Jumat, Mei 3, 2024

Skizofrenia Sebuah Kota

Riri Hananta
Riri Hananta
arsitek profesional, penulis , pemerhati sosial, politik, budaya, pendidikan dan Lingkungan Hidup

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memberikan sebuah penghargaan Adipura untuk sejumlah kota (kabupaten), yang berhasil mengelola lingkungan dan kebersihan pada tahun lalu telah selesai. Penghargaan Adipura mempunyai nilai-nilai begitu mendasar, sebab program penghargaan Adipura merupakan instrumen pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau (RTH) di Indonesia.

Propinsi Jawa Tengah, terutama pada Kota atau Kabupaten Jepara, Magelang, Kudus, Boyolali, Sukoharjo dan Kabupaten Pati adalah beberapa kota atau kabupaten penerima penghargaan tersebut dalam hal ini patut berbangga. Tetapi, mengapa kota Semarang yang lebih siap dengan program kebijakan Semarang Wegah Nyampah (SWN) justru gagal ?.

Memang tidak semudah mengelola kota sekompleks Semarang. Selain di sebabkan banyaknya urusan yang melibatkan perputaran uang ratusan milyar, juga beragam kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Terlebih gaung otonomi daerah jika tergelincir sedikit, para kepala daerah bisa menjadi raja-raja kecil yang akan diintari oleh para pemburu rente, proyek dan keuntungan politik lainnya.

SWN adalah sebuah ideologi yang bermanfaat secara ekonomi bagi warga kotanya. Hal tersebut bisa dilihat sebagai kasuistik media untuk menganalisa permasalahan kotanya dengan harapan keterlibatan masyarakat secara lebih meluas dan bersahaja. Tujuannya sangat sederhana agar pengelola kota mampu mengelola beragam kepentingan bahkan konflik yang tidak sehat dalam skala wilayahnya tersebut.

Pakar (ahli) permasalahan perkotaan seperti Sarageldin (1995) berujar salah satu agenda pokok pembangunan perkotaan adalah bagaimana kinerja pemerintah kotanya dalam menyelesaikan persoalan warganya seperti melindungi setiap warga dari kerusakan lingkungan, menghapus kemiskinan dan meningkatkan produktivitas kota untuk mengatasi dua hal tersebut.

Akumulasi kapital merupakan benih-benih bagi pengembangan kota, sehingga kota sering menjadi pusat dari inovasi teknologi, spiritual dan perubahan institusi. Namun, seperti hal yang terjadi pada umumnya, akumulasi kapital di kota sering membuat kota itu sendiri mengalami over-urbanized. Pemadatan kota terjadi begitu cepat dari akibat investasi domestik dengan internasional yang terkonsentrasi di kota, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urban bias.

Urbanisme ini berlangsung sangat cepat sebab jasa para pendiri kota, terutama mereka para pengembang yang berkoalisi dengan perusahaan raksasa, elite-elit pemerintahan lokal dan bankir yang melakukan investasi begitu gencar. Pendiri kota adalah investor, pejabat (walikota, gubernur) dan bankir yang aktif dalam bisnis memanipulasi ruang ataupun space yang secara kontinuitas mengemas kota-kota menjadi sebuah komoditas baru yang paling bergaya untuk sebuah kehidupan modern, prestisius dan seksi.

Seperti pada diakronik sejarah politik, sejarah pembangunan kota juga sangat dipengaruhi para elite-elitnya, yang dalam pembangunan kota berkemampuan mengarahkan pemanfaatan ruang ataupun ground, mempengaruhi konsumsi ruang dan gaya hidup masyarakatnya atau bahkan anggaran pemerintah.

Agenda pembangunan perkotaan merupakan interaksi antar sistem sosial, politik, ekonomi dan ekologis. Semua dapat berjalan secara beriringan menuju keberlanjutan pembangunan kota. Kegagalan kota besar dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan argumen Sarageldin antara lain disebabkan oleh keberadaan kota-kota di negara dunia ketiga seperti Indonesia, menjadi ajang bermain kekuatan bisnis politik besar berskala global ataupun lokal.

Sebab, satu hal yang menarik dilihat kasuistik ideologi SWN yang dibumikan kepada warga kota Semarang dari prespektif ini. Hanyalah sebagai sebuah kebijakan yang di tahap pelaksanaannya tidak seratus persen tercapai. Fokus dalam penanganan sampah kota yang diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan sampah di setiap lingkungan mensyaratkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakatnya.

Pada tahapan awal program SWN ini, uji materi di beberapa tempat terlihat sukses dan akan berkelanjutan berjalan secara baik dan mulus. Lalu, pada fase perjalanannya warga masyarakat justru kurang responsive (tidak menunjukkan reaksi tinggi).

Pada sisi lain dengan tidak didukung sebuah keterpaduan solidnya team work, hingga hasil akhirnya program tersebut menjadi tidak begitu signifikan. Bahkan temuan Adiyanto 2021, menguraikan bahwa masyarakat tidak banyak mengetahuai program tersebut dan 90% lebih pelaku usaha kecil dan pasar tradisional hingga kini masih menyediakan plastik sebagai sarana pembungkus produknya.

Keterlibatan dan kontrol sosial bersama, terhadap program SWN terasa sangat begitu membias dan sangat cair. Makin terasa jika program itu hanya untuk golongan tertentu. Padahal program ini konsep penyelesaian masalah sampah kota jangka panjang yang terencana dan terintegrasi. Secara teknis, program ini dapat diimplementasikan.

Namun, oleh karena program tersebut tak sepenuhnya membumi, pelaksanaan program kurang menyentuh rasa tanggung jawab masyarakatnya. Untuk itu, sebuah program dapat dilanjutkan dengan harus betul-betul bisa diawasi bahkan secara ketat dimonitor seperti halnya program SWN dapat terintegrasi dengan program-program reboisasi (penghijauan). Sebab, overlapping beragamnya kepentingan kekuatan pemodal telah memporak-porandakan lingkungan fisik maupun sosial di kota-kota besar termasuk kota Semarang.

Kota Semarang telah dibuat pusing permasalahan seperti munculnya permukiman liar kumuh, pedagang kaki lima (PKL), kesemrawutan jalur pejalan kaki, pelestarian bangunan-bangunan kuno bersejarah dan bencana banjir jika musim hujan tiba. Semua permasalahan dan imbas yang mengiringi pembangunan dapat dieliminasi jika perasaan memiliki jadi sebuah kesadaran kolektifnya.

Fakta-fakta tersebut semakin mempertegas tudingan Castells (1977) yang menyebutkan bahwa lemahnya kontrol sosial menjadikan kota besar hanya sebagai ajang kenduri para pemilik modal dan birokratnya. Ketiadaan kepastian hukum, keteladanan bahkan kealpaan melibatkan warga masyarakat lokalnya, telah membawa ke arah sejenis penyakit skizofrenia.

Sebagai ulasan terakhir, tak ada ruginya jika pemerintah kota Semarang mendengarkan kritikan dari para pengamat bahwa kegagalan program SWN tersebut, perlu digunakan sebagai sarana introspeksi diri. Sudahkah para pengelola kota yang diamati oleh rakyatnya ini, selayaknya memperhatikan bentangan masalah yang telah diurai sejak awal dari pembahasan tulisan ini. Apabila jawaban tersebut sudah, kemungkinan besar memang seluruh warga kota Semarang itu, sedang mengidap skizofrenia.

Riri Hananta
Riri Hananta
arsitek profesional, penulis , pemerhati sosial, politik, budaya, pendidikan dan Lingkungan Hidup
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.