Selasa, Maret 25, 2025

Sinisme di Era Kecerdasan Buatan

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Seeing is believing” demikian pepatah lama yang mengajarkan kita untuk mempercayai sesuatu berdasarkan bukti visual. Namun, di era digital yang kian maju, justru pepatah ini yang paling mudah disangkal. Apakah kita benar-benar masih bisa mempercayai apa yang kita lihat?

Teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya deepfake, telah membawa kita pada ambang realitas yang kian buram. Gambar, video, bahkan suara kini dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga sulit dibedakan dari kenyataan. Sebuah rekaman pidato seorang pemimpin dunia bisa sepenuhnya palsu, tetapi tampak dan terdengar begitu meyakinkan. Sebuah foto yang tampaknya menggambarkan peristiwa tragis bisa saja hanya hasil rekayasa algoritma. Dalam dunia seperti ini, bagaimana kita dapat memastikan bahwa kebenaran masih bisa dikenali?

Dampaknya, masyarakat bukan hanya mulai meragukan informasi yang beredar, tetapi juga meragukan kemampuan mereka sendiri dalam memilah mana yang asli dan mana yang palsu. Sinisme menjadi respons yang semakin lazim: jika segalanya bisa dipalsukan, untuk apa lagi kita repot-repot mencari kebenaran? Jika media, pemerintah, dan institusi sosial dianggap tidak lagi dapat dipercaya, bukankah lebih baik mencurigai segalanya?

Namun, apakah sinisme benar-benar menjadi solusi atau justru semakin memperburuk keadaan? Apakah sikap skeptis yang berlebihan tidak justru membuat kita lebih rentan terhadap manipulasi?

Deepfake dan Hancurnya Fondasi Kepercayaan Publik

Seiring berkembangnya teknologi, kita semakin jarang bertanya, “Apakah ini benar?” dan lebih sering bertanya, “Seberapa mungkin ini telah dimanipulasi?” Pertanyaan ini berakar dari realitas yang kita hadapi saat ini: batas antara kebenaran dan kebohongan semakin tipis, dan teknologi deepfake menjadi katalisator utama.

Kasus penyebaran gambar ledakan di Pentagon pada Mei 2022 adalah contoh nyata. Gambar tersebut, yang terbukti palsu, sempat menciptakan kepanikan di pasar saham sebelum akhirnya dikonfirmasi sebagai deepfake. Namun, yang menarik bukan hanya bagaimana gambar tersebut menyebar, tetapi juga bagaimana masyarakat meresponsnya: banyak yang langsung percaya, sementara yang lain justru menolak semua informasi terkait tanpa melakukan verifikasi. Ini adalah dua sisi ekstrem dari krisis kepercayaan yang kita hadapi, kepercayaan buta dan sinisme total.

Lebih parah lagi, fenomena ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga merusak tatanan sosial. Institusi media, yang selama ini dianggap sebagai penjaga kebenaran, kini harus berhadapan dengan publik yang semakin skeptis. Pemerintah, yang dituntut untuk transparan, sering kali menghadapi tuduhan manipulasi. Bahkan ilmu pengetahuan pun tidak luput dari tudingan rekayasa. Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh deepfake dan informasi manipulatif, bukan hanya kepercayaan terhadap media yang terancam, tetapi juga legitimasi seluruh sistem sosial yang kita andalkan.

AI Self-Efficacy, Ketidakmampuan Mengenali Kebenaran dan Dampaknya

Di tengah derasnya arus informasi digital, manusia tidak hanya menjadi korban manipulasi teknologi, tetapi juga korban dari ketidakpercayaan terhadap dirinya sendiri. AI self-efficacy, atau keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengenali dan memahami teknologi AI, menjadi faktor kunci dalam menentukan bagaimana seseorang bereaksi terhadap informasi.

Individu yang merasa mampu mengenali konten deepfake cenderung lebih kritis dan berhati-hati dalam mengonsumsi informasi. Sebaliknya, individu yang merasa tidak memiliki kemampuan tersebut akan mengalami discernment fatigue, kelelahan dalam memilah informasi yang pada akhirnya mendorong mereka pada sikap apatis dan sinisme. Mereka berhenti mencoba membedakan mana yang benar dan mana yang tidak, karena merasa bahwa usaha mereka akan sia-sia.

Hal ini menciptakan efek domino yang mengkhawatirkan. Saat semakin banyak individu mengalami penurunan AI self-efficacy, semakin besar pula jumlah orang yang tidak lagi peduli dengan kebenaran. Ini bukan hanya masalah individual, tetapi juga ancaman kolektif. Ketika publik kehilangan kepercayaan terhadap informasi, mereka menjadi lebih mudah dimanipulasi oleh aktor-aktor yang ingin mengeksploitasi situasi ini untuk kepentingan mereka sendiri.

- Advertisement -

Apakah Sinisme Menjadi Benteng Perlindungan?

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa sinisme terhadap informasi di era digital adalah bentuk perlindungan diri. Jika kita tidak mudah percaya pada apa pun, kita tidak akan mudah tertipu. Logikanya terdengar masuk akal, tetapi apakah benar demikian?

Sinisme yang berlebihan justru menjebak kita dalam sikap pasif. Ketika seseorang tidak lagi percaya pada apa pun, mereka juga berhenti mencari tahu. Ini berarti mereka tidak hanya menolak berita palsu, tetapi juga menolak berita yang benar. Dalam jangka panjang, sinisme ini berujung pada penurunan kualitas diskusi publik, meningkatnya apatisme politik, dan melemahnya demokrasi.

Lebih buruk lagi, sikap sinis bisa menjadi alat bagi mereka yang ingin menciptakan kekacauan informasi. Jika masyarakat berhenti mempercayai semua media, semua ilmuwan, dan semua pemimpin, maka siapa yang diuntungkan? Mereka yang menyebarkan disinformasi justru diuntungkan ketika masyarakat tidak lagi peduli untuk membedakan fakta dari kebohongan.

Melawan Gelombang Sinisme, Antara Adaptasi dan Kehancuran Kepercayaan

Ketika deepfake semakin canggih dan batas antara realitas dan manipulasi semakin kabur, masyarakat berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk beradaptasi dengan meningkatkan literasi digital dan kemampuan mengenali informasi, atau kita bisa menyerah pada sinisme dan membiarkan diri kita tenggelam dalam ketidakpercayaan.

Namun, membiarkan sinisme merajalela bukanlah solusi. Jika kita menyerah pada skeptisisme berlebihan, kita justru mempercepat kehancuran sistem informasi yang kita andalkan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah menolak semua informasi, tetapi memperkuat kemampuan kita dalam memilahnya. AI self-efficacy harus menjadi bagian dari literasi digital yang diajarkan sejak dini, agar masyarakat memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi era media cerdas.

Meningkatnya sinisme di era digital adalah gejala dari krisis kepercayaan yang lebih luas. Deepfake dan teknologi manipulatif lainnya telah membuat kita semakin sulit membedakan antara fakta dan rekayasa, sementara rendahnya AI self-efficacy mendorong masyarakat ke dalam sikap skeptis yang merusak.

Namun, sinisme bukanlah jawaban. Jika kita ingin melindungi diri dari disinformasi, kita harus melawan dengan pengetahuan, bukan dengan ketidakpedulian. Literasi digital yang lebih kuat, peningkatan kesadaran akan deepfake, serta kepercayaan pada kemampuan kita sendiri dalam memilah informasi harus menjadi prioritas.

Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa mempercayai apa yang kita lihat, tetapi apakah kita mau mengambil langkah untuk tetap bisa mengenali kebenaran? Sebab, di dunia di mana realitas bisa diciptakan ulang, kebenaran tidak lagi datang dengan sendirinya. Kitalah yang harus berjuang untuk menemukannya.

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.