Belum lama ini, sambil chat di Whatsup dengan seorang teman yang lagi makan di angkringan, katanya sambil membayangkan suasana Jogja. Keajaiban teknologi memungkinkan kita mengabarkan secara realtime bukan hanya melalui gadget, tapi juga fikiran.
Teman saya adalah contoh bagaimana ia berimajinasi saat sedang makan di angkringan di sekitar Tanjung Priuk, tapi asanya melayang ke Jogja. Di saat yang bersamaan saya membaca sebuah kisah seseorang yang reputasinya biasa-biasa aja, tapi menjadi inspirasi hingga menembus langit.
Begini kisah singkatnya. Alkisah, ada seorang pemuda bermata biru, berambut merah. Pakaiannya hanya dua helai sudah sama kusutnya, yang satu untuk penutup badan dan yang satunya sebagai ganti, tidak ada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.
Ia adalah seorang yang sangat sederhana, polos dan lugu, bahkan ketika ada orang yang memberinya pakaian, ia menerima lalu mengembalikannya dengan mengucapkan: “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, orang-orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Ia telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.
Ia ingin sekali bertemu dengan Rasulullah, namun perjalanan panjangnya hingga kerumah Rasulullah tidak mendapat hasil karena Sang Nabi sedang pergi berperang. Akhirnya ia kembali kerumah, menunaikan janji pada ibunyayang telah uzur untuk merawatnya, serta mengurus ternaknya.
Hingga akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa dirinya dicari oleh seseorang, namun yang pemuda yang mencarinya telah pergi, kembali ke rumahnya untuk merawat ibunya dan mengurus ternaknya. Dengan profetisme yang ada pada dirinya, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa yang mencarinya adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit.
Rasulullah bersabda: “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Seraya memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab dan Rasulullab kembali bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Pembaca yang budiman, pemuda itu bernama Uwais Al Qarni. Pemuda low profil yang tidak dikenal, tapi namanya sudah terukir dilangit, bahkan ketika Ia masih hidup, Subhanallah!
Dalam bahasa kita sekarang keterkenalan itu adalah selebriti, termasyhur karena banyak dikenal orang. Untuk kisah Uwais Al-Qarni yang membedakan adalah medianya. Selebriti pada umumnya terkenal melalui aksinya di televisi atau media massa lainnya ermasuk media online. Uwais Al-Qarni terkenal dilangit, ia menjadi selebriti di atas langit, maka media tak mampu menjangkau ketenarannya.
Entah bid’ah atau tidak ketika saya menggunakan kata selebriti untuk Uwais Al Qarni, tapi kisah itu saya refleksikan dengan ceramah seorang ustadz muda yang minggu belakangan ini mendapatkan serangan berbagai dalil yang gencar tanpa tabayyun, bukan sekedar mengkritik tapi menghujat tausiyyahnya termasuk didalamnya membunuh karakter dengan menelanjangi aib pribadi, mencari-cari kesalahan setiap kata dalam materi dakwahnya, kemudian memviralkan di media sosial sebagai bahan cacian dan olok-olok. Padahal Rasulullah mengajarkan umat nya agar menahan diri dan tidak mengumbar aib orang lain, apalagi sesama muslim.
Di lini masa makin terlihat kelompok-kelompok yang demikian gigih menyerang sang ustadz hanya karena perbedaan pendapat, atau lebih tepatnya ketidaksetujuan penggunaan kata “gaul” dalam berdakwah, hingga muncul meme sarkas mengenai kata “gaul” yang katanya berasal dari bahasa Arab, yang berarti “setan” dengan memaksa mereka menyimpulkan, “ustad gaul artinya ustad setan”.
Ini persis senada dengan postingan pokemon beberapa tahun lalu yang katanya dari bahasa Syiriac yang berarti “aku cinta yahudi” dan semacamnya, entahlah. Faktanya postingan tersebut digemari oleh orang yang sama dan di viralkan oleh orang yang sama, dari kelompok yang sama pula.
Saya perlu mengingatkan diri saya sendiri pada sebuah ungkapan yang kebetulan saya lupa siapa yang mengatakannya. “Ketika kita masih hijau, kita sedang belajar dan bertumbuh. Ketika kita merasa matang, sesungguhnya kita sudah mulai busuk”
Maka, untuk bercahaya lebih terang, tak perlu memadamkan cahaya orang lain. Sesungguhnya secercah cahaya lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah, biarkan Allah yg menilai dan memberikan ganjaran. Sedangkan kewajiban kita adalah terus belajar dan beribadah dalam proses hidup. Dan tentu saja saling mengingatkan dan berwasiat tentang kebaikan. Ingat, Islam mendidik setiap pemeluknya untuk berahlak luhur.