Senin, Juli 14, 2025

Sektor Agribisnis Jadi Solusi dalam Penyedia Bahan Rendah Karbon

Ridwan Maulana
Ridwan Maulana
Nama saya Ridwan Maulana, Saya merupakan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) Jurusan Agribisnis
- Advertisement -

Krisis iklim saat ini bukan hanya sekadar masalah lingkungan—ini adalah seruan untuk merombak cara hidup, proses produksi, dan penggunaan sumber daya secara menyeluruh. Pernyataan seperti, “Krisis iklim bukan hanya tantangan lingkungan, tetapi juga kesempatan untuk mendefinisikan kembali cara kita menghasilkan dan menggunakan sumber daya,” menunjukkan pentingnya masalah ini serta kesempatan besar yang ada di depan kita.

Berdasarkan data dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), suhu bumi telah meningkat sekitar 1,1°C sejak era pra-industri, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampaknya. Perubahan pola cuaca, naiknya permukaan laut, dan meningkatnya frekuensi bencana alam menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon harus segera diwujudkan.

Di Indonesia, sebagai negara yang terpengaruh oleh tekanan global untuk menurunkan emisi karbon dan beralih ke sumber energi terbarukan, kita menghadapi dilema signifikan. Di satu sisi, sangat penting bagi kita untuk menjaga ketahanan pangan dan energi. Di sisi lainnya, kita harus menghadapi tantangan untuk melindungi lingkungan.

Langkah-langkah seperti peningkatan lahan pertanian dan pemanfaatan lahan hutan cadangan untuk berbagai tanaman energi dan makanan menimbulkan kekhawatiran terkait deforestasi serta dampaknya terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal. Bahkan menurut data KLHK tahun 2022, laju deforestasi Indonesia mencapai lebih dari 100.000 hektar per tahun, di mana sebagian besar terjadi karena alih fungsi lahan menjadi area pertanian atau perkebunan energi.

Namun, di balik semua tantangan ini, Indonesia yang agraris memiliki potensi yang belum dimanfaatkan sepenuhnya: sektor agribisnis. Jika dikelola dengan baik, sektor ini dapat menjadi sumber utama bahan karbon terbarukan yang ramah lingkungan. Agribisnis tidak hanya sebatas produksi pangan, tetapi juga melibatkan seluruh rantai nilai mulai dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga pemasaran produk pertanian. Ketika berbicara tentang peralihan ke energi rendah karbon, agribisnis memiliki peran penting sebagai penyedia bahan baku alternatif yang berasal dari limbah pertanian.

FAO mencatat pada 2023 bahwa dunia memproduksi lebih dari 3,5 miliar ton limbah biomassa pertanian setiap tahunnya—sekitar 20 persen di antaranya mempunyai potensi untuk diubah menjadi energi terbarukan dan bahan karbon aktif. Di Indonesia, Balitbangtan menginformasikan bahwa potensi limbah biomassa dari komoditas seperti padi, sawit, jagung, dan tebu dapat mencapai lebih dari 146 juta ton setiap tahunnya. Sayangnya, pemanfaatan limbah tersebut masih belum optimal. Sebagian besar limbah hanya dibakar di lahan terbuka, yang justru menambah emisi gas rumah kaca.

Salah satu metode yang efektif untuk memanfaatkan limbah pertanian adalah dengan mengolahnya menjadi biochar, biofuel, dan biogas. Biochar merupakan karbon padat yang dihasilkan melalui proses pirolisis, yaitu pembakaran biomassa tanpa oksigen. Biochar terbukti dapat meningkatkan kesuburan tanah, menahan kelembaban, dan bahkan menyerap logam berat. Di industri, biochar bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku penyaring air, media tanam hidroponik, hingga sebagai bahan bakar alternatif yang lebih bersih.

Contoh konkret pemanfaatan ini dapat dilihat di Sumatera Utara, di mana kelompok tani yang dibina oleh LIPI berhasil mengubah tandan kosong kelapa sawit menjadi biochar berkualitas tinggi. Produk ini kemudian dijual ke sektor industri pengolahan air sebagai bahan penyerap logam berat. Kegiatan ini tidak hanya menciptakan nilai tambah, tetapi juga mengurangi jumlah limbah dan membuka lapangan kerja baru di desa.

Selain biochar, pengembangan biofuel dari kelapa sawit dan jarak pagar juga menunjukkan potensi besar. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menargetkan penerapan campuran biodiesel B40 secara nasional pada tahun 2025. Jika berhasil, program ini diperkirakan mampu mengurangi emisi CO2 hingga 40 juta ton per tahun. Selain itu, pemanfaatan bioetanol dari singkong dan tebu juga sedang dikembangkan untuk mendukung kebutuhan energi transportasi di masa depan.

Namun, perjalanan menuju pemanfaatan agribisnis rendah karbon masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Pertama, teknologi pengolahan limbah yang canggih dan efisien masih belum dapat diakses secara merata, terutama oleh petani kecil. Banyak dari mereka yang belum memiliki peralatan, keterampilan, ataupun pengetahuan untuk mengolah limbah menjadi produk bernilai tambah.

- Advertisement -

Kedua, pemahaman masyarakat terhadap potensi ekonomi biomassa masih sangat terbatas. Ketiga, insentif dan dukungan fiskal dari pemerintah untuk mendukung pengolahan limbah belum menjangkau hingga tingkat akar rumput. Keempat, belum adanya integrasi kebijakan agribisnis dan energi terbarukan secara sistematis membuat sektor ini belum menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional.

Melihat berbagai fakta dan data tersebut, sangat penting untuk mengubah cara pandang kita terhadap sektor agribisnis. Sektor ini tidak hanya berfungsi sebagai tulang punggung pangan nasional, tetapi juga dapat menjadi ujung tombak dalam peralihan menuju pembangunan berkelanjutan. Dengan pemanfaatan limbah pertanian secara optimal, Indonesia dapat meminimalisir ketergantungan terhadap energi fosil dan menekan laju emisi karbon.

Untuk itu, diperlukan beberapa langkah nyata yang dapat segera diimplementasikan. Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk alat pengolahan limbah, seperti tungku pirolisis dan reaktor biogas skala kecil, agar bisa dimiliki oleh kelompok tani. Selain itu, diperlukan juga skema pembelian karbon secara langsung dari petani yang berhasil menghasilkan biochar atau produk rendah karbon lainnya. Skema ini tidak hanya akan memberikan pemasukan tambahan bagi petani, tetapi juga mendorong adopsi praktik pertanian berkelanjutan.

Lembaga riset dan perguruan tinggi juga harus aktif mendistribusikan inovasi teknologi ramah lingkungan kepada masyarakat desa dan pelaku agribisnis lokal. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan swasta perlu dibangun untuk mengembangkan pusat-pusat inovasi agrikultur yang berkelanjutan. Di sisi lain, masyarakat, khususnya petani, harus dilibatkan dalam pendidikan dan pelatihan mengenai teknik pengolahan biomassa, manfaat lingkungan dari biochar, serta potensi ekonominya di pasar domestik maupun global.

Ketika ketiga pihak—pemerintah, akademisi, dan masyarakat—bekerja bersama, maka cita-cita menjadikan sektor agribisnis sebagai solusi utama penyediaan bahan rendah karbon bukanlah angan-angan belaka. Indonesia dapat menjadi pelopor dalam menerapkan prinsip ekonomi sirkular berbasis pertanian, yang tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga menurunkan emisi secara signifikan. Transformasi ini tidak hanya akan menjawab tantangan iklim global, tetapi juga membawa dampak ekonomi langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat pedesaan di seluruh nusantara.

Ridwan Maulana
Ridwan Maulana
Nama saya Ridwan Maulana, Saya merupakan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) Jurusan Agribisnis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.