Akhir-akhir ini, kita sering banget denger jargon “anak muda harus berpolitik.” Kalimat ini seperti mantra yang diulang-ulang, seakan-akan bisa mengubah dunia. Di satu sisi, ada harapan besar untuk generasi muda agar terlibat aktif dalam politik, apalagi menjelang pemilu.
Namun, mari kita lihat lebih dekat. Apa sih yang sebenarnya terjadi di lapangan? Jargon ini bukan cuma manis di telinga, tetapi juga menyimpan sejumlah masalah yang nyatanya lebih rumit. Di balik semangat itu, kita menemukan tantangan besar, terutama soal lemahnya kaderisasi di partai politik di Indonesia.
Kaderisasi adalah proses yang seharusnya menyiapkan pemimpin-pemimpin muda yang mengerti visi dan misi partai. Sayangnya, banyak partai politik kita yang lebih memilih mengandalkan politisi yang sudah mapan, apalagi belakangan mengandalkan orang-orang yang penting sudah terkenal. Wajah-wajah lama yang sudah terlanjur berkarat dan jenuh. Seakan-akan, mereka berpikir, “Kenapa harus repot-repot mencari yang baru jika yang sudah ada cukup untuk terus terpilih?”. Apalagi anak muda nggak punya biaya, dengan cost politik yang sebegitu mahalnya.
Nah, ada juga masalah lain yang nggak kalah penting tentang pemahaman politik di kalangan anak muda. Banyak anak muda yang merasa politik itu ribet dan penuh jargon yang sulit dimengerti. Mereka lebih tertarik pada isu-isu yang langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari, seperti pendidikan dan lapangan kerja. Ketika diajak berpolitik, banyak yang bingung harus mulai dari mana.
Belum lagi, ada ketidakpuasan yang melanda anak muda terhadap politisi yang ada sekarang. Siapa sih yang bisa menganggap politisi kita sebagai panutan? Banyak yang merasa politisi yang ada tidak mewakili aspirasi mereka. Kasus-kasus korupsi yang terus muncul, ditambah dengan kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan, wajar saja jika banyak anak muda yang skeptis. Mereka melihat bahwa dunia politik hanya diisi oleh orang-orang yang haus kekuasaan, bukan orang-orang yang peduli pada rakyat.
Jadi, ketika mereka ingin terlibat, mereka harus berhadapan dengan sistem yang sudah mapan dan cenderung eksklusif. Gimana bisa percaya dengan jargon “anak muda harus berpolitik” jika semua yang mereka lihat adalah permainan kekuasaan yang hanya melibatkan segelintir orang?
Satu hal yang menarik adalah, ketika anak muda benar-benar ingin terlibat dalam politik dan masuk ke dalam partai politik, mereka sering kali kesulitan mendapatkan akses. Rekrutmen atau kaderisasi partai jarang sekali transparan. Banyak yang bertanya-tanya, “Di mana sih rekrutmen untuk anak muda?” Ketika ada, sering kali prosesnya tidak jelas dan cenderung eksklusif. Ini seperti sebuah labirin yang tidak ada ujungnya, di mana anak muda yang penuh semangat malah tersesat. Banyak dari mereka yang tidak tahu harus kemana dan bagaimana untuk bisa terlibat secara aktif. Jadi, alih-alih membangun keinginan untuk terlibat, sistem ini justru menciptakan rasa putus asa di kalangan generasi muda.
Dalam hal ini, sistem pendidikan politik yang ada di Indonesia juga patut dipertanyakan. Di mana sih pendidikan politik yang bisa diakses oleh anak muda? Banyak dari mereka yang nggak pernah mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang politik di sekolah atau di lingkungan sosial mereka. Sehingga, ketika disuruh berpolitik, mereka merasa tidak siap. Ya, siapa sih yang mau terjun ke dalam kolam politik yang penuh dengan buaya, tanpa tahu cara berenang?
Keterlibatan anak muda jadi lebih sulit karena minimnya informasi dan pendidikan yang relevan. Dan ketika mereka merasa tidak berdaya, apa yang bisa mereka lakukan? Tentu saja, mereka cenderung menghindar daripada terlibat dalam politik yang mereka anggap tidak ada gunanya.
Dalam konteks media sosial, kita juga harus melihat fenomena yang lebih serius. Banyak partai politik yang tidak paham cara memanfaatkan media sosial untuk menjangkau generasi muda. Alih-alih berusaha menciptakan konten yang menarik dan relevan, mereka justru terjebak dalam cara-cara lama yang tidak lagi efektif. Ketika anak muda berusaha untuk terlibat dalam politik, mereka tidak menemukan informasi yang bermanfaat di platform-platform ini. Sebaliknya, mereka hanya dihadapkan pada konten yang kaku dan tidak relevan dengan realitas mereka. Akibatnya, anak muda merasa terasing dan kehilangan minat.
Kemudian stigma negatif yang sering kali mengelilingi dunia politik. Banyak anak muda yang menganggap politik itu kotor dan penuh intrik. Ketika mereka mendengar tentang kasus-kasus korupsi atau skandal yang melibatkan politisi, mereka jadi semakin enggan untuk terlibat. “Untuk apa berpolitik jika pada akhirnya hanya akan terjebak dalam permainan kotor?” begitu pikiran mereka. Ini adalah tantangan serius yang perlu dihadapi jika kita ingin anak muda lebih aktif dalam politik.
Namun, mari kita jujur. Seberapa banyak partai politik yang benar-benar menunjukkan transparansi dan akuntabilitas? Seberapa banyak dari mereka yang berusaha untuk memperbaiki citra politik? Jika semua yang terlihat hanya segelintir politisi yang sibuk dengan agenda pribadi mereka, bagaimana mungkin anak muda bisa merasa terinspirasi untuk berkontribusi? Ketika anak muda tidak melihat contoh yang baik, sulit bagi mereka untuk percaya bahwa mereka bisa membuat perubahan yang berarti.
Dan kita juga tidak bisa melupakan peran masyarakat dalam menciptakan budaya politik yang lebih sehat. Jika masyarakat tidak peduli atau bahkan apatis terhadap politik, bagaimana mungkin anak muda akan terinspirasi untuk berkontribusi? Ketika pemilih di luar sana lebih memilih untuk tidak memilih daripada memilih calon yang tidak berkualitas, maka kita hanya akan berputar di tempat. Masyarakat perlu sadar bahwa suara mereka adalah kekuatan. Namun, ketika ada perasaan putus asa dan ketidakpercayaan terhadap sistem, hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Bagi para pemimpin partai, seharusnya ini menjadi momen introspeksi. Apakah mereka benar-benar ingin melibatkan anak muda dalam proses politik, atau hanya sekadar mengulang-ulang jargon yang tidak bermakna? Jika mereka ingin anak muda berpartisipasi, mereka harus memberikan ruang yang nyata dan mendukung perkembangan mereka. Misalnya, dengan mengadakan pelatihan, seminar, atau workshop yang relevan dengan isu-isu yang dihadapi anak muda saat ini.
Tentu saja, anak muda juga harus proaktif. Mereka tidak bisa hanya menunggu kesempatan datang. Mereka perlu mencari dan menciptakan ruang bagi diri mereka sendiri. Namun, itu semua menjadi sulit ketika akses untuk masuk ke dalam dunia politik begitu terbatas. Mereka perlu melawan arus dan berjuang untuk mendapatkan tempat, tetapi sistem yang ada sering kali tidak memudahkan usaha mereka.
Jadi, mari kita renungkan. Apakah jargon “anak muda harus berpolitik” hanya akan menjadi kalimat kosong yang diulang-ulang tanpa makna? Ataukah ini akan menjadi panggilan untuk perubahan yang nyata? Untuk menjawab pertanyaan ini, semua pihak—partai politik, masyarakat, dan generasi muda itu sendiri—perlu saling bekerja sama.