Indonesia, negara yang dikenal sebagai paru-paru dunia, dengan segala keragaman hayatinya dan sumber daya alam yang melimpah. Keberadaan 17% jumlah spesies dunia yang ada di Indonesia menunjukkan kita Negara dengan tingkat Biodiversity yang tinggi. Hal ini tentu karena dukungan ekosistem dengan sumber daya alam yang melimpah.
Letak Indonesia (khususnya pulau Borneo) yang dilintasi oleh garis khatulistiwa, berada di antara dua benua dan dua samudra juga menunjang untuk keberagaman keanekaragaman hayati dan non hayati. Gambaran seperti itu kita dapatkan dimulai dari mata pelajaran di sekolah dasar baik dikaji dari ilmu sosial ataupun ilmu alam.
Tak ayal kita sebagai generasi penerus bangsa berbangga dan bersyukur lahir dan besar di bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi. Begitu suburnya tanah di negara ini, bahkan disajikan dalam sebuah bait dalam lirik lagu kolam susu……”Orang bilang tanah kita tanah surge, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”….
Sumber daya alam (hayati dan non hayati) ini yang menjadi Indonesia sebagai incaran para negara berpaham imperial dan kolonial untuk dijajah dan dijarah. 75 tahun berselang setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Indonesia kini bukan lagi negara jajahan negara manapun, melainkan negara yang merdeka karena keinginan luhur dan Rahmat dr Allah swt. Namun, tangis bumi pertiwi tak hanya berhenti saat proklamator Indonesia mengumandangkan proklamasi.
Kini Indonesia terhenyak kembali dengan film dokumenter bagaimana paru-paru dunia ini hampir tak lagi menyumbangkan oksigennya untuk dunia. Kita bisa lihat dari hampir separuh wilayah provinsi Kalimantan Timur yang habis digunakan untuk membuka lahan batu bara. (Perbandingan luas wilayah Kalimantan Timur dengan luas area pertambangan yaitu 129.067 km²: 70.000 km²).
Andika Manager Penggalangan Dukungan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) mengatakan, jumlah penduduk Kaltim sebanyak 3.908.737 jiwa. “Jadi, penguasaan lahan tambang itu jika dipersentasekan berdasarkan UU No 5 Pokok Agraria tahun 1960 tentang hak kepemilikan atas tanah, dua hektar bagi tiap warga.
Maka, rasionya setiap jiwa di Kaltim kehilangan setengah hektar cadangan pemukiman dan usaha-usaha tani mereka (diakses di www.mongabay.co.id). Film dokumenter “Sexy Killer“, membuat kita yang hidup di luar pulau Kalimantan menjadi terhenyak melihat kondisi bumi yang dikeruk habis habisan dan menyebabkan rusaknya ekosistem dan mempengaruhi pada spesies yang hidup di dalamnya.
Ada banyak alasan bagaimana pemanfaatan batu bara yaitu, digunakan dalam pembangkitan listrik (PLTU), sebagai sumber panas dan membantu dalam produksi batu bata dan semen, serta dapat menghasilkan kokas yang membantu dalam pemrosesan logam dan industry baja (http://www.geoservices.co.id/penggunaan-batubara/). Alasan penggunaan batu bara untuk kepentingan rakyat adalah alasan utama yang sering didengungkan kenapa batu bara di pulau Borneo dan di pulau-pulau lain harus diambil. Tapi adakah alasan lain???.
Pemerhati lingkungan pasti tak diam melihat fenomena ini. Bagaimana ekosistem rusak dan rakyat menjerit karena kekurangan air bersih. Ini tentu bukan masalah sepele. Karena air merupakan sumber kehidupan.
Sebagian warga yang terkena dampak langsung ini harus berjalan berkilo meter untuk sekedar menemukan air bersih untuk diminum. Jika pemerintah melakukan tugasnya untuk bisa mengatasi persoalan ini, lantas apakah kita sebagai rakyat pribumi yang mencintai Indonesia jiwa raga hanya akan pasrah dan diam diri menunggu tangan pemerintah saja? Tentu tidak, banyak hal yang bisa kita lakukan bahkan ketika kita ada d luar pulau Borneo sekalipun.
Sexy killer menjadi cermin untuk kita bahwa tanpa kita sadari kita menjadi pembunuh ekosistem kita sendiri, kita menggunakan listrik dalam kehidupan sehari hari. Berdasarkan data Kementerian ESDM, konsumsi listrik Indonesia tahun 2017 mencapai 1.012 Kilowatt per Hour (KWH)/kapita.
Jika fenomena yang ditampilkan di sexy killer ini dianggap sebagai kejadian yang sakit, tentu ada obatnya. Maka sudah waktunya kita dengan penuh kesadaran untuk menjadi sexy healer. Salah satunya adalah kita mulai menanam pohon. Dalam klasifikasi makhluk hidup, Kingdom Plantae dengan 3 divisinya (Briophyta, Pteridophyta dan Spermatophyta) yang melakukan reaksi fotosintesis dengan salah satu produk akhir berupa gas oksigen dan memfiksasi gas karbondioksida.
Kegiatan menanam pohon bukan hanya sekedar niatan untuk mendapatkan batang kayu atau buah dari pohon tersebut, tetapi untuk sedekah oksigen (O2), mengurangi pemanasan global dengan menyerap gas karbondioksida (CO2), penyerapan air (H2O) dalam tanah, rumah/habitat bagi beberapa hewan, mencegah erosi, dan lain sebagainya.
Selain itu, hal yang bias kita lakukan adalah menghemat listrik, ini tentu bukan sekedar hemat untuk menekan biaya listrik yang harus dikeluarkan. Tak jadi masalah bagi sebagian rakyat Indonesia yang berada pada ekonomi menengah ke atas.
Saat kita menggunakan listrik tak pada tempatnya, ingatlah bahwa ada bagian bumi Indonesia yang menangis. Ini bukan antara kita dengan PLN atau kita dengan pemerintah, tetapi ini antara kita dengan alam, ini antara kita dengan Tuhan kita bagaimana kita mempertanggungjawabkan segala hal yang telah kita lakukan di dunia ini. Kita memiliki keyakiman bahwa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Mari kita akhiri kesewenang wenagan kita dalam bertindak pada diri sendiri, pada orang lain, pada sekitar, dan pada bumi kita Indonesia. Mari menjadi sexy healer kawan…ini adalah salah satu cara kita dalam ikut berpartisipasi save earth.