Sabtu, April 20, 2024

Menyoal Politik Uang dalam Pilkada

Yuris Rezha Kurniawan
Yuris Rezha Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Asisten Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT)

Politik uang membayang-bayangi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Banyak pejabat negara, tokoh politik, hingga calon dan pasangan calon kepala daerah turut angkat bicara mengenai anjuran untuk menghindari praktik politik uang.

Mendagri Tjahyo Kumolo misalnya menyebut praktik politik uang sebagai racun demokrasi sehingga tidak akan bisa menciptakan pemimpin yang amanah. Sementara Kapolri, Tito Karnavian berkomitmen akan “menghantam” praktik politik uang, “sepanjang ada aturan hukumnya, korupsi, UU Pemilu, hantam (politik uang)”.

Terakhir tokoh politik yang juga ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh terikat utang budi dalam praktik politik uang. Ia menganjurkan masyarakat menerima “rezeki” dari pemberian politik uang, namun harus tetap memilih berdasarkan hati nurani.

Dalam hal ini, penulis ingin turut berkomentar mengenai politik uang yang akan ditulis dalam catatan singkat dibawah ini.

Ketentuan Hukum Politik Uang Pilkada

Sepanjang penelusuran penulis, pengertian “politik uang” tidak pernah dijelaskan secara tekstual dalam peraturan perundang-undangan. Pemaknaan praktik politik uang didapat dari pasal 73 ayat (1) UU No 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Pasal tersebut mengatur larangan bagi calon dan/atau tim kampanye untuk menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya (dikecualikan dalam hal biaya konsumsi dan transportasi peserta kampanye, serta materi bahan kampanye yang berdasarkan pada nilai kewajaran) untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

Dari undang-undang tersebut pula, praktik politik uang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi pemilihan dan tindak pidana pemilihan. Sehingga pelaku politik uang dapat diberikan dua macam sanksi, sanksi administratif dan sanksi pidana. Mengacu pada pasal 73 ayat (2), sanksi administratif berlaku untuk pasangan calon, yang mana apabila pasangan calon terbukti melakukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.

Sementara sanksi pidana, dapat diberikan tidak hanya pada calon atau pasangan calon namun juga anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain. Ini mengacu pada ayat selanjutnya, yang juga kemudian menegaskan bahwa sanksi administratif tidak dapat menggurkan sanksi pidana.

Ketentuan pidana mengenai politik uang dicantumkan dalam pasal 187A ayat (1) bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sementara ayat berikutnya, memberikan petunjuk secara terang bahwa sanksi pidana tersebut tidak hanya berlaku kepada pemberi, namun juga penerima politik uang.

Urgensi Penegakan Hukum Politik Uang

Setidak-tidaknya terdapat dua alasan kenapa politik uang dalam pilkada harus menjadi perhatian besar, khususnya bagi penyelenggara pilkada, penegak hukum dan masyarakat.

Pertama, politik uang menciderai proses pilkada sebagai sarana demokrasi rakyat. Memenangi sebuah pemilihan dengan cara “membeli suara rakyat” dengan iming-iming sejumlah uang atau materi tertentu jelas bukan semangat demokrasi yang diharapkan.

Konsitutsi mengamanatkan bahwa kedaulatan negara ini berada rakyat yang dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar 1945. Sementara pilkada secara demokratis merupakan bagian dari proses kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Kedua, praktik politik uang tak hanya berdampak pada proses demokrasi secara struktural, seperti misalnya terpilihnya kepala daerah yang tidak berintegritas atau masifnya korupsi politik terutama oleh petahana. Politik uang juga dapat menghambat pendidikan politik bagi masyarakat.

Praktik “pembelian suara” dengan cara memberikan  uang, sembako atau materi lain oleh calon, tim kampanye atau partai politik dapat mengakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan langsung.

Apabila praktik ini dimaklumi dan dilakukan secara terus menerus maka bukan tidak mungkin ketergatungan masyarakat terhadap calon kepala daerah hanya sekedar soal materi, bukan soal gagasan, ide atau program untuk menangani permasalahan sosial yang lebih kompleks. Artinya, pendidikan politik yang merupakan hak masyarakat akan semakin jauh dicapai.

Penegakan hukum praktik politik uang bagi calon atau pasangan calon, partai politik serta pihak lain yang berada dibalik proses pilkada perlu diberikan agar koridor pelaksanaan kampanye tidak merugikan masyarakat. Sementara bagi masyarakat, penegakan hukum praktik politik uang ini dapat dimaknai sebagai sebuah jalan panjang pendidikan politik. Agar masyarakat dapat menagih proses demokrasi dengan kontestasi gagasan, ide atau program dan bukan hanya kontestasi uang, materi atau kekuasaan.

Tantangan Penegakan Hukum Politik Uang Pilkada

Larangan hingga sanksi mengenai praktik politik uang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, mulai di tingkat Undang-Undang hingga Peratuan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu). Beberapa diantaranya memang telah mengalami pembaharuan yang mengarah pada penguatan penegakan hukum pilkada.

Misalnya UU Pilkada terbaru yang memasukkan unsur pidana bagi pemberi maupun penerima politik uang. Serta dalam Perbawaslu No 14 Tahun 2017 yang memberikan pengaturan bahwa dalam pilkada 2018 penanganan pelanggaran administrasi politik uang dapat dilakukan sampai tenggat waktu hari pemilihan (pengaturan sebelumnya hanya bisa dilakukan sampai 60 hari sebelum hari pemilihan).

Meski telah diperkuat dengan beberapa ketentuan, bukan berarti penegakan hukum praktik tersebut nir-tantangan. Sepanjang analisis penulis, terdapat beberapa pengaturan yang masih menyisakan celah sehingga memunculkan tantangan bagi penegakan hukum politik uang di pilkada.

Misalnya mengenai jangka waktu pemeriksaan dalam pelanggaran maupun tindak pidana politik uang. Ketentuan hukum hanya memberi waktu pemeriksaan 3 (tiga) hari bagi Bawaslu untuk menentukan sebuah temuan/laporan tergolong tindak pidana politik uang atau bukan.

Apabila terdapat indikasi pelanggaran atau tindak pidana politik uang, Bawaslu serta penegak hukum hanya diberikan waktu 14 (empat belas) untuk memproses perkara tersebut. Singkatnya jangka waktu tersebut tak jarang menjadikan proses penegakan hukum politik uang berhenti dengan alasan tidak ada bukti-bukti yang kuat.

Ditambah lagi dengan rumitnya syarat formal pelaporan perkara politik uang. Salah satunya dengan kewajiban menyertakan identitas orang yang diduga melakukan praktik politik uang. Meski syarat tersebut bermaksud untuk mempercepat proses pemeriksaan, namun sebenarnya telah mengalihkan kewajiban pemeriksaan yang seharusnya menjadi tugas Bawaslu kepada masyarakat.

Hal itu akan menghambat masyarakat yang barangkali memiliki bukti kuat namun tidak mengetahui secara rinci identitas pelaku politik uang. Sehingga praktik politik uang akan tetap tumbuh subur dan menjadi kejahatan yang sulit diadili.

Yuris Rezha Kurniawan
Yuris Rezha Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Asisten Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.