Di Indonesia dalam beberapa hari ini marak terjadi penyerangan oknum yang tidak bertanggung jawab pada wilayah agama dan kepolisian. Agama merupakan simbol kolektif dari identitas yang mengutamakan sebuah doktrin spiritualitas. Sedangkan kepolisian merupakan instansi yang mengutanamakan keamanan masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dua lembaga yang memiliki peran sentral dalam masyarakat ini dalam beberapa waktu yang lalu di serang, tanggal 28 maret 2021 terjadi pengeboman di Gereja Katedral Makassar- Sulawesi Selatan. Pelaku yang melakukan bom bunuh diri, tersebut meledakan bom beserta tubuhnya pada wilayah Gereja saat peribadatan sedang berlangsung. Berselang dua hari tepat 31 Maret 2021 beredar video live dari stasiun metro tv, terjadi aksi penyerangan oleh dua orang di mabes Polri. Pelaku yang seorang wanita muda menggunakan aksi penodongan pistol, alhasil kedua pelaku berhasil di hentikan.
Aprillani Arsyad dalam artikel ilmiahnya mengatakan Fenomena gerakan terorisme di Indonesia tidak terlepas dari hadirnya kelompok-kelompok radikal dalam Islam yang merasakan ketidakadilan terhadap umat Islam oleh barat terutama Amerika dan sekutu-sekutunya baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Dominasi barat terhadap negara-negara Islam dirasakan sebagai upaya untuk melemahkan kekuatan Islam secara menyeluruh. Secara politis tindakan terorisme pada dasarnya lebih disebabkan oleh ketidakadilan, imperialisme, dan kolonialisme yang telah lama terjadi dan terus bercokol dalam dunia Islam.
Oleh karena itu, secara teoritis dapat dikatakan selama ketimpangan-ketimpangan dan pelanggaran HAM masih terjadi reaksi yang berupa terorisme akan tetap bermunculan. Maka, perlu adanya upaya yang bersifat terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan dari berbagai elemen dan bangsa-bangsa di dunia atas dasar persamaan atau kesetaraan (humanisasi)(Arsyad, 2010). Berdasarkan hal inilah bagi penulis, perlu dilihat kembali bahwa negara Indonesia begitu plural, masyarakat yang berbeda dalam ideologi agama telah di satukan dalam Pancasila “Ketuhanan yang masa Esa”.
Terorisme di Indonesia seyoginya tidak memiliki dasar yang kuat ketika melancarkan penyerangan agama lain di Indonesia bila belandaskan pada ciri keindonesiaan kita. Sebab semua agama mengajarkan pada kebaikan, toleransi umat beragama menjadi prioritas bangsa. Penulis melihat penggunaan simbol identitas agama telah menjadi tradisi bagi terorisme dalam melakukan aksi teror.
Ketika bicara tentang doktrin yang berakibat kepada tindakan bom bunuh diri, maka ini bagian dari tindakan yang kaku dalam pandangan weber biasanya kebiasaan ini tertanam pada suatu kelompok yang mengkristalisasi ideologinya. Pengeboman gereja di Makasar menunjukan bahwa pemaknaan simbol agama yang keliru oleh para teroris, mengapa demikian?
Sebab dapat di simpulkan bahwa stigma gereja selama ini di anggap sebagai simbol identitas agama barat. Padahal gereja di Indonesia merupakan kumpulan orang Kristen yang hidup di negera kesatuan republik Indonesia. gereja di Indonesia hadir dengan wajah keindonesiaan yang mengutamakan kemanusiaan,
Penulis melihat bahwa budaya transmisi yang radikal di pihak para teroris mampu memecah belah kesatuan agama-agama di Indonesia. sehingga perlu adanya kesadaran kolektif yang mengutamakan sprit keindonesiaan kita. Masing-masing agama perlu mewujudkan eksistensi demi memberantas terorisme, dan tidak terhasut akibat ulah kelompok radikal yang mendisintegrasi seluruh masyarakat di Indonesia.
Pada konteks Maluku Islam-Kristen bekerja sama membangun rumah ibadah mereka. Temuan penelitian penulis di Maluku pada tahun 1970 perbaikan gedung gereja di negeri Wassu dan pada tahun 1980 pemasangan tiang kabah masjid Ukhuwah Negeri Haya. Berikutnya pertemuan ini terjadi pada 9 Desember 2009, dalam acara perayaan 100 tahun penginjilan masuk di negeri Hatu, pembangunan gedung masjid di negeri Haya pada tahun 2010 acara pelantikan raja Samalehu (gelar: Latu Haya) dan pada tahun 2016 kembali diadakan pelantikan raja di negeri Haya dan pada 19 oktober 2019, pelantikan raja negeri Wassu yang menghadirkan ketiga Pela Gandong Haya, Hatu dan Tehua (Salakory, 2020).
Kepelbagian di Maluku tidak di batasi oleh sebuah simbol doktrinisasi yang kaku, sebaliknya mereka saling menerima dan membantu satu sama lain. Hal ini menunjukan bahwa agama di Indonesia masih menghidupkan nilai solidaritas. Kata Gus Dur “Dari sudut agama, saya ingin mengingatkan, agar ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu”. Agama di Indonesia sebaiknya jangan terlalu terpenjara dalam simbol agama, baik Islam-Kristen hal tersebut akan menjadi boomerang bagi keharmonisan kita.