Senin, Agustus 18, 2025

Sisa Harapan di Antara Gerombolan Bandit Pengetahuan

Mumtaz Alim Muttaqin
Mumtaz Alim Muttaqin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia | Penikmat literasi
- Advertisement -

Kekayaan intelektual termasuk kunci pertumbuhan ekonomi bangsa. Pembajakan buku dan ketidakjujuran akademik harus dilenyapkan. Angin segar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui laporan Januari 2025, anehnya, terasa sesak. Kabar baik itu datang dari kancah internasional.

Peringkat Indonesia dalam Global Innovation Index naik 31 tangga dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dari peringkat 85 di tahun 2020, ke urutan 54 pada 2024. Angka itu merupakan capaian yang membanggakan. Ironisnya, capaian inovasi nasional berbanding terbalik dengan realita dunia intelektual dan pendidikan yang semrawut.

Bangsa Indonesia seperti kebal dengan pil pahit. Penyataan dari Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arys Hilman Nugraha pada 2023 lalu, tidak lagi terasa menyengat. “Enam di antara sepuluh toko di lokapasar yang saya temukan saat mencari produk buku saya, menjual produk bajakan.” 

Bahkan hasil survei internal IKAPI pada 2021 menunjukkan nuansa serupa. Tidak kurang dari 75% buku yang dijual di lokapasar merupakan bajakan. Kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.

Bak jatuh tertimpa tangga, praktik pembajakan buku melanggeng mesra dengan pelacuran akademik di institusi pendidikan. Indonesia menduduki peringkat kedua dalam kontes ketidakjujuran akademik versi Vit Machacek dan Martin Srholec, dua peneliti asal Republik Ceko.

Komisi Pemberantakan Korupsi (KPK) bahkan menelanjangi bangsa ini dengan laporan angka mencontek di perguruan tinggi mencapai 98 persen. Indeks Inetegritas Pendidikan kita pada 2024 hanya 69,50. Dalam kata yang sederhana: memalukan.

Melihat fenomena yang begitu kontras, rasanya pantas menyebut ada mata rantai yang hilang dalam hukum kita. Indikasi kemunafikan dalam perlakukan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat kental.

Negara, di satu sisi gencar melakukan percepatan dalam riset dan inovasi. Negara berkehendak menjadi bangsa yang cerdas. Ia ingin memiliki teknologi sebanyak-banyaknya. Sebab teknologi yang berkemajuan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar. Bangsa ini bercita-cita menjadi pemain utama di ekonomi internasional.

Kendati demikian, sayangnya, negara justru melecehkan hak moral dan hak ekonomi yang mestinya diperoleh para penulis, para pencipta, melalui mekanisme hukumnya yang serampangan. Buku bajakan nangkring dengan tenang di etalase toko buku. Ia menjadi rekomendasi teratas di lokapasar.

Hukum yang ada, malah merugikan pencipta dengan delik aduannya. Seakan-akan, negara tidak kuasa memberantas para penyamun. Pencipta harus bekerja lebih keras. Sudahlah ciptaan dibajak, ia juga yang harus mengadu. Artinya, menghadapi proses yang berkelit.

- Advertisement -

Belajar

Jika menelusuri negara dengan ekonomi terbesar di dunia, setidaknya lima negara teratas merupakan negara yang juga memiliki segudang intellectual property. Negara-negara maju mendudukkan HKI, khususnya paten, pada derajat yang luhur.

Paten yang melimpah memberikan dua manfaat utama. Pertama, negara menguasi hak eksklusif atas teknologinya. Kedua, negara memiliki bargaining yang lebih kuat dalam diplomasi. Keduanya mengarah pada manfaat ekonomi, baik melalui royalti maupun posisi strategis dalam perjanjian dagang.

Sejak bergabung dalam World Intellectual Property Organization (WIPO) pada 1980, Tiongkok telah mengalami kemajuan pesat dalam akselerasi jumlah dan kualitas kekayaan intelektual. Pada 2023, Tiongkok menduduki urutan pertama negara dengan hak paten terbanyak di dunia yakni 1.652.437 paten.

Capaian tersebut merupakan hasil dari National Intellectual Property Strategy (NIPS) yang disusun pada 2008. Strategi tersebut menargetkan pada 2020, Tiongkok menjadi negara dengan daya cipta, perlindungan, dan administrasi hak kekayaan intelektual yang tinggi.

Tiongkok memiliki visi yang jelas tentang arah pertumbuhan ekonomi negara. Tiongkok mencatat jumlah produk domestik bruto (PDB) sebanyak USD 18,74 triliun pada 2024. Di tahun yang sama, Tiongkok menguasai 62% pasar electronic vehicle (EV) dunia.

Statistik tersebut menandakan bahwa dengan inovasi yang berkelanjutan dan dukungan negara atas kekayaan intelektual, negara mampu mendobrak pertumbuhan ekonominya. Inovasi teknologi menjadi kartu truf yang layak diperhitungkan.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menjadi negara nomor 1 pemegang hak paten pada 2023, yaitu sebesar 9.255. Kontras dengan Indonesia yang hanya mempunyai 1.726 saja. Sejak meluncurkan IP Hub Master Plan pada 2013, Singapura telah membangun ekosistem kekayaan intelektual yang visioner.

Dengan kolaborasi yang integral, Singapura aktif mempromosikan output riset perusahaan kepada pasar dan masyarakat. Singapura turut mendorong akses lapangan kerja di sektor-sektor kekayaan intelektual, baik hukum, manajemen, juga pemasaran.

Apa yang diupayakan oleh Tiongkok dan Singapura merupakan strategi yang umum dilakukan negara-negara maju. Sebab, memiliki paten berarti menguasai teknologi. Kemajuan teknologi berarti kemudahan, diterjemahkan sebagai pecepatan di sektor ekonomi. Dari teori ekonomi klasik Adam Smith saja, negara semestinya mampu melihat potensi ekonomi yang besar dari teknologi.

Maka, sudah semestinya negara membuat master plan kekayaan intelektual bangsa menjadi lebih aktual. Negara tidak boleh cuci tangan dari pelanggaran HAKI dan berlindung di balik delik aduan.

Sisa harapan

Peningkatan jumlah riset dan inovasi yang dikemukakan BRIN setidaknya memberikan harapan baru bagi bangsa. Masyarakat akademis menyambut baik setiap insentif di bidang keilmuan.

Dengan program-program yang digagas BRIN, ‘orang-orang pintar’ memperoleh wadah untuk menyalurkan potensi daya ciptanya, khususnya di bidang teknologi. Bangsa ini berada di jalur yang benar. Saatnya memaksimalkan potensi intelektual bangsa demi cita-cita kesejahteraan sosial.

Akan tetapi, krisis moral dalam kehidupan bernegara tidak akan serta-merta hilang dengan program-program BRIN. Krisis moral dalam intelektualitas kadung menjalar di setiap lini kehidupan. Pembajakan buku adalah contoh paling konkret di depan mata. Bahkan hukum pun menjadi kerdil di hadapan para penyamun itu.

Maka, bangsa ini membutuhkan lebih dari sekedar orang cerdas. Bangsa ini merindukan orang cerdas yang bermoral. Sebab kita tidak ingin, intelektualitas yang melimpah, menjadi santapan gerombolan bandit pengetahuan.

Mumtaz Alim Muttaqin
Mumtaz Alim Muttaqin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia | Penikmat literasi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.