Jumat, April 19, 2024

Sexy Killers: Wajah Bisnis dan HAM di Indonesia

Muhammad Alfy Pratama
Muhammad Alfy Pratama
Konsultan Hukum Binsis dan HAM

Sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum pada tanggal 17 April 2019 silam, publik dihebohkan oleh sebuah film dokumenter berjudul ‘Sexy Killers’ yang diproduksi oleh WatchDoc.

Sexy Killers mengungkap fakta tentang dampak buruk Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh perusahaan dibidang penambangan Batu Bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Tentunya film ini merupakan sebuah karya komprehensif yang mampu mengungkap beberapa cerita kelam di balik aktifitas perusahaan yang ada di Indonesia yang selama ini jauh dari pemberitaan.

Permasalahan tentang dampak buruk HAM perusahaan telah menjadi perhatian serius Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan oleh karena itu pada tahun 2011 Dewan HAM PBB mengesahkan sebuah dokumen blueprint yaitu Prinsip-Prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) atau United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGPs).

Pemerintah Indonesia turut mendukung keberadaan UNGPs dengan menyusun Panduan Nasional tentang bisnis dan HAM yang diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi seluruh pemangku kepentingan.

Selain itu pada tanggal 16 Juni 2017 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) bersama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RANHAM) tentang Bisnis dan HAM. Dokumen RANHAM tersebut merupakan sebuah langkah positif dari KOMNAS HAM untuk menyusun strategi kebijakan dalam rangka melindungi HAM dari dampak buruk perusahaan.

UNGPs secara langsung mengatur tentang tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM yang terikat bagi seluruh perusahaan, baik perusahaan swasta, BUMN, BUMD, dan UMKM serta menuntut perusahaan untuk dapat mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menjelaskan bagaimana cara mereka mengatasi dampak HAM melalui langkah-langkah efektif dengan melakukan Uji Tuntas Hak Asasi Manusia/ Human Rights Due Diligence.

Prinsip 15 UNGPs menyatakan bahwa “untuk memenuhi tanggung jawab menghormati HAM, perusahaan bisnis harus memiliki kebijakan dan proses yang sesuai dengan ukuran dan keadaan mereka, termasuk melakukan proses uji tuntas HAM untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menjelaskan bagaimana mengatasi dampaknya terhadap hak asasi manusia”.

Apa Itu Uji Tuntas HAM?

Uji tuntas HAM adalah tentang proses yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menjelaskan bagaimana cara mereka utuk mengatasi dampak buruk terhadap HAM. Setidaknya terdapat beberapa hal mendasar yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam uji tuntas HAM yaitu :

Pertama; perusahaan melakukan identifikasi dampak aktual dan potensial untuk menilai dampak HAM yang akan terjadi melalui penyelidikan terhadap kegiatan operasional perusahaan, baik sebelum dan sesudah kegiatan, serta meninjau aspek hubungan bisnis seperti tentang penggunaan tenaga kerja, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham hingga ke afiliasi, subkontraktor, dan pemasok untuk memperkirakan, mengevaluasi.

Mengukur tingkat kemungkinan dan keparahan potensi dampak HAM yang akan terjadi. Dalam hal perusahaan juga harus melibatkan konsultasi efektif dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terkena dampak HAM dan para pemangku kepentingan terkait lainnya.

Kedua; hasil penilaian yang dilakukan harus dirumuskan, diintegrasikan dan diimplementasikan baik untuk mencegah, mengurangi atau merubah kebijakan yang berpotensi atau telah berdampak buruk pada HAM. Misalnya temuan dalam konteks tenaga kerja dan operasional maka menjadi tanggung jawab Departemen Sumber Daya Manusia dan Departemen Operasional untuk mengambil tindakan.

Ketiga; membuat kebijakan pemulihan yang efektif, salah satunya dengan cara menyediakan mekanisme pengaduan internal bagi mereka yang berpotensi terkena dampak HAM.

Keempat; memberikan informasi hasil uji tuntas HAM yang telah dilakukan kepada pemangku kepentingan termasuk kepada publik tentang penilaian dan cara perusahaan mengatasi risiko dampak buruk HAM.

Kelima: melakukan pelacakan dan pemantauan untuk menentukan apakah uji tuntas HAM telah dilaksanakan secara optimal serta mengukur efektifitas penerapan kebijakan HAM apakah telah mampu untuk merespons dampak HAM. Karena penghormatan HAM tidak hanya sebatas uji tuntas tapi harus dilakukan secara berkelanjutan dan efektif.

Tantangan Indonesia Kedepan

Indonesia berada pada fase penting untuk efektivitas pelaksanaan UNGPs dan sudah seharusnya menjadi isu yang mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Mewajibkan perusahaan untuk melaksanaan Uji tuntas HAM harus menjadi agenda prioritas menyusul maraknya kasus-kasus dampak buruk HAM yang terjadi, sebab berdasarkan laporan tahun 2017 yang dirilis oleh KOMNAS HAM terdapat 2.136 berkas pengaduan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang beberapa diantaranya disebabkan karena aktifitas perusahaan seperti; konfik lahan, sengketa ketenagakerjaan, penggusuran rumah tinggal dan pedagang, hak atas kesehatan, serta buruh migran.

Negara sebagai subyek utama hukum HAM internasional memiliki kewajiban untuk menjabarkan lebih jelas bahwa perusahaan akan menghormati HAM dengan mengambil langkah-langkah yang efektif.

Secara khusus, Negara harus menggunakan instrumen hukum nasional untuk mengatur beberapa hal diantaranya: (i) mewajibkan perusahaan untuk melakukan uji tuntas HAM dan melaporkan keefektifannya secara periodik; (ii) menerapkan sanksi baik pidana/ perdata serta administrasi kepada perusahaan yang tidak melakukan uji tuntas HAM.

(iii) Mengintegrasikan bukti/ dokumen uji tuntas HAM ke dalam persyaratan pengadaan barang dan jasa, persetujuan izin dan lisensi, dan syarat investasi atau bantuan Pemerintah; (iv) memastikan tugas Direksi perusahaan untuk menghormati HAM; dan (v) menegaskan eksistensi keberadaan Konsultan Hukum Binsis dan HAM sebagai profesi khusus yang memiliki kompetensi untuk membantu perusahaan melakukan uji tuntas HAM.

Negara harus mengambil langkah legislasi tersebut, karena setiap dampak buruk HAM yang dilakukan oleh perusahaan sama halnya dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara.

Sehingga perdebatan tentang apakah UNGPs mengikat secara hukum (legally binding) sudah tidak relevan, karena dengan diratifikasinya Kovenan Internasional tentang HAM oleh Indonesia saja sudah cukup untuk menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban hukum untuk memastikan tidak adanya dampak buruk HAM yang dilakukan oleh perusahaan.

Muhammad Alfy Pratama
Muhammad Alfy Pratama
Konsultan Hukum Binsis dan HAM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.