Problematika impor garam kian mengemuka setelah pemerintah menetapkan PP No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
Selain untuk melaksanakan amanat UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, PP 9/2018 tersebut untuk melegitimasi penerbitan izin impor komoditas pergaraman sebagai bahan baku dan bahan penolong industri oleh menteri perdagangan pada bulan Januari 2018 lalu (lihat Pasal 7).
Penerbitan PP 9/2018 tidak hanya menimbulkan persoalan ekonomi, mengingat karut marut lonjakan impor garam untuk memenuhi permintaan garam industri dalam negeri pada satu sisi, dan sesak nafasnya produksi garam petani dalam negeri pada sisi yang lain. Secara hukum, penerbitan PP 9/2018 juga menjadi preseden buruk bagi penataan perundang-undangan, serta bagi tata kelola pemerintahan yang baik.
Sebelumnya, 4 Januari 2018 lalu kementerian perdagangan telah menerbitkan izin impor garam industri sebanyak 2,37 juta ton kepada 21 perusahaan (Dirjen Perdagangan Luar Negeri).
Padahal, kementerian kelauatan dan perikanan (KKP) yang berwenang merekomendasikan jumlah impor sebagaimana UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Pasal 37 ayat 3) menyatakan alokasi impor sebesar 2,37 juta ton tersebut melebihi rekomendasi yang dikeluarkan, yakni 2,2 juta ton.
Keputusan menteri perdagangan memang tak dapat sepenuhnya dipersalahkan, lantaran kementerian KKP dalam memberikan rekomendasinya justru setelah izin impor diterbitkan, yakni pada 26 Januari 2018. Aksi 2 (dua) kementerian tersebut tak etis jika di tonton publik, lantaran menunjukkan tidak adanya keterpaduan antar kementerian dalam memutuskan suatu kebijakan yang berdampak luas terhadap nasib masyarakat.
Sengkarut Pemerintahan
Pasca diterbitkannya PP 9/2018, rekomendasi impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman sebagai bahan baku dan bahan penolong industri beralih kepada menteri Kementerian Perindustrian. PP 9/2018 menganulir UU 7/2016 yang memberi kewenangan kepada menteri kelautan dan perikanan untuk merekomendasikan impor komoditas perikanan dan pergaraman.
Kendati demikian, PP 9/2018 justru masih mengatur kewenangan KKP merekomendasikan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman ini (Pasal 3 ayat 1). Menurut sejumlah pemerhati, rekomendasi yang dapat diterbitkan oleh KKP tersebut sebatas untuk impor komoditas perikanan dan pergaraman sebagai bahan rumah tangga (konsumsi), sementara untuk impor sebagai bahan baku dan bahan penolong industri rekomendasi harus dari Kementerian Perindustrian.
Porsi rekomendasi yang diberikan kepada Kementerian Perindustrian juga tak sepenuhnya keliru, lantaran Kementerian Perindustrian bertanggungjawab memfasilitasi persediaan bahan baku dan bahan penolong industri (Pasal 75 UU 3/2014).
Dalam urusan impor pergaraman, kini terdapat 3 (tiga) kementerian yang berwenang mengurusi, yaitu Kementerian Kelautan & Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Permasalahannya, masing-masing kementerian sering kali bersikap tidak padu alias berbeda-beda, karena dipicu oleh sumber data yang berbeda. Kementerian koordinator perekonomian yang kemudian dipertanyakan kinerjanya dalam mengkoordinir 3 (tiga) kementerian dimaksud.
Badan Pusat Statistik (BPS) yang bertugas menyediakan data bagi pemerintah dan masyarakat seharusnya juga turut bertanggungjawab terhadap ketidakpaduan data antar kementerian itu (UU 16/1997).
Evaluasi Struktural
Penerbitan izin impor komoditas pergaraman oleh kementerian perdagangan tidak disertai rekomendasi dari menteri terkait. Bahkan penerbitannya mendahului PP 9/2018 yang diundangkan pada 15 Maret 2018. Tindakan Kemendag tersebut menyalahi UU 7/2016 yang berlaku dan mengharuskan penerbitan izin impor komoditas garam berdasarkan rekomendasi dari menteri KKP (Pasal 37 ayat 3 UU 7/2016).
Selain menyalahi UU 7/2016, tindakan tersebut juga bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum administrasi negara. Asas legalitas menentukan, bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan wajib mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Pasal 5 huruf a UU 30/2014).
Sementara PP 9/2018 yang diterbitkan belakangan justru melegitimasi penerbitan izin impor garam industri oleh Kemendag yang sudah terlebih dahulu dilakukan. Dalam jangka panjang, tindakan ini dapat menjadi preseden buruk, karena tindakan pemerintah yang keliru dapat dengan mudah dilegitimasi dengan peraturan yang lebih tinggi dan muncul belakangan.
Bahkan, PP 9/2018 cenderung memberi kelonggaran terhadap kebijakan impor. Padahal, ketentuan pengendalian impor di arahkan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia, meningkatkan dan memperluas akses pasar di luar negeri, dan meningkatkan kemampuan eksportir dan importir sehingga menjadi pelaku usaha yang andal (Pasal 38 ayat 2 UU 7/2014).
Dalam jangka panjang, longgarnya kebijakan impor ini dapat menimbulkan ketergantungan terhadap luar negeri dan membunuh pelaku usaha dalam negeri. Padahal, pemerintah memiliki kewenangan untuk membatasi impor dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, dan/atau menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan (Pasal 54 ayat 3 UU 7/2014).
Jika kebijakan ini dinilai merugikan kepentingan nasional, PP 9/2018 dapat di uji materi terhadap UU 7/2016, UU 3/2014, dan UU 7/2014 ke Mahkamah Agung (MA), karena sangat potensial bertentangan.
Sementara untuk perizinan yang diterbitkan menteri perdagangan dapat di gugat ke PTUN berdasarkan UU 30/2014, karena ada potensi bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum administrasi negara.
Atas sengkarut impor garam ini, pemerintah harus melakukan evaluasi yang serius terhadap tata kelola pemerintahan terutama di dalam internal kementerian dan meninjau ulang regulasi yang mengatur urusan pengendalian impor ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus melakukan pemeriksaan terhadap kebijakan impor garam yang jumlahnya tidak sedikit ini, mengingat tahun 2013 Indonesia memiliki pengalaman impor daging sapi yang ternyata terbukti ada skandal didalamnya.