Jumat, Maret 29, 2024

Simulakra dalam Narasi FPI Versus Polisi

Ghozian Aulia Pradhana
Ghozian Aulia Pradhana
Ph.D student in Media and Communication Studies, University of Malaya

Teknologi media baru menjadi kekuatan yang berpotensi mengaburkan realitas. Twitter sebagai salah satu media digital yang paling bertanggung jawab. Sebab, ia membenamkan setiap orang dalam realitasnya sendiri.

Pertarungan terus menerus demi merebut atensi publik dengan menciptakan realitas-realitas baru versi sendiri. Kita terjebak dalam luapan informasi dan konten yang dikurasi berdasarkan algoritma twitter.

Fakta menjadi hal yang semakin diperdebatkan, terutama status dan fungsinya dalam politik. Media baru berperan besar menyuburkan praktik pasca-kebenaran yang seringkali dianggap sebagai fakta alternatif.

Dalam kasus penembakan terhadap 6 orang laskar FPI (Front Pembela Islam) pada Desember 2020, terdapat kontroversi dan kontradiksi kasus yang melibatkan perang narasi serta emosi publik khususnya di twitter. Tulisan ini ingin memeriksa sejauh mana kebenaran obyektif menjadi dasar kita tidak terjebak dalam distopia informasi FPI VS Polisi.

Menurut Ismail Fahmi (2020), peneliti sekaligus founder Drone Emprit, sejak kasus penembakan 6 anggota FPI oleh Polisi, mulai muncul dan meningkat sebesar 55,836 percakapan dengan kata kunci penembakan, ditembak, di twitter pada 7 Desember 2020.

http://pers.droneemprit.id

Selanjutnya terbentuk sentimen kubu yang pro dan kontra atas kejadian tersebut. Ada kalangan yang tidak setuju dengan penembakan dan sebagian yang mendukung penembakan 6 anggota FPI oleh Polisi. Lebih lanjut, Fahmi menegaskan, meski tidak semua menyukai FPI, mereka juga tidak menyetujui penembakan tersebut.

http://pers.droneemprit.id
http://pers.droneemprit.id

Data menunjukan gejala ini muncul sebagai respon warganet terhadap isu tersebut. Namun, yang tidak disadari adalah, adanya dominasi informasi pasca-kebenaran alih-alih fakta sebenarnya. Ini disebabkan, twitter yang mengubah cara kita terlibat dengan masalah sosial dan politik, serta bagaimana realitas baru itu sendiri diciptakan dan dipertahankan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Tempo terhadap perkembangan informasi hingga 10 Desember 2020, masih terdapat kontradiksi dan kontroversi kedua belah pihak. Baik Polisi dan FPI memiliki versi sendiri untuk menjelaskan fakta mana yang menjadi kebenaran sesungguhnya.

Polisi mengklaim tindakan mereka sebagai upaya membela diri dari serangan senjata tajam dan senjata api anggota FPI. Sementara FPI mengatakan, anggotanya diculik dan dieksekusi oleh Polisi. Keduanya memiliki kronologis dan versi masing-masing, yang mendorong terbentuknya ruang simulakra pasca-kebenaran di media sosial.

Bagaimana Twitter Berperan Membentuk Simulakra?

Twitter, sekian lama telah menjadi sebuah simulakrum yang berbahaya. Gambaran realitas kabur bertebaran di dalamnya. Konten yang kita konsumsi termasuk narasi, percakapan, dan perang hashtag, mudah disalahartikan sebagai dunia nyata.

Sebagai contoh peristiwa demo 212 ketika Pemilihan Gubernur Jakarta beberapa tahun lalu, erat kaitannya dengan politik identitas. Politik identitas sendiri adalah realitas yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena pasca-kebenaran.

Secara umum, terdapat bias terhadap proses dan efek berbasis kognitif, sehingga isu-isu diproduksi dan reproduksi menjadi keyakinan kuat bagi pengguna media sosial. Celakanya, proses reproduksi pesan itu melibatkan dan berfokus pada emosi dan afeksi seseorang.

Berbeda dengan fakta, pasca-fakta atau pasca-kebenaran rentan akan hoaks dan seringkali memicu emosi sosial. Sebagai bukti, Fahmi (2020) juga memaparkan adanya ekspresi kesedihan yang mendominasi percakapan tentang penembakan oleh tokoh publik dan masyarakat di twitter.

http://pers.droneemprit.id

Di sisi lain, perasaan gembira atas kematian 6 anggota FPI ini ternyata juga mendominasi percakapan di twitter (Fahmi, 2020). Kontradiksi ini timbul karena lemahnya proses penalaran kritis yang mengabaikan kebenaran objektif dari perang narasi FPI VS Polisi.

http://pers.droneemprit.id

Kebenaran diserang dan dilecehkan. Menurut Haryatmoko (2020), pasca-kebenaran dapat membuat seseorang mengalami delusi, sehingga percaya bahwa sesuatu itu benar meski masih perlu dipertanyakan kebenaranya.

Respon emosional ini menjadi perhatian khusus dalam konteks media baru. Di mana setiap kebenaran bias direproduksi menjadi kebenaran lainnya dalam jaringan digital. Twitter dianggap memiliki karakter media yang mampu menciptakan proses ini. Percakapan, keywords, dan hashtag bergerak cepat menimbulkan sentimen-sentimen negatif dan positif secara bersamaan.

Haryatmoko, pengajar filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menjelaskan, ada tiga situasi orang meyakini pasca-kebenaran. Pertama, devaluasi kebenaran berlangsung sebagai dampak dari narasi politisi. Kedua, banyak kelompok atau orang merasa nyaman dengan informasi yang dipilih. Ketiga, media lebih menekankan sensasi sehingga hanya berita spektakuler dan sensasional yang dianggap layak.

Fakta Obyektif VS Keyakinan

Dalam masyarakat media baru, proses signifikansi tidak lagi dijamin oleh suatu metafisika kehadiran atau semacam pemaknaan asli dan otentik. Apa yang kita konsumsi dari media bisa menjadi lebih nyata dari yang seharusnya.

Orang cenderung meyakini informasi miliknya sebagai fakta, meski ia tidak merujuk pada kebenaran apapun, itulah simulakrum. Representasi obyektif atas informasi rill tidak menjadi acuan, karena representasi atau narasi yang berkembang di twitterlah yang diyakini sebagai fakta itu sendiri.

Setiap pihak, baik yang mendukung Polisi maupun yang tidak setuju penembakan anggota FPI seolah abai pada fakta obyektif. Mereka cenderung terjebak dalam emosi dan keyakinan yang dibangun oleh narasi. Meskipun kebenaran narasi yang diyakini tidak didukung oleh bukti, misalnya rekaman CCTV di jalan tol, kesaksian yang bertanggung jawab, atau pembuktian lebih lanjut.

Keyakinan beroperasi menyerupai fakta, bertentangan dengan cara pengujian hipotesis rasional. FPI bisa saja mengklaim pihaknya benar-benar dieksekusi oleh Polisi, begitu juga sebaliknya, selama itu hanya digaungkan di media sosial.

Emosi empatik yang ditimbulkan twitter terlihat pada anggapan bahwa anggota FPI yang ditembak, mati dalam keadaan syahid. Begitu juga sebaliknya, Polisi yang diduga melakukan extra judicial killing bak pahlawan sedang memerangi radikalisme.

Kita kesulitan memverifikasi informasi dan hanya percaya apa yang kita yakini. Kita cenderung mencocokan pola-pola informasi yang kita pilih secara tidak sadar. Akan lebih sulit jika seseorang telah memiliki opini politik atau ideologi tertentu dalam mencari kebenaran obyektif.

Media sosial seperti twitter mudah membanjiri kesadaran kita dengan informasi dan konten sebanyak mungkin, sampai pada akhirnya mendistorsi persepsi kita tentang realitas. Oleh sebab itu, desakan untuk melakukan investigasi independen dan sederet solusi lain bertugas menerangkan kembali kebenaran.

Paling utama adalah menumbuhkan kesadaran kritis. Dengan begitu, kita akan mendahulukan untuk memverifikasi informasi, menelaah, hingga bersikap skeptis untuk bertanya “mengapa” ketimbang “bagaimana” realitas itu terjadi.

Referensi:

Fahmi, I. (2020). Analisis Insiden Penembakan 6 Anggota FPI oleh Polisi di Jalan Tol. Drone Emprit: Software for media monitoring and analytics. Available at http://pers.droneemprit.id.

Haryatmoko. (2020). Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan, Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif. PT Gramedia Pustaka Utama.

Ghozian Aulia Pradhana
Ghozian Aulia Pradhana
Ph.D student in Media and Communication Studies, University of Malaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.