Mengingat UUD 1945, pasal 29 pada ayat:
- Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.
Hari ini saya dibuat bingung oleh sebuah judul sebuah surat kabar elektronik terpampang judul besar, “Ma’ruf Amin: Tahun 2019, Seluruh Produk Wajib Bersertifikat Halal”.
Pada Tempo.co tanggal 17 Oktober 2017, terdapat berita dengan judul, “Pelindo IV Kembangkan Pelabuhan Halal di Ambon”. Sebagai warga negara Indonesia, saya bingung oleh tulisan ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepala saya.
Apa arti halal? Halal menurut agama apa? Bagaimana membuat standarisasi halal? Siapa yang membuat rujukannya? Rujukan berdasarkan kandungan fisik atau berdasarkan rujukan moral?
Saya mencoba mencari tahu arti tentang halal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti halal adalah 1. diizinkan (tidak dilarang oleh syarak); 2. (yang diperoleh atau diperbuat dengan) sah; 3. izin; ampun.
Dalam Wikipedia, saya menemukan tulisan arti halal adalah ‘diperbolehkan’, segala objek atau kegiatan yang diizinkan untuk digunakan atau dilaksanakan, dalam agama Islam. Istilah ini menunjuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut Islam, menurut jenis makanan dan cara memperolehnya.
Pasangan halal adalah thayyib yang berarti ‘baik’. Suatu makanan dan minuman tidak hanya halal, tetapi harus thayyib; layak dikonsumsi, bermanfaat atau tidak bagi kesehatan.
Menurut yang saya tahu. halal adalah larangan memakan babi, anjing, bangkai dan darah bagi umat islam. Tetapi sapi, kambing dan ayam dibolehkan. Berarti memakan sapi, kambing dan ayam adalah halal, sedangkan memakan daging babi, anjing, bangkai dan darah adalah haram.
Sebagian agama hindu melarang umatnya memakan daging sapi. Tetapi memakan daging babi tidak dilarang. Berarti babi dan anjing halal, sedangkan sapi haram.
Aliran agama Advent Hari Ke Tujuh melarang memakan daging babi, sapi, ikan, binatang berkaki dua (ayam dan bebek), ular, katak, cacing dan burung, bahkan tidak minum kopi dan teh. Berarti di penganut agama Advent Hari Ke Tujuh ada banyak haram.
Jika ada perbedaan halal dan haram pada agama satu terhadap yang lain, maka akan ada “halal Islam”, “halal kristen”, “halal hindu”, “halal Advent”, “halal Kejawen” dan halal-halal lainnya.
Bila sertifikat halal diberlakukan, apakah ini menurut rujukan kandungan fisik atau menurut moral.
Bila sertifikat halal diberlakukan merujuk zat yang terkandung didalamya, maka sebelum memberi cap halal harus dilakukan uji laboratorium untuk memastikan ada atau tidaknya zat “haram” dalam produk makanan. Maka perlu dibangun laboratorium uji di seluruh Indonesia, agar sertifikat halal bisa diberlakukan sama. Ada laboratorium “halal Islam”, “halal kristen”, “halal hindu”, “halal Advent”, “halal Kejawen” dan halal-halal lainnya.
Negara Indonesia memberikan kebebasan pada warganegara untuk memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing. Selain agama Islam, agama kristen, hindu, budha, kong hu cu, kejawen, sunda wiwitan, kaharingan, juga agama-agama peninggalan nenek moyang kita juga diakui sebagai bagian unutk hidup dan menetap menjadi bagian dari bumi Indonesia.
Hingga kini Republik Indonesia masih memberlakukan UUD 1945. Walaupun UUD 1945 telah direvisi pada tahun 2002, tetapi soal “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing” masih berlaku dan tidak berubah. Berarti negara tidak bisa membatasi hukum publik pada salah satu hukum agama.
Saya berfikir, agaknya tidak adil bila negara menerbitkan aturan umum hanya pada salah satu agama, sehingga pemberlakuannya tidak menyeluruh.
Lembaga yang akan memiliki hak memberi stempel “halal” tentu akan menjadi kekuatan dagang yang berujung pada hitung berhitung uang.
Apa pula yang dimaksud dengan Pelabuhan Halal? Apakah pelabuhan yang dibangun tanpa menggunakan minyak babi? atau pelabuhan yang dibangun dengan uang halal. Lalu, siapa yang menilai? Polisi, jaksa, KPK, atau ahli agama. Siapa, pak?
Saya membayangkan, seorang ibu rumah tangga yang ingin membuat usaha kecil-kecilan dengan biaya minim, Membuat rempeyek goreng, misalnya. Lalu dia ingin menitipkan di warung-warung sekitarnya untuk menambah pendapatan. Lalu, ibu warung akan punya alasan menolak titipan bila tanpa label halal.
Akhirnya, bila ibu itu mau mencoba meminta sertifikasi halal, dia mesti mengajukan permohonan sertifikat halal lembaga itu. Lalu, gratis kah? Saya kok gak yakin ini bakal gratis, tis, tis. Kertas bayar, tinta bayar, ongkos bolak-balik bayar. Akhirnya rempeyek yang harusnya cuma berharga seribu rupiah, harus dijual dengan harga dua kali lipat.
Waduh, di negeri ini kok mau jualan rempeyek aja, susahnya kayak begini. Bau-bau agama pada akhirnya jadi alat hitung-hitung komoditi. Bagian mana pada agama yang bisa dijadikan koridor moral, kalo semua selalu jadi nilai komoditi.