tersebut pun diperburuk dengan praktek masyarakat yang abai terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Saya teringat dengan tokoh sosial ekologi, Murray Bookchin (1982) dalam tulisannya berjudul “The Ecology of Freedom” dengan gagasan mendorong masyarakat ekologis yang di sisi lainnya struktur sosial menjadi pembentuk peradaban. Bookchin meyakini masyarakat ekologis dapat terbentuk dengan penekanan mutualisme, pengorganisasian diri, kebebasan dan subjektivitas dengan prinsip persatuan dalam keragaman dan berdasarkan hubungan yang non hierarkis.
Gagasan masyarakat ekologis dalam kebutuhan mencapai keberlanjutan atau berkelanjutan menjadi hal yang searah. Sebelum membahas gagasan masyarakat ekologis, maka terlebih dahulu perlu membicarakan wacana berkelanjutan.
Wacana berkelanjutan dimulai pada tahun 1987 ketika lembaga bernama WCED (World Commission on Environment and Development) meluncurkan laporan mengenai ‘Our Common Future’, yang berupaya untuk menghubungkan beberapa dimensi dalam pembangunan yaitu pembangunan, ekonomi dan ekologi pembangunan (Hajer, 1995).
Sedangkan Jeffrey D. Sachs (2015) menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan merekomendasikan kerangka yang menyeluruh untuk membangun masyarakat mencapai tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sehingga pembangunan berkelanjutan disebut sebagai bentuk yang secara sosial inklusif, pro lingkungan hidup dan mendukung pertumbungan ekonomi yang berkelanjutan.
Maka, secara sederhana saya menerjemahkan masyarakat berkelanjutan sebagai bentuk prinsip dan praktek masyarakat dengan nilai-nilai ideal mendukung keberlanjutan lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Selanjutnya, untuk mendukung nilai-nilai ideal maka perlu ada pengikat dalam kehidupan sosial. Dalam kehidupan sosial, ditandai dengan masyarakat yang guyub dengan indikasi gotong royong sebagai praktek kehidupan sosial.
Untuk saat ini, gotong royong nampaknya semakin asing bagi masyarakat perkotaan. Bahkan di masyarakat pedesaan pun, praktek gotong royong nampak mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut karena pemahaman umum masyarakat saat ini bahwa tanpa didukung dengan materialisme menjadi sulit untuk guyub.
Sedangkan, praktek ramah lingkungan tidak dapat dilakukan secara individu saja, membutuhkan tindakan bersama-sama. Misalnya, dalam pengelolaan sampah rumah tangga, individu dapat memilah sampah kemudian lantas bagaimana pengelolaan sampah di tingkat tempat pembuangan sampah apakah mengalami pemilahan sampah?
Membangun kesadaran akan keberlanjutan perlu menyentuh secara individu dan kolektif. Kolektif dilakukan secara bersama dengan sasaran target yang lebih massal. Individu-individu yang telah memiliki kesadaran akan pentingnya praktek berkelanjutan akan memiliki tanggung jawab secara ekologis. Namun, pertanyaan berikutnya, bagaimana kesadaran individu-individu tersebut dibangkitkan menjadi kesadaran bersama sehingga memunculkan tanggung jawab bersama.
Menurut pandangan penulis bahwa tanggung jawab bersama akan muncul apabila terdapat dua hal yaitu ‘musuh bersama’ dan adanya insentif. Musuh bersama dalam hal ini kerentanan dan potensi ancaman terhadap kehidupan bersama, Apabila ancaman tersebut digulirkan, terutama ancaman yang terkait erat dengan keberlanjutan ekonomi maka akan menjadi perhatian individu-individu.
Pandangan kedua mengenai adanya insentif. Mencermati perkembangan sosial masyarakat saat ini yang cenderung individualis, maka membutuhkan energi besar untuk membangun ‘keguyuban’. Guyub apabila terdapat kepentingan bersama, secara ekologis menjadi sedemikian sulit karena ancaman ekologis tidak dapat dilihat pada saat ini.
Ancaman ekologis lebih bersifat antisipatif mengingat ancaman di masa depan akibat praktek kehidupan yang tidak mendukung keberlanjutan. Maka, langkah logis saat ini untuk mengubah praktek masyarakat agar mendukung keberlanjutan adalah dengan penerapan insentif.
Penerapan insentif seolah mengecilkan makna substantif bahwa perubahan perilaku hanya berdasarkan iming-iming yang bersifat materialistis. Namun, tantangan saat ini bagaimana struktur guyub dan individualis menjadi pertarungan sementara pengelolaan lingkungan hidup harus terus berlangsung.
Era keberlanjutan perlu diperkuat dengan penguatan narasi secara terus menerus dan memperkuat kesadaran masyarakat. Sehingga, penguatan narasi tidak cukup sekedar jargon perlu menghadirkan praktek solutif yang praktis di tatanan masyarakat.
Apabila praktek berkelanjutan ini berlangsung dengan kesadaran masyarakat, maka perilaku masyarakat akan mengalami perubahan yang diiringi dengan proses pembelajaran secara perlahan.
Proses pembelajaran tentunya membutuhkan insentif. Misalnya di beberapa gerai kopi yang menawarkan penggunaan botol minuman sendiri, maka pembelian jenis minuman mendapatkan potongan harga. Hal tersebut pada dasarnya berupaya mengubah praktek dengan mengurangi penggunaan kemasan konsumsi minuman dan makanan sekali pakai.