Minggu, Juli 6, 2025

Serial Reacher dan Maskulinitas Dominan: Representasi Laki-Laki

Syayif Izzuddin
Syayif Izzuddin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
- Advertisement -

Kalau kamu sudah nonton serial Reacher, kamu pasti tahu siapa itu Jack Reacher, dia: tinggi, besar, cuek, ngomong seperlunya, tapi satu lawan enam dia bisa menang. Bukan seorang superhero, bukan juga polisi, tapi dia adalah mantan mayor di Angkatan Darat AS. Yang tentunya memiliki mental yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Dia adalah “laki-laki ideal” versi banyak orang, apalagi dalam dunia yang makin nggak jelas ini.

Tapi kalau kita kulik pakai kacamata Cultural Studies, Terutama dari teori Stuart Hall, ada pertanyaan menarik: kenapa karakter seperti Jack reacher bisa dianggap ideal? Apa yang sebenarnya sedang di representasikan di balik tokoh laki-laki dingin dan penuh otot ini?

 

Menurut Hall, identitas itu bukan sesuatu yang tetap dan alami, tetapi dibentuk oleh representasi media dan budaya. Artinya, ketika media berkali-kali menampilkan satu tipe laki-laki seperti Jack Reacher, kuat, pendiam, mandiri, dan sanggup menyelesaikan masalah tanpa bantuan dari orang lain, maka itulah yang perlahan dianggap “laki-laki sejati”.

Masalahnya, gambaran seperti ini menyisihkan banyak identitas lainnya. Laki-laki yang sensitif dan penuh empati malah dianggap “kurang maskulin”. identitas laki-laki direduksi jadi satu bentuk: toxic hero yang nggak boleh nangis, nggak boleh ragu, dan harus bisa memukul apa saja yang menghalangi jalan mereka.

Dalam serial Reacher, maskulinitas bukan cuma soal fisik, tetapi juga soal bagaimana kekuatan dihubungkan dengan moral. Jack Reacher selalu “benar”. Dia melakukan kekerasan, tapi demi keadilan. Ini menciptakan narasi bahwa ketika kamu pantas dianggap “laki-laki”, kamu bisa menentukan sendiri mana hal yang benar dan salah.

Dari sini, kita bisa lihat bagaimana media dalam serial Reacher membentuk identitas dan peran gender dengan sangat sempit. Perempuan hanya muncul sebagai pendukung (detektif, kekasih, atau korban), sementara Reacher dalah satu-satunya yang bisa menegakkan kebenaran dan keadilan. ini memperkuat struktur patriarki di film, walaupun dikemas sebagai hiburan.

 

Kenapa karakter kayak Jack Reacher laku banget? Karena banyak laki-laki saat ini mengalami krisis identitas. Di tengah tuntutan zaman yang makin kompleks, harus emosional tapi juga tegas, harus kuat tapi juga bisa mendengarkan, banyak yang justru kembali mencari jati diri seperti Reacher.

Media kemudian mengeksploitasi itu. Alih-alih membongkar stereotip, media justru memperkuat representasi seperti Reacher sebagai solusi. Padaha seperti kata Hall, representasi bukan cuma soal menampilkan, tapi juga soal kuasa untuk menentukan makna.

- Advertisement -

Kalau dilihat dari luar, Reacher terlihat seperti pahlawan yang melawan sistem. Dia berhadapan dengan polisi korup dan mafia. Dia bukan bagian dari negara, tapi bisa membawa keadilan. Sekilas ini kayak kritik terhadap kekuasaan formal.

Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, Reacher masih beroprasi dalam kerangka ideologi dominan, ia menolak hukum formal, tapi solusi yang dia bawa tetap patriarkal: kekuatan fisik, otoritas individu, dan maskulinitas tradisional. Dia bukan pengganti sistem, dia cuma wajah lain dari kekuasaan itu, yang kali ini dibungkus dengan otot dan moral pribadi.

 

Praktik budaya dalam serial ini merefleksikan kekecewaan publik terhadap negara dan sistem hukum, namun pada saat yang sama mempertahankan ideologi lama tentang siapa yang layak jadi penyelamat: laki laki kuat, tegas, dan berani bertindak sendiri.

Reacher memberikan ilusi bahwa solusi datang dari satu figur, laki-laki yang bertindak atas nama kebenaran, bukan dari perubahan struktural atau kolektif. Plot cerita seperti ini membuat penonton puas secara emosional, tetapi secara ideoligis tetap sama, sistem boleh sama, tetapi simbol maskulinitas harus tetap diunggulkan.

Serial Reacher memang menyenangkan untuk ditonton. Tetapi sebagai produk budaya populer, dia juga membentuk cara kita memahami maskulinitas, kekuasaan dan keadilan. Kalau kita cuma konsumsi tokoh yang seperti Jack Reacher terus menerus, lama-lama kita percaya bahwa laki-laki ideal ya harus seperti itu, keras, pendiam, dan berani mengambil resiko.

Kita perlu mendorong narasi media yang lebih beragam, yang tidak hanya menampilkan maskulinitas. Representasi alternatif yang lebih inklusif bisa menjadi langkah awal untuk membayangkan perubahan sosial yang lebih adil. Misalnya, tokoh laki-laki yang menunjukkan empati, bekerja dalam tim, bisa mengakui kelemahan, atau bahkan berbagai peran setara dengan perempuan, tanpa harus kehilangan makna “kuat”.

Syayif Izzuddin
Syayif Izzuddin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.