“Konsumen adalah raja.”
Prinsip ini sepertinya sudah terlalu jauh meracuni manusia. Sebab acapkali, jargon itu bak tameng yang sangat sangat keras, kokoh, lagi susah ditembus. Ia menjelma menjadi alat perlindungan beberapa orang untuk dengan nyaman bertingkah menyebalkan bahkan semena-mena terhadap yang lain.
Tanpa rasa bersalah membuang sampah sembarangan? “Tenang, nanti ‘budak’ saya yang mungut!”
Tak merasa berdosa memaki pelayan restoran gara-gara dianggap tidak ramah? “Panggil bos kamu! Biar dia tahu kesalahanmu dan kamu dipecat!”
Dan macam-macam contoh lainnya yang menunjukkan perilaku konsumen seperti raja, tepatnya raja yang lalim.
Tiada yang lebih menderita karena prinsip beracun ini, selain para pekerja yang tugasnya bersinggungan langsung dengan konsumen atau masyarakat luas. Mereka ini beragam sekali jenisnya dan tak terbatas pada pelayan restoran, perawat, sales, pramugari/a, front office hotel, teller bank, driver, ataupun petugas customer service maupun call center saja.
Pekerja-pekerja yang tersebut di atas nyatanya tidak hanya menawarkan tenaga dan pikirannya untuk ditukar dengan pemasukan; emosi pun termasuk dalam “paket” barter mereka.
Mereka-mereka itu adalah pelaku kerja emosional (emotional labor).
Seperti diejawantahkan oleh Arlie Hochschild dalam The Managed Heart: Commercialization of Human Feeling (1983), pelaku kerja emosional diharuskan membatasi emosi-emosi yang mereka rasakan agar tetap muncul suatu citra yang telah dikehendaki dan ditetapkan sebelumnya untuk ditampilkan ke publik. Emosi yang “dikunci” umumnya hanya perasaan bahagia dan suka cita, sehingga mereka terlihat mampu “melayani dengan sepenuh hati” dan “tanpa beban dalam melakukannya”.
Namun, mereka juga manusia biasa – yang membuat kerja emosional ini hadir dengan risikonya sendiri. Satu yang kiranya tak banyak disangka berbahaya adalah sindrom smile mask.
Psikiater asal Jepang, Dr. Makoto Natsume, berhipotesis bahwa senyum yang dipaksakan selama berjam-jam kepada pekerja industri jasa di negaranya ternyata merupakan sumber bahaya. Pasalnya, alih-alih mengekspresikan ragam emosinya seperti kesal, sedih, dan emosi negatif lainnya seperti fitrahnya manusia, para pekerja itu harus menyembunyikannya rapat-rapat lewat senyuman.
Iya, senyuman – salah satu bentuk ibadah dan perwujudan membangun relasi baik antarmanusia itu – ternyata ketika dilakukan dalam intensitas yang tidak wajar dapat menimbulkan cidera pada otot wajah hingga depresi (NYTimes, 6 Maret 2008).
Happiness at work tidak sekadar memaksa karyawan berbahagia
Kini, ketika makin banyak instansi menyadari manfaat atau pentingnya menghadirkan unsur kebahagiaan dalam bekerja, tahapan yang relevan untuk perkembangan selanjutnya adalah untuk menghargai variasi emosi para pekerjanya. Sebab ternyata, emosi yang tidak tersalurkan karena terlalu dominannya ego instansi juga menjadi penyebab ketidakbahagiaan dalam bekerja.
Lantas, bagaimana instansi bisa membantu hal itu? Strateginya sebenarnya bisa diinisiasi secara formal ataupun terjadi secara organik. Yang organik, biasanya berupa “staffs’ time out” atau momen ketika para pekerja dapat berkumpul dan menikmati waktu bersama di dalam maupun luar jam kerja untuk mengekspresikan diri mereka secara lebih bebas. Sayang, tidak semua instansi dan pimpinan bisa mendukung aktivitas ini karena satu-dua hal, misalnya adanya target dan deadline yang harus diselesaikan atau jadwal sif.
Melalui pendekatan humor dan narasi, beberapa waktu lalu tim Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) sempat bereksperimen dengan sebuah instansi pemerintah untuk menginisiasi sebuah acara formal di mana para staf dapat meluapkan emosinya atau bebas berkeluh kesah.
Tentang apa? Tentang apa saja!
Dalam inisiatif top-down ini, kami memang meminta kesediaan sang kepala kantor untuk hadir secara penuh dan berlapang dada dalam mendengar tiap cerita yang muncul. Tak sebatas menyetujui, ia turut menjamin bahwa apa yang disampaikan di forum tersebut tidak akan memengaruhi apa pun, kecuali sebagai sarana menjadikan staf-stafnya manusia yang lebih utuh.
Realitanya, sikap tersebut cukup sukses membuka katup-katup yang selama ini tertutup rapat. Ada yang bercerita tentang tantangan sekaligus pengalaman mirisnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ada juga yang masih diselimuti keraguan soal kebijakan dan situasi intraorganisasi ke depannya. Yang mengkorelasikan pekerjaan dengan hubungan percintaan pribadinya pun ada.
Secara umum, bergesernya karakter perekonomian, dari ekonomi industri ke ekonomi layanan (service economy), menjadikan sumber daya manusia aset terpenting tiap instansi. Kebutuhan akan kerja emosional semakin tak terelakkan bahkan bakal meningkat. Tantangannya pun makin kompleks di kala perekonomian kembang-kempis akibat pandemi saat ini.
Dus, konsep kerja emosional (emotional labor) seharusnya lebih banyak diangkat ke meja diskusi. Setidaknya, para penjaja profesi itu jadi tahu apa yang harus mereka persiapkan dan hadapi.
Di sisi lain, pemimpin instansi serta instansi penyedia lowongan tersebut juga perlu menyadari risiko apa yang bakal dihadapi pekerja mereka – yang ketika tidak diwaspadai atau dimanajemen dengan baik, dapat berimbas pada nama baik instansi itu sendiri. Di masa pandemi ini, memastikan pekerja berada dalam kondisi mental yang prima sama pentingnya dengan sehat secara fisik.
Ngomong-ngomong, konsumen yang masih sewenang-wenang kepada pekerja garda terdepan, terlebih di saat-saat seperti sekarang, sudah pernah dengar cerita-cerita tentang akhir nasib para raja yang buta hati tidak, ya?