Defisit BPJS kembali menjadi sorotan publik. BPJS diperkirakan akan defisit Rp 16,5 triliun hingga akhir 2018. Banyak faktor penyebab masalah ini, salah satunya adalah jumlah iuran premi yang harus dibayarkan lebih rendah dari ideal. Akibatnya, biaya pelayanan kesehatan yang disediakan BPJS lebih besar dari jumlah iuran yang diterima.
Pemerintah tidak tinggal diam merespon masalah tersebut. Di antaranya adalah penggelontoran dana bailout sebesar Rp 4,9 triliun untuk menambal defisit. Meski belum bisa menutup defisit secara keseluruhan, namun upaya ini mencerminkan tanggung jawab negara dalam menjalankan amanat konstitusi untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat.
Kebijakan lainnya yaitu penetapan pajak rokok untuk BPJS. Hal ini diatur dalam Perpres No. 82/ 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang menggantikan tiga PP sebelumnya. Ada klausul khusus yang membedakan Perpres No. 82/ 2018 dengan Perpres sebelumnya. Pasal 99 menyebutkan “Pemerintah Daerah wajib mendukung penyelenggaraan program jaminan kesehatan”.
Ada empat bentuk dukungan yang wajib dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendukung program jaminan kesehatan, yaitu: 1) peningkatan kepesertaan BPJS di wilayahnya, 2) melakukan pembayaran iuran peserta BPJS secara patuh, 3) meningkatkan pelayanan kesehatan, dan 4) dukungan lainnya. Dukungan lainnya, sebagaimana diatur dalam Perpres adalah, kontribusi pemerintah daerah untuk BPJS melalui pajak rokok. Besaran kontribusi pajak rokok ditetapkan sebesar 75 persen dari 50 persen atau ekuivalen dengan 37,5 persen realisasi pajak rokok yang diterima daerah. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang harus disediakan pemerintah daerah, secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 53/ 2017.
Pajak rokok merupakan jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi. Tarif pajak rokok adalah 10 persen dari cukai rokok yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Cukai rokok dibedakan berdasarkan jenis rokok itu sendiri. Pajak rokok dikenakan kepada perusahaan rokok, dipungut oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC), dan disetorkan ke Rekening Umum Kas Daerah (RKUD) oleh Direktur Pendapatan dan Kapasitas Keuangan Daerah (DPKKD) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan. Secara proporsional, pajak rokok dibagi menjadi 30 persen untuk pemerintah provinsi, dan 70 persen untuk pemerintah kabupaten/ kota.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 128/ 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan, pemerintah kabupaten/ kota diharuskan untuk membuat berita acara kesepakatan dengan BPJS daerah masing-masing. Berita acara kesepakatan akan dikompilasi oleh Pemerintah Provinsi dan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat setiap tanggal 31 maret. Berita acara kesepakatan menjadi acuan transfer pajak rokok dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Apabila dalam berita acara kesepakatan tersebut ditetapkan 37,5 persen pajak rokok untuk BPJS, Kemenkeu akan mentransfer seluruh pajak rokok ke pemerintah daerah dan tidak memotong pajak rokok. Namun jika ditetapkan kurang dari 37,5 persen, Kemenkeu akan memotong selisih kurangnya.
Dalam hal pemerintah daerah tidak menyetorkan berita acara, maka Kemenkeu hanya akan transfer pajak rokok ke daerah setelah dipotong kontribusi untuk BPJS. Kontribusi pajak rokok akan ditransfer langsung ke rekening BPJS. Masalah yang mungkin muncul di sini adalah jika berita acara kesepakatan sudah menetapkan 37,5% dan Pemda tidak menyetorkannya ke rekening BPJS. Diperlukan pengawasan untuk memastikan transfer dana untuk program JKN benar-benar dilaksanakan.
Seiring dengan akan diberlakukannya ketentuan kontribusi pajak rokok untuk BPJS, sejumlah pemerintah daerah mulai khawatir dengan dampak implementasi kebijakan tersebut.
Hasil analisis pendapatan daerah menunjukan bahwa kontribusi pajak rokok terhadap total pendapatan daerah sejak 2016 hingga 2018 secara rata-rata sebesar 4,5 persen. Prov. Lampung adalah daerah yang memiliki rasio kontribusi pajak rokok terhadap pendapatan yang paling besar selama tiga tahun terakhir ini, yaitu 10 persen, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah sebesar 8,2 persen dan Provinsi Jawa Timur sebesar 9,2 persen.
Berdasarkan simulasi dan analisis pendapatan daerah, kontribusi pajak rokok untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional tidak memiliki dampak signifikan terhadap keuangan daerah.
Ada dua alasan. Pertama, kontribusi terbesar pendapatan daerah masih berasal dari dana transfer yang berada pada kisaran 60 sampai 80 persen. Kedua, hasil simulasi data anggaran daerah selama kurun waktu 2016-2018 menunjukan bahwa pemotongan pajak rokok untuk BPJS akan mengurangi 1,7 persen total pendapatan daerah.
Keberadaan Perpres 82/ 2018 ini tentu akan mendorong komitmen politik anggaran pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Karena menurut UU 23/ 2014, kesehatan merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah yang artinya pemerintah daerah berkewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Tantangannya adalah, pemerintah daerah belum memenuhi pengalokasikan anggaran kesehatan 10 persen dari APBD sebagaimana dimandatkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan.
Perpres 82/ 2018 pada akhirnya telah melembagakan sebuah tanggung jawab bersama yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.