Black Death adalah pandemi terbesar dalam sejarah manusia. Pandemi yang disebabkan wabah Bubonic ini mencapai puncaknya di pertengahan abad ke-14, setelah berhasil menyapu 50 juta jiwa dari Asia dan Eropa. Wabah ini bermula di Asia, dan elemen seperti perdagangan mentransmisikannya ke Eropa. Dari sekian banyak gerbang bagi Black Death untuk masuk ke Eropa, militer Mongol bertanggung jawab membuka salah satunya.
Pada abad ke-13, kota Caffa (Feodosia saat ini) didirikan sebagai kota perdagangan oleh Republik Genoa (Italia) dan Golden Horde (Mongol). Singkat cerita pada abad ke-14 terjadi konflik antara Mongol dan penduduk Caffa.
Tahun 1343 tentara Mongol yang dipimpin Jani Beg mengepung kota Caffa dan berlangsung selama berbulan-bulan. Caffa dengan benteng dan bantuan lautnya tidak gentar dan bertahan, sehingga pengepungan berlangsung 2 tahun lamanya, sampai 1345. Ada sumber yang mengatakan bahwa pengepungan terus berlangsung selama 2 tahun, tapi ada juga yang mengatakan pengepungan hanya berlangsung beberapa bulan dan dilanjutkan kembali 2 tahun kemudian.
Pada pengepungan tahun 1345—terlepas pengepungan terus berlanjut atau ditangguhkan 2 tahun—tentara-tentara Jani Beg terserang wabah Bubonic dan membunuh mereka satu persatu. Tidak putus asa karena penyakit yang menyebar, tentara Mongol justru menggunakan jenazah tentara yang tewas sebagai senjata. Mereka menggunakan pelontar raksasa (catapult) untuk melempar mayat-mayat tersebut sampai ke balik benteng.
Dalam beberapa bulan mayat-mayat tersebut mulai mencemari saluran air dan udara kota, dan menginfeksi penduduk kota. Korban berjatuhan, namun penduduk kota Caffa masih bisa bertahan dengan bantuan dan suplai laut dari Itali. Tentara Mongol akhirnya mundur pada tahun 1357 dengan menelan kekalahan dan kerugian fatal. Sementara kota Caffa pulih dengan cepat lengkap dengan aktifitas perdagangannya, dan menebar benih benih Black Death ke penjuru Eropa lainnya.
Senjata biologis dalam genosida suku Indian
Penjajahan dan kolonisasi bangsa eropa di tanah Amerika utara menempuh perjalanan mulai dari abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Sejarah ratusan tahun tersebut tergores dengan ratusan perang baik skala kecil dan skala besar. Diantara jejeran senjata yang penah digunakan, mulai dari panah sampai senjata api, ikut berbaris sebuah selimut yang merupakan senjata biologis.
Ada banyak lokasi dimana perang terjadi secara bersamaan dan simultan. Pada tahun 1763, salah satu konflik mayor terjadi di Fort Pitt, yang sekarang adalah Petesburg, Virginia. Koloni Inggris di Fort Pitt mengalami kesulitan menghadapi resistansi Indian di wilayah tersebut. Di saat yang bersamaan, rumah sakit koloni sedang kerepotan menangani pasien akibat wabah cacar.
Salah satu petinggi koloni Inggris, Sir Jeffrey Amherst, melihat peluang untuk melemahkan suku Indian dengan menularkan cacar kepada populasi mereka. Dalam sebuah surat yang dikirimnya tanggal 23 juni 1763, Jeffrey menyarankan untuk menularkan wabah cacar kepada suku Indian sebagai taktik melemahkan mereka.
Di salah satu kesempatan bertemu dengan petinggi Indian, tentara inggris bertukar barang berupa selimut. Warga Indian tersebut tidak tahu bahwa selimut membawa inang penyakit cacar. Tidak ditemukan bukti yang menjelaskan bahwa upaya ini sukses atau pun gagal.
Namun di tahun yang sama dan di wilayah yang sama, percobaan terpisah dilakukan oleh serang pedagang, William Trent. Trent meminta meminta selimut bangsal cacar rumah sakit, “Untuk menggantikan barang [selimut] yang diambil dari di Rumah Sakit untuk menularkan cacar ke Indian.” Tulisnya di sebuah faktur pembelian selimut kepada militer.
Diskusi masih terbuka tentang apakah suku Indian sudah pernah kontak dengan cacar sebelum insiden Fort Pitt, atau apakah metode selimut yang disarankan oleh Amherst dan Trent berhasil atau tidak menularkan cacar ke populasi suku Indian? Pun jika penularan itu sukses, dampaknya akan menjadi bagian kecil dari semua kebrutalan yang dilakukan oleh penjajah di tanah Amerika.
Kita mungkin akan menjadi penduduk Caffa dan Indian di masa depan
Manusia lemah terhadap agen penyakit yang belum pernah ditemuinya. Namun hal ini bisa dicegah dengan vaksin, dimana penyakit diintroduksi ke dalam tanpa membuat sakit. Vaksin diciptakan dengan dasar pengetahuan atas biang penyakit terkait. Tapi coba bayangkan jika manusia berhadapan dengan penyakit yang belum pernah ditemui?
Indian bertemu dengan wabah yang belum pernah mereka temui, dan mungkin masih ada virus dan bakteri di luar sana yang belum kontak dengan manusia modern, dan siap menjadi cacar v2.0 dimana manusia modern berperan sebagai Indiannya.
Faktanya, ada miliyaran virus yang sedang mengembara diantar hewan-hewan di pedalaman hutan, dan menunggu spillover untuk menciptakan pandemi sekelas Covid selanjutnya.
Virus yang berpindah dari hewan ke manusia disebut virus zoonosis. Virus corona atau SARS-CoV-2 diidentifikasi sebagai virus zoonosis meskipun belum ada spesies hewan yang dideteksi sebagai reservoir-nya. Ada lebih dari satu juta virus yang bersirkulasi diantara hewan mamalia dan burung saat ini, dan diyakini setengah diantaranya adalah zoonosis atau memiliki potensi bertransmisi ke manusia.
Selain spillover zoonosis, ada skenario lain yang dapat membuat seluruh populasi manusia modern berada di posisi Indian atau Aborigin diatas. Yaitu bangkitnya virus dan bakteri purba dari es gleiser dan permafrost.
Tahun 2006 wabah Antraks menyerang pedalaman Siberia dan membunuh ribuan rusa dan seorang penduduk. Diketakui bahwa virus tersebut berasal dari wabah Antraks yang menerjang lokasi yang sama 75 tahun lalu. Virus tersebut membeku di es permafrost, dan ketika esnya meleleh, virus lepas mengalir di saluran air dan kembali fungsional.
Sebuah ekskavasi palenteologi 35 tahun lalu jenazah dengan sisa-sisa virus cacar (smallpox) di permafrost Siberia akibat epidemik cacar yang menyerang wilayah tersebut akhir abad ke-19. Penelitian berbeda menemukan serpihan RNA virus yang bertanggung jawab di pandemic Flu Spanyol 1918 di tundra beku Alaska.
Pada tahun 2005 peneliti berhasil mengisolasi bakteri Carnobacterium pleistocenium sp. nov. dari es permafrost Alaska. Es yang membekukan bakteri diyakini berasal dari zaman plestosen (32,000 tahun lalu). Pada tahun 2014 penelitian berbeda ‘membangkitkan’ dua virus tipe pandoravirus (yang berukuran cukup besar untuk sejenis virus) dan berhasil menginfeksikannya ke protista Acanthamoeba dalam lab.
Peneliti sudah sering menemukan bakteri atau virus baru dari es tebal permafrost atau gletser berusia ribuan tahun. Seiring dengan tudung es dipenjuru bumi meleleh, ada kemungkinan virus dan bakteri jaman Neanderthal yang tidak dikenali oleh manusia modern, bangkit, dan menyebabkan pandemi baru.
Biang penyakit purba ini asing bagi Homo Sapiens, tetapi tidak menutup kemungkinan masih memiliki kompatibilitas untuk menginfeksi sel manusia. Ketika wabah menyerang, tidak ada antibodi atau vaksin yang akan mencegah wabah ini menyebar diantara manusia.
Tidak ada hal yang bisa dilakukan saat ini kecuali mencoba melacak dan memburu semua virus tak dikenal tersebut, mulai hutan terpencil dan es terdalam, dan membuat vaksin sebelum spillover atau outbreak terjadi.