Dalam memberikan terma pada kepercayaan dan agama, sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda, dan ada batasan-batasan tersendiri. Tapi di sini, penulis akan memberi pengertian yang unifikatif atau dengan kata lain pengertian yang sama antara agama dan kepercayaan. Karena secara term antara agama dan kepercayaan mempunyai titik esensial yang sama.
Pengertian agama dalam buku Antropologi Agama Adeng Muchtar Ghazali, bahwa yang disebut agama adalah seperangkat kepercayaan, doktrin, norma-norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia.
Sedangkan dari pengertiannya, masyarakat pimitif memiliki banyak pengertian yang sudah diberikan oleh para ahli. Berdasarkan hasil kajian para Antropolog dan Sosiolog mengenai masyarakat primitif, munculah beberapa teori yang berhubungan dengannya. Salah satunya tentang istilah “primitif” ada yang mengistilahkan pra-literate, non-literate, archaic, dan sebagainya.
Dalam artian, bahwa sesuatu yang primitif itu sesuatu yang kuno, sudah ketinggalan zaman, prasejarah. Pengertian seperti ini kebanyakan dikemukakan oleh para ahli Antropologi pada abad ke-19. Mereka menempatkan manusia primitif pada skala yang sangat rendah dari perkembangan kebudayaan manusia kontemporer. Bagi Spencer (Sosiolog), orang primitif itu rasional.
Sekalipun pengetahuannya sedikit dan lemah, namun pandangan-pandangannya masuk akal. Mereka melihat adanya kenyataan-kenyataan seperti matahari dan bulan, awan dan bintang-bintang, muncul dan hilang. Kenyataan ini memberikan pengertian adanya dualisme, yaitu tentang kondisi-kondisi yang tampak dan tidak tampak.
Ciri-ciri keagamaan Masyarakat Primitif
– Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif mengangap bahwa alam adalah sebagai subjek. Artinya, alam seakan-akan mempunyai jiwa, makhluk yang berpribadi dan menempatkan alam sebagai subjek atau “personal”. Berbeda dengan masyarakat modern yang menganggap alam sebagai objek.
Artinya, manusia menempatkan alam bukan suatu yang memiliki jiwa. Manusia modern meyakini antara manusia dengan alam terdapatnya simbiosis mutualisme. Akan tetapi mereka tidak memandang bahwa alam itu makhluk yang berpribadi, memiliki jiwa dan lain-lain.
Sebagai contoh, misalnya tatkala alam mengeluarkan isi perutnya (Letusan Gunung Berapi) masyarakat primitif beranggapan bahwa “penguasa gunung” sedang murka terhadap mereka. Sehingga mereka mengantisipasi peristiwa itu dengan memberikan berbagai sembahan, mengadakan ritus-ritus, yang motifnya agar sang “penguasa gunung” tidak murka kepada mereka.
Berbeda dengan masyarakat modern, ketika dihadapkan pada peristiwa tersebut, masyarakat modern lebih menelaah dan melakukan penelitian terhadap peristiwa tersebut, serta mencari alasan dan jawaban kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Secara esensial masyarakat modern tidak menempatkan gunung sebagai subjek, tapi objek. Artinya, kejadian alam tersebut dikaji dan dicari antisipasi jika terjadi kembali kejadian alam mesisal itu.
– Mudah mensakralkan Objek Tertentu
Masyarakat primitif mempunyai ciri yakni mudah mensakralkan objek tertentu. Artinya, masyarakat primitif memandang sakral pada suatu yang menurut mereka mengandung kemanfaatan, kebaikan, atau bencana. Semisal, ketika seseorang yang menempati sebuah rumah baru, tak lama kemudian penghuni rumah mengalami sakit.
Mereka langsung beranggapan bahwa penghuni rumah yang sakit disebabkan pengaruh “Jin atau mahluk halus” yang menghuni rumah baru mereka, maka mereka berinisiatif untuk melakukan ritual tertentu yang bertujuan mengusir atau memindahkan “Jin” tersebut agar terhindar dari pengaruh mahluk halus dan tidak lagi mengganggu penghuni rumah. Semisal, dengan memberikan “sesaji”.
Jika dewasa ini masih ada masyarakat yang berpandangan seperti demikian, maka merujuk pada ciri masyarakat primitif, masyarakat tersebut bisa dikategorikan termasuk masyarakat primitif.
Solusi yang ditawarkan penulis menanggapi fenomena tersebut jika dilihat dari perspektif Islam yaitu menanggapi hal yang transenden atau metafisik, wajib mempercayainya. Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat dogma yang menyebut percaya pada Allah, Malaikat, Hari Akhir, kesemuanya itu bersifat transenden.
Artinya manusia harus percaya pada hal yang “gaib”. Namun, jangan pula langsung menjustifikasi bahwa peristiwa tadi karena mahluk “gaib”, “Jin”. Kemudian mengambil sikap “menawar” dengan ritus-ritus tertentu atau dengan sesaji dan semacamnya.
Menurut hemat penulis, dewasa ini, berdasarkan pandangan Comte (Sosiolog) masuk pada era logos, ilmiah. Artinya, keterkaitan perspektif Islam dan Sosiologis yang sudah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik benang merah bahwa sakit memang karena kehendak Allah (hakikat) dan secara “syariat” dalam hal ini secara ilmiah, sakit karena keadaan tubuh “yang sedang goyah”.
Tatkala terdapat virus masuk kedalam tubuh, body protect tidak mampu untuk menangkalnya, sehingga mengakibatkan sakit. Secara spiritual, lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, semisal dengan rajin membaca ayat suci al-Qur’an. Jangan mengkonsepsikan diri -apa lagi konsep itu sangat kuat- bahwa fenomena tersebut karena mahluk semacam “Jin”, Secara psikologis ketika self, diri, atau ego sudah meyakini akan sesuatu yang kita yakini maka itu benar (bisa) akan terjadi.
– Sikap Hidup yang Serba Magis
Ciri-iri masyarakat primitif selanjutnya yaitu masyarakat yang kehidupnya selalu dihubungkan dengan hal-hal “gaib”. Ada hal-hal tertentu saja yang terjadi, masyarakat primitif langsung menghubungkannya dengan sesuatu hal yang magi. Kembali pada teorinya Comte dalam teori 3 tahapnya yakni masyarakat yang termasuk pada tahap mitos. Artinya, masyarakat yang memiliki sikap hidup selalu, segala sesuatu dihubungkan dengan hal-hal magis.
– Hidup Penuh dengan Upacara Keagamaan
Ciri yang terakhir yaitu hidup penuh dengan upacara keagamaan. Secara esensial sebenarnya dari keempat ciri masyarakat primitif mempunyai sisi substansi yang sama. Ciri yang keempat dari masyarakat primitif adalah hidup yang penuh dengan upacara keagamaan.
Contohnya, ketika tibanya musim panen padi, masyarakat primitif tidak menganggap sepele akan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa terdapatnya -yang mereka sebut dengan- “dewi sri” atau dewi padi. Tatkala musim panen tiba mereka menyediakan sesaji-sesaji yang dikhususkan untuk dewi sri, sebagai tanda terimakasih kepadanya atas keberhasilan panen.
Dari paparan di atas, bahwa masyarakat primitif seperti itu, dan mempunyai ciri-ciri seperti demikian. Apakah kita selaku masyarakat yang hidup di era modern ini, berada dalam kategori ciri-ciri masyarakat primitif?