Hubungan Indonesia dan Filipina saat ini tengah mengalami sedikit ketegangan akibat tragedi bom Jolo. Sebagaimana diberitakan, Filipina mengklaim bahwa pelaku pengeboman adalah sepasang suami-istri asal Indonesia. Namun klaim tersebut dibantah oleh Indonesia karena menganggap Filipina tidak memiliki bukti yang kuat. Bagaimanakah sebetulnya tragedi bom gereja yang memicu ketegangan Indonesia-Filipina itu terjadi? Apa kira-kira yang menjadi penyebabnya?
Pada minggu pagi, 27 Januari 2019, sepasang bom kembar meletus di sebuah gereja di Pulau Jolo, Filipina selatan, yang merenggut nyawa puluhan orang yang tengah melakukan ibadah mingguan. Berselang dua hari kemudian, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan tersebut. Diduga kuat bahwa pelakunya adalah ISIS cabang Filipina yaitu kelompok Abu Sayyaf. Fakta bahwa pulau Jolo adalah basis gerakan Abu Sayyaf semakin menguatkan dugaan.
Serangan ini terjadi hanya berselang beberapa hari setelah rakyat Filipina Selatan yang tergabung dalam komunitas Muslim Bangsamoro melakukan referendum terbuka untuk mendapatkan hak otonomi yang lebih luas.
Pantas saja, banyak yang menduga serangan Abu Sayyaf itu terkait dengan referendum otonomi yang notabene semakin menjauhkan komunitas Bangsamoro dari cita-cita merdeka, meskipun sejatinya hak otonomi ini bernilai sangat positif bagi komunitas Bangsamoro.
Selain terhindar dari konflik berkepanjangan yang telah menelan ratusan ribu korban jiwa, komunitas Bangsamoro juga memperoleh hak pendapatan sumber daya alam (SDA) yang jauh lebih besar, kucuran dana pembangunan, dan keleluasaan untuk menerapkan hukum Islam.
Referendum kali ini menjadi sebuah titik balik dalam pencarian komunitas Bangsamoro akan kesejahteraan, pengakuan, dan kebebasan. Besar harapan, kristalisasi perdamaian secara permanen dapat terwujud di negara kepulauan tersebut.
Meski sudah menerima status Daerah Otonomi Muslim Mindanao sejak tahun 1990 yang diusahakan oleh kelompok Moro National Liberation Front (MNLF) melalui lobi politik yang alot, namun hal itu belum mampu meredam pemberontakan di wilayah kepulauan Mindanao, Filipina Selatan.
Hal ini disebabkan karena istilah otonomi hanya sekedar nama, sedangkan masih banyak hak-hak otonomi itu sendiri yang belum dirasakan. Sehingga, kelompok-kelompok pemberontak yang baru terus bermunculan dengan tetap mengangkat isu kemerdekaan. Bahkan, ada di antara mereka yang berafiliasi dengan kelompok teroris global seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Kelompok-kelompok Pemberontak di Filipina
Konflik utara-selatan Filipina memiliki akar sejarah yang panjang. Sejak Filipina merdeka di tahun 1946, pemerintah cenderung mengabaikan wilayah Filipina Selatan. Eksploitasi SDA di Filipina Selatan tidak diimbangi dengan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan. Hal ini lah yang kemudian memicu lahirnya kelompok pemberontak pertama, MNLF.
Keputusan MNLF menerima tawaran pemerintah Filipina untuk bernegosiasi membuat sebagian anggotanya tidak senang. Karena kecewa, mereka pun keluar dan membentuk organisasi baru yang diberi nama Moro Islamic Liberation Front (MILF). Dengan mengusung semangat keislaman, MILF melanjutkan cita-cita rakyat Filipina Selatan untuk merdeka dari ‘penjajah’. Kabarnya, MILF juga menjalin hubungan dengan Al-Qaeda.
Anggota MILF tidak selamanya sepaham meski memiliki satu visi. MILF kemudian pecah lagi dan lahir lah kelompok yang kita kenal dengan nama Abu Sayyaf. Meski MILF memusuhi pemerintah Filipina sebagaimana hal nya Abu Sayyaf, namun MILF tidak mentolerir aksi Abu Sayyaf yang terlalu brutal dan anarkis.
Abu Sayyaf tidak segan-segan melakukan perompakan, perampokan, hingga perdagangan barang haram untuk pendanaan aksi terornya. Seiring munculnya ISIS, Abu Sayyaf juga menyatakan ba’iat-nya kepada kelompok pimpinan Abu Bakar Al- Baghdadi itu. Aksi tak terduga dilakukan MILF dengan menerima tawaran pemerintah Filipina untuk berdialog demi otonomi yang lebih luas, sehingga menjadikan Abu Sayyaf sebagai kelompok pemberontak paling kuat saat ini.
Keputusan MILF untuk berdamai dengan pemerintah juga memicu keretakan lanjutan di tubuh MILF. Sejumlah anggota keluar dan mendirikan kelompok baru bernama Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) dan bersama – sama dengan Abu Sayyaf melanjutkan pemberontakan melawan pemerintah.
Kelompok Abu Sayyaf menyerang Marawi pada tahun 2017 silam. MNLF dan MILF, yang sudah merapat ke pemerintah, memberikan bantuan yang cukup signifikan sehingga berhasil memukul mundur kelompok Abu Sayyaf. Saat ini Abu Sayyaf masih memiliki sejumlah kantong perlawanan terakhir di beberapa wilayah, salah satunya di Pulau Jolo yang baru saja dihantam ledakan bom kembar.
Pasca Bom Gereja Pulau Jolo
Bom kembar gereja Pulau Jolo hanya lah satu dari sekian ekspresi kekecewaan kelompok Abu Sayyaf dan aliansinya terhadap kemajuan proses perdamaian antara pemerintah Filipina dan mayoritas penduduk Filipina Selatan yang diwakili MNLF dan MILF.
Abu Sayyaf seolah hendak menunjukkan kepada publik bahwa mereka masih punya pengaruh di Filipina. Motivasi perlawanan mereka bukan lagi untuk mewujudkan negara Islam Bangsamoro Filipina yang independen, namun sebagai bagian (wilayat) dari imperium ISIS. Sedangkan, pemilihan gereja sebagai sasaran atau target adalah bentuk kematangan strategi Abu Sayyaf dalam memicu ketegangan antar umat beragama. Umat Katolik/Kristiani bisa jadi kembali bersikap was-was dan curiga terhadap keberadaan umat Islam.
Di satu sisi, peristiwa bom Jolo dapat menjadi momentum bagi pemerintah Filipina untuk menguji seberapa besar keseriusan MILF, yang merupakan mantan kelompok separatas Islamis terbesar di negara itu, untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam memberantas terorisme.
Di sisi lain, penolakan MILF terhadap aksi bom Jolo dan aksi-aksi Abu Sayyaf lainnya baik di masa lampau ataupun di masa yang akan datang, dapat menjadi kesempatan bagi MILF sendiri untuk membersihkan namanya dari tuduhan terorisme dan menyelamatkan kesepakatan otonomi dengan pemerintah.
Keberhasilan pemerintah mengakuisisi dukungan dari MILF adalah prestasi luar biasa. Jika kerja sama pemerintah-MILF dapat bertahan, ditambah faktor kekuatan ISIS di Timur Tengah yang semakin melemah, maka kehancuran siswa-sisa terorisme di Filipina Selatan hanya tinggal menunggu waktu. Filipina bisa segera hidup damai.