Jumat, Maret 29, 2024

Sisi Manusiawi Sang Rasul

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

“Merengut dan membuang muka.” Demikian Al-Quran surah ke-80 (‘Abasa) ayat pertama menggambarkan raut wajah Muhammad Saw ketika seorang tunanetra tiba-tiba muncul di hadapannya, dan menyela pembicaraan. Kala itu, Rasul Saw sedang berbicara serius tentang Islam kepada beberapa pembesar Quraisy, dengan harapan membuka hati mereka agar masuk Islam.

Menurut banyak mufasir, laki-laki tunatetra itu bernama Abdullah ibn Ummi Maktum. Ia datang dan meminta dengan setengah mendesak kepada Rasul Saw agar mengajarinya ayat yang turun paling belakangan, dan belum ia ketahui. Beliau tampak agak kesal, air mukanya berubah masam, dan sempat berpaling, tidak  segera melayani permintaannya.

Terkait perubahan air muka itulah surah ‘Abasa diturunkan. Allah menegur Rasul-Nya yang bersikap tidak seharusnya terhadap orang yang datang dengan sungguh-sungguh untuk meminta diajari. Allah Swt seakan hendak mengatakan kepada beliau, “Janganlah karena dia tunanetra, lalu kau abaikan demi melayani orang-orang yang secara lahiriah tampak lebih penting. Padahal senyatanya, mereka itu tidak lebih baik dari si tunanetra, meskipun mereka adalah pembesar-pembesar kaumnya.”

Merengut dan kesal merupakan bagian dari sifat-sifat manusiawi, yang bisa saja timbul secara refleks pada diri seseorang manakala mendapati suatu perlakuan di luar keinginannya. Rasul Saw sangat berharap pembesar-pembesar Quraisy itu masuk Islam sehingga melapangkan jalan dakwah bagi kaumnya. Ketika beliau berfokus bicara dengan mereka, tiba-tiba disela oleh seorang tunanetra.

Demikianlah sisi manusiawi Rasulullah Saw. Beliau juga manusia dengan segala sifat kemanusiaannya seperti kita, namun dibekali wahyu—Lihat surah al-Kahf (18): 110 dan Fushshilat (41): 6.

Lupa

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menuturkan: “Nabi Saw memimpin shalat zhuhur—atau ashar—bersama kami. Setelah (dua rakaat), beliau membaca salam. Maka Dzul Yadain berkata kepada beliau, ‘Apakah engkau mengurangi jumlah rakaat shalat, wahai Rasulullah?’ Nabi Saw balik bertanya kepada para sahabatnya, ‘Benarkah apa yang dikatakannya?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar.’ Maka beliau berdiri mengerjakan shalat yang tertinggal, kemudian melakukan sujud (sahwi) dua kali.”

Keterangan hadits ini mengisyaratkan sisi manusiawi Sang Rasul Saw; bahwa beliau juga pernah lupa. Shalat zhuhur/ashar yang seharusnya dikerjakan empat rakaat, baru selesai dua rakaat, beliau sudah mengakhirinya dengan salam.

Beberapa sahabat mengira jumlah rakaat shalat (zhuhur/ashar) itu dikurangi? Lalu beliau mengonfirmasikan: tidak—yakni dengan cara melengkapinya (langsung, begitu diingatkan). Kemudian mengikutinya dengan sujud sahwi—yakni sujud dua kali oleh sebab lupa mengerjakan amalan fardhu (rukun) dalam shalat—sebelum salam.

Manusiawi

Lupa, kesal, gusar, kecewa, bingung, lelah, sedih, senang, dan semacamnya adalah sifat-sifat yang menyertai setiap manusia, tak terkecuali Rasulullah Saw. Surah al-Dhuha (93): 5-7, misalnya, mengisyaratkan sisi-sisi manusiawi Sang Rasul; bahwa beliau yatim, pernah bingung (dhâll) dan kekurangan (‘â’il). Lalu Allah Swt melindungi, memberi petunjuk, dan memberi kecukupan.

Ya, beliau seorang yatim piatu. Ayahnya Abdullah telah lebih dulu meninggal sebelum beliau dilahirkan. Ibunya Aminah juga meninggal saat umurnya baru menginjak enam tahun. Beliau pun hidup dalam kekurangan sebelum kemudian menikah dengan Khadijah. Bingung melihat realitas kaumnya, beliau lalu ‘uzlah (menyendiri dan melakukan perenungan). Saat pertama kali menerima wahyu, beliau pun sempat bingung sampai kemudian Allah Swt memberi petunjuk.

Rasul pun pernah gusar. Diceritakan bahwa suatu ketika, seorang pedagang kecil dari Yaman menjual seekor unta kepada Amr bin Hisyam—yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahl—tetapi tidak segera dibayar. Pedagang itu mengadukan nasibnya kepada para pembesar Quraisy di Ka‘bah. Mereka lalu menunjuk ke arah Rasul Saw yang saat itu sedang duduk di salah satu sudut masjid.

Mendengar pengaduan si pedagang, Rasul Saw langsung bangkit, mengajaknya ke rumah Abu Jahl. Beliau mengetuk pintu, dan sang pemilik rumah keluar. “Berikanlah hak orang ini!” ucap beliau kepada salah satu pembesar Quraisy itu, tegas. Abu Jahl tak bisa mengelak. Maka terpaksa ia membayar seluruh hak si pedagang yang sempat dizhaliminya itu (Dirâsât fî al-Sîrah al-Nabawîyah karya Husain Mu’nis).

Rasul Saw juga sedih dan kecewa bahwa paman yang membesarkan beliau dan sangat dicintainya, yakni Abu Thalib, sampai akhir hayatnya tak tercatat sebagai Muslim. Kesedihan lainnya beliau rasakan ketika pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib gugur dalam Perang Uhud dengan kondisi sangat mengenaskan; perutnya koyak serta hidung dan kedua daun telinganya terpotong.

Bahkan dalam kecamuk Perang Uhud itu, Rasul pun sempat diisukan terbunuh. Menurut banyak mufasir, isu ini di antaranya melatari turunnya surah Âli ‘Imrân (3): 144. Banyak sejarawan juga menyebutkan bahwa ketika itu beliau terluka, gigi beliau tanggal.

Muhammad tidak lain adalah seorang rasul, telah berlalu sebelumnya para rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Dan siapa yang berbalik ke belakang, maka tidaklah akan dapat mendatangkan kemudaratan bagi Allah sedikit pun, dan Allah akan membalasi orang-orang yang bersyukur.

Ayat ini dibacakan oleh Abu Bakar di hadapan Umar bin Khaththab setelah Rasul Saw wafat, dan Umar seakan “tak sanggup menerima kenyataan” bahwa beliau benar-benar telah wafat. Maka Abu Bakar menegaskan, “…Siapa menyembah Allah sebagai Tuhannya, sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak akan pernah mati; dan siapa menyembah Muhammad serta menempatkannya sebagai Tuhan, Maka Tuhannya telah binasa…”

Allah juga telah menegaskan kepada Rasul Saw: Sesungguhnya engkau akan mati, dan mereka pun akan mati (al-Zumar [39]: 30).

Sosok Autentik

Memahami sisi-sisi manusiawi Rasulullah Saw artinya kita menempatkan beliau sebagai sosok autentik, apa adanya. Beliau memiliki sifat-sifat manusiawi, dan Allah Swt memilih beliau menjadi utusan-Nya bagi segenap manusia dengan dibekali wahyu sebagai rahmat bagi alam semesta.

Dengan memahami Rasul sebagai sosok autentik memungkinkan kita mengikuti jejak beliau dengan meneladani akhlak, perangai dan tingkah laku beliau dalam berbagai aspek. Bahwa beliau adalah keturunan Adam, dilahirkan melalui pasangan ibu dan bapak, tumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup masyarakat sosial.

Bahwa beliau menjalani kehidupan dari masa kanak-kanak, menjadi remaja, lalu tumbuh dewasa dan menikah serta berketurunan. Beliau adalah suami dari istri-istrinya, bapak dari anak-anaknya, dan menjadi kakek dari cucu-cucunya.

Beliau juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup; pernah menggembala dengan sejumlah imbalan, menjalankan bisnis perniagaan, memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar—sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Furqân (25): 7.

Allah memilih beliau sebagai Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah yang diwahyukan kepadanya bagi umat manusia. Dalam pada itu beliau dipuji, namun ada juga yang mencaci maki. Beliau pernah dituduh sebagai ahli sihir, berupaya memesona dengan syair, dan bahkan dikatai sebagai orang gila.

Seluruh sisi manusiawi yang membingkai kehidupan Sang Rasul adalah uswah untuk diteladani…

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.