Dalam konteks modern, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem politik terbaik. Mengutip buku Demokrasi Politik dalam Paradoks yang ditulis oleh Budiarto Danujaya yang diterbitkan oleh Gramedia (2012), sebuah riset pada tahun 1996 yang terdapat dalam Inoguchi, Takashi, et al (ed), The Changing Nature of Democracy, Tokyo: United Nations University Press (1998) menunjukan bahwa terdapat 100 negara yang memadai untuk disebut sebagai negara demokrasi.
Untuk itu, bisa dipastikan jika di era sekarang, hanya tinggal beberapa negara saja yang tidak menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya.
Fakta tersebut, seolah menunjukan jika demokrasi bahkan menjadi tolak ukur keadaban dan semacam legitimasi dalam pergaulan global. Akan tetapi, sejarah memberitahu kepada kita bahwa tidak semua negara bisa memiliki suatu pondasi yang kokoh dalam kehidupan politik demokratis. Pondasi yang tidak kokoh tersebut dapat mengakibatkan demokrasi terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Dengan kata lain, demokrasi yang dianggap sebagai sistem politik terbaik pun tidak menjadi sebuah jaminan akan membawa kepada kehidupan politik yang sukses dan berkeadaban.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua ptofesor dari Harvard University, membuat buku menarik tentang bagaimana demokrasi itu mati dengan mendasarkan analisisnya dalam perspektif historis. Kedua profesor tersebut, menulis buku How Democracies Die yang diterbitkan Baror International (2018), kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Bagaimana Demokrasi Mati yang diterbitkan oleh Gramedia (2019).
Dalam buku yang ditulis oleh kedua profesor tersebut, dijelaskan bagaimana demokrasi di berbagai negara mati dengan cara-cara militeristik, demokrasi mati di tangan orang-orang yang memegang senjata, hal itu seperti terjadi di Chili pada 1973, dan selama perang dingin, terjadi di beberapa negara lainnya, seperti Brazil, Ghana, dan sebagainya.
Akan tetapi, Ziblat dan Levitsky menggambarkan kepada kita, bahwa demokrasi mati, tidak hanya dengan cara-cara seperti itu. Ada kalanya, demokrasi mati justru dimulai dengan cara-cara yang demokratis. Hal itu seperti yang terjadi di Jerman sesudah kebakaran Reichstag pada 1933, saat Hitler yang sebelumnya terpilih dengan melalui mekanisme yang demokratis, akhirnya membubarkan demokrasi.
Bukan hanya itu, menurut kedua profesor tersebut, yang lebih sering lagi justru saat demokrasi tergerus pelan-pelan, dalam langkah-langkah yang nyaris tidak kasat mata. Hal itu seperti yang terjadi di Venezuela dengan tokoh Chavez yang terpilih sebagai presiden pada 1998, dan dibanyak negara lainnya, seperti Hungaria, Nikaragua dan sebagainya. Dengan kata lain, kemunduran atau bahkan kehancuran demokrasi, justru dimulai dari kotak suara.
Untuk menghindari kehancuran demokrasi yang dimulai dari kotak suara tersebut, salah satu yang ditawarkan oleh Ziblatt dan Levitsky adalah mengidentifikasi calon-calon yang maju dalam kontestasi politik.
Berdasarkan kasus-kasus di banyak negara yang lembaga-lembaga demokrasinya sudah dibajak, atau dengan kata lain demokrasinya sudah mengalami kemerosotan atau kehancuran di tangan pemimpin terpilih. Sebelumnya, para pemimpin ini banyak melakukan kampanye dengan cara-cara populis.
Artinya, melakukan konfrontasi yang tajam dalam ruang publik, menganggap liyan, dalam hal ini pesaing politik sebagai musuh, selalu mengkampanyekan ketidakpercayaannya pada lembaga-lembaga yang berwenang, mengatakan negara tengah berada dalam ancaman kehancuran karena elite-elite yang korup dan mereka (tokoh populis ini) adalah pihak yang akan menyelamatkan negara, dan cara-cara populis lainnya.
Refleksi untuk Keberlangsungan Demokrasi di Indonesia
Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati yang ditulis oleh Ziblatt dan Levitsky, mereka mengemukakan kekhawatiran terhadap keberlangsungan demokrasi di Amerika Serikat. Bagaimana tokoh populis seperti Donald Trump, yang bahkan tidak memiliki rekam jejak sebagai pejabat publik yang mentereng, namun bisa menduduki kursi presiden AS. Terlebih lagi, pada awal-awal kepemimpinan Trump saja, Trump sudah dianggap banyak melakukan pelanggaran terhadap norma publik.
Patut menjadi refleksi untuk kita bersama, jika di Amerika saja yang demokrasinya sudah sangat mapan, memiliki kelas menengah yang kuat dan pendidikan masyarakatnya yang baik, namun bisa digoyah oleh seorang populis seperti Trump, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sudah barang tentu kita perlu belajar dari pengalaman di banyak negara yang demokrasinya sudah mengalami kemerosatan bahkan keruntuhan yang bahkan kekacauan tersebut bermula dari mekanisme demokratis, sebagai warga negara, yang bisa kita lakukan adalah mengidentifikasi calon pemimpin dengan gaya populis serta mempraktikan demagogi, karena di tangan pemimpin-pemimpin terpilih seperti itulah demokrasi di banyak negara mengalami keruntuhan.
Selain itu, kita pun mesti mendorong partai politik untuk bisa menjaga “pintu gerbangnya” agar tidak dimasuki oleh para demagog ataupun tokoh populis, atau dari partai politiknya itu sendiri agar tidak tergiur untuk menarik tokoh-tokoh populis untuk mendongrak kepentingan elektoral semata.
Partai politik aupun elite politik di sini perlu juga untuk menahan diri, dengan tidak menganggap pesaing politik sebagai musuh. Bagaimanapun demokrasi seharusnya dipandang bukan hanya sebagai prosedural belaka, namun harus melihat subtasnsi etisnya juga.
Kita sebagai masyarakat, semestinya mau belajar juga dari pengalaman Pemilu 2019 agar tidak mudah terpolarisasi. Tentu saja polarisasi yang tajam dapat membahayakan kehidupan demokrasi karena bisa menghasilkan sebuah turbulensi politik.