Sebagai salah satu period drama yang tayang di Netflix, serial Anne With Anne E garapan seorang sutradara perempuan Moira-Walley Beckett haruslah menjadi tontonan wajib untuk melihat penggambaran kehidupan sosial berikut dengan pergerakan sosial pada akhir abad 19.
Merupakan adaptasi dengan berbagai penyesuaian dari karya klasik Anne of Green Gables (1908) karangan Lucy Maud Montgomery, Anne With An E mampu menghadirkan suasana klasik namun segar melalui pengolahan jalan cerita dan penggambaran latar serta karakter. Sehingga walaupun produksinya dibatalkan oleh Netflix pada tahun 2019 di musim ketiga, serial ini tetap masih patut diperhitungkan.
Pada dasarnya, berbagai isu sosial diangkat dalam serial ini. Antara lain kesetaraan dan bias gender, representasi, standar kecantikan, hak-hak dasar seperti pendidikan dan akses kesehatan, isu pengadopsian anak, rasisme, sejarah pribumi, kekerasan seksual, penyensoran media, hingga klasisme. Berbagai isu tersebut terbalut dalam kisah kehidupan masyarakat di Avonlea, kota fiktif terpencil yang berada di Prince Edward, Kanada. Walaupun mengcover berbagai isu sosial, cerita yang dihadirkan tetap dinamis dan menghibur.
Satu aspek yang menarik untuk dibicarakan adalah isu-isu gender yang diangkat dalam period drama tersebut. Konsepsi mengenai feminisme memang belum dikenal oleh masyarakat pedesaan akhir abad 19 masa itu, namun masalah-masalah ketimpangan gender dan kesadaran akan hal tersebut sudah mulai nampak dalam dinamika masyarakat yang tergambar dalam serial Anne With An E.
Walaupun begitu, perlu diketahui bahwa tingkat progresifitas yang ditampakkan dalam dinamika sosial memang masih sangat minim, sehingga misoginisme yang kental terlihat jelas dalam penggambaran awal tentang keadaan masyarakat.
Satu hal yang menjadi keprihatinan adalah bagaimana garis besar dari diskriminasi gender yang dapat dilihat di dalam serial Anne With An E, sebagian besar masih valid dan dialami oleh Perempuan abad 21 di hari ini. Sehingga isu yang dialami oleh perempuan abad 19, digambarkan dalam sebuah serial yang dimulai pada tahun 2017, masih dapat menjadi diskusi aktual di tahun 2022. Beberapa bahasan diskriminatif yang biasa kita dengar di kedua konteks, zaman yang direpresentasikan Anne With An E dan masa kini adalah sebagai berikut:
“Mengapa Pak X tidak berani kasar kepada istrinya yang menyusahkan dia, harus mengantar-antar”
“Mengapa anak perempuan saja disekolahkan tinggi-tinggi”
“Ibu Y terus-terusan bekerja, sampai tidak dikaruniai momongan untuk menjadikannya perempuan sejati”
“Ibu Z sudah bertahun-tahun berumah tangga mengapa tak kunjung hamil”
“Si W sudah tidak perawan, dia bukan anak baik-baik”
dan pendapat-pendapat misoginis lain, yang tak jarang bahkan diungkapkan oleh sesama perempuan.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana perempuan yang hidup dalam tekanan, marjinalisasi, dan subordinasi berkelanjutan menumbuhkan perempuan-perempuan yang berfikir bahwa dominasi laki-laki merupakan hal yang bisa dijastifikasi. Perempuan-perempuan tersebut hidup dalam perundungan serta tidak memiliki kesempatan dan ruang untuk mengembangkan pikirannya. Mereka tidak berkesempatan melawan dan bahkan berada dalam kesadaran palsu atas kehidupan yang mendoktrinasi pikiran mereka mengenai posisinya sebagai perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Konstruksi gender di dalam masyarakat pedesaan seratus tahun yang lalu dan kita ketahui melalui penggambaran dalam karya seni rupanya masih dapat ditemui di masa kini. Salah satunya adalah keyakinan bahwa laki-laki merupakan pemegang kontrol dan kendali, hingga berujung pada kondisi dimana apapun yang dilakukannya dalam rumah tangga itu benar.
Tak jarang ayah atau laki-laki sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga menciptakan posisi asimetris dimana mereka memiliki legitimasi untuk melakukan apapun pada keluarganya. Di sisi lain, ada perempuan yang juga berjuang di dalam rumah tangga dengan segala urusan domestik dan tumbuh kembang anak yang tak kalah beratnya.
Di sisi lain lagi ada perempuan yang memiliki keinginan di dalam dirinya untuk mencari nafkah namun tidak memiliki kesempatan karena berbagai urusan rumah tangga dan domestik adalah tugasnya seluruhnya, tanpa terkecuali termasuk membuatkan secangkir kopi. Namun apakah perempuan diapresiasi dengan cara yang sama dalam kehidupan sosial? Tentu tidak. Hal yang lebih parah lagi, masih banyak kasus di mana perempuan tidak memiliki kesempatan mengenyam edukasi dan mengejar karir.
Keadaan lain yang masih dominan mengenai misoginisme adalah mendesak perempuan saja untuk berusaha mendapatkan momongan, ketika sudah menjadi pengetahuan umum bahwa embrio terbentuk akibat pertemuan sel sperma dan sel telur.
Perempuan banyak dituntut menjadi pihak yang bertanggung jawab atas keturunan, yang pada faktanya potensi ketidaksuburan dapat datang juga dari laki-laki. Belum lagi narasi bahwa keutuhan perempuan dilihat dari selaput daranya, bahkan dengan tega menyebut perempuan sudah ‘rusak’ dan ‘dirusak’ oleh laki-laki. Sedangkan kata ‘rusak’ banyak digunakan untuk menyebut suatu keadaan pada barang, dan apabila disematkan kepada perempuan, konotasinya menjadi sangat negatif seolah perempuan adalah barang rentan, objek tak berdaya.
Seratus tahun yang lalu orang-orang sudah mengenal pergerakan demi perubahan. Dibuktikan dengan berbagai karya sastra yang berusaha memproliferasi independensi perempuan dan penuntutan kesempatan yang sama bagi perempuan, seperti novel klasik Jane Eyre karya Charlotte Bronte.
Seratus tahun yang lalu perjuangan menghapuskan posisi yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak sudah terpikirkan. Bagaimana konsepsi feminisme dirumuskan oleh Mary Wolfstonecraft yang diikuti dengan berbagai pergerakan. Namun hari ini, sangat sangat jauh dari waktu itu, keadaan masih relevan, dan sepertinya perjuangan yang harus ditempuh masih panjang.