Hirup pikuk dalam kehidupan menjadi hukum alam yang mesti dilalui oleh setiap manusia. Beberapa manusia bahkan kelelahan dan depresi dalam menghadapi hal ini. Pada akhirnya, bunuh diri menjadi pilihan mentok atas persoalan yang tak kian selesai.
Menurut laporan Databooks, terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sampai bulan oktober 2023. Fenomena ini menunjukan bahwa sesuatu yang berada diluar kontrol yakni tugas kuliah yang menumpuk, gagal dalam percintaan, keluarga dan teman kerja yang toxic serta pelbagai permasalahan yang tak bisa dihindari mempunyai pengaruh besar atas kebahagiaan seseorang.
Namun, apakah bisa manusia tetap berbahagia, walaupun alam semesta tidak mendukung? Bisa dong, Filsafat Stoa dan Ilmu Tasawuf telah terbukti menjadi obat paling manjur agar manusia bisa berbahagia meski dalam keadaan terpuruk.
Dikotomi Kendali dan Tawakkal
“Some things are up to us, sone things are not up to us” Begitulah bahasa sederhana dari konsep dikotomi kendali menurut Epictetus. Bisa diwimpulkan bahwa di alam ini terdapat 2 hal. Pertama, ada dalam kendali (internal) seperti persepsi, tindakan, keinginan dan sejenisnya. Kedua, ada di luar kendali (eksternal) seperti opini orang lain, kekayaan, keberhasilan, cuaca dan lain-lain. Seringkali manusia tidak bisa bahagia karena menaruh kebahagiaan pada ruang eksternal sehingga kebahagiaan menjadi kupu-kupu yang dikejar terus menerus namun tak akan tergapai. Contoh, ketika terjebak dalam macet lalu marah-marah kepada orang lain. Pertanyaannya, apakah dengan marah-marah macet berhenti dan kita akan berbahagia? Tidak bukan?
Contoh nyata, penulis merupakan mahasiswa yang tumbuh dari keluarga kurang mampu dan mempunyai 4 kakak yang telah bekerja namun tidak bisa membantu pembiayaan untuk kebutuhan pendidikannya.
Namun, karena penulis menyadari bahwa keluarga termasuk ke dalam hal yang tidak bisa dikontrol maka ia pun tidak menyalahkan atau bergantung pada hal tersebut bahkan berputus asa akibat keadaan seperti ini. Penulis memfokuskan dirinya untuk memaksimalkan apa yang ada dalam kontrol nya. Seperti berhemat, bekerja kecil-kecilan dan berfikir yang baik. Sehingga hubungan antara penulis dan keluarga baik-baik saja dengan tidak mempunyai konflik akibat saling menyalahkan.
Qana’ah
Dalam buku Letters from a stoic, Seneca berkata, “Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang ia mau, tetapi ia memiliki kuasa untuk tidak menginginkan apa yang belum dia miliki dan dengan gembira memaksimalkan apa yang telah dia miliki”
Hawa nafsu tidak akan henti-hentinya manghasut manusia untuk mendapatkan sesuatu yang belum tercapai. Kadangkala, Ia menjadi penyabab utama seseorang terjebak dalam kerugian dan kehinaan.
Filsafat Stoa dan Konsep Qana’ah menjadi obat manjur atas permasalahan tersebut. Di zaman ini, motor KLX, HP iPhone dan outfit yang mahal menjadi standarisasi seseorang bisa bahagia. Apakah orang-orang yang tidak mempunyai benda-benda tersebut tidak bisa berbahagia? Bisa bukan?
Seperti Bermain Bola
Epictetus dalam Discourses memberikan analogi menarik mengenai cara menyikapi harta benda, kecantikan, ketenaran dan jabatan. “Kamu lihat para pemain bola yang andal melakukan hal yang mirip (dengan seseorang menyikapi harta benda, kekayaan dan jabatannya). Bukan bolanya yang menjadi berharga bagi mereka, melainkan seberapa mahir mereka melempar dan menangkap bola itu.” Apakah ketika waktu bermain habis, para pemain bola masih memperebutkan bola yang sama? Tidak bukan?
Harta benda, kekayaan dan jabatan, terlalu naif jika dikatakan bukan sebab-sebab manusia bisa berbahagia. Namun bukan berarti ketika tidak mempunyai hal tersebut tidak bisa bahagia. Banyak orang yang sudah mempunyai kekayaan, ketenaran dan jabatan namun masih merasa hidup tidak bahagia. Persoalannya adalah bukan terletak pada harta, ketenaran dan jabatan, melainkan sebarapa mahir kita mensyukuri pemberian tersebut.