Rabu, April 24, 2024

Sejarah Sebatas Pengakuan yang Belum Tentu Benar

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.

Sejarah, kata orang-orang, adalah pergulatan melawan lupa. Sebuah pergulatan yang hampir setiap orang akan mengalaminya, sebab setiap saat, setiap dari kita akan senantiasa disuguhkan ingatan yang baru.

Yang lama, baik peristiwa, momentum, kesan dan pelaku, umumnya akan tenggelam dan terlupakan. Dengan demikian, sejarah adalah ingatan yang harus dirawat, dikonstruksi ulang, ditafsir dan tentu saja dituliskan kembali.

Hanya saja, apakah mungkin sebuah sejarah bisa dituliskan dengan sama persis sesuai keadaan yang saat itu terjadi? Pertanyaan tersebut sebetulnya tidak perlu dijawab sebab setiap orang pasti akan mengemukakan jawaban yang tidak sama, seandainya kebetulan jawabannya sama, hampir pasti berpijak dari alasan yang berbeda. Dari sinilah sejarah hampir serupa dengan prediksi dengan pendekatan sekaligus penafsiran dari berbagai kepingan terkait sejarah itu sendiri.

Membaca dan mendengarkan sebuah sejarah tidak jauh beda dengan membaca serta mendengarkan penafsiran-penafsiran. Sejarah adalah kejadian masa lampau yang hanya mungkin dilihat kembali dengan menyatukan kembali kepingan-kepingan peninggalan dan catatan yang tentu sangat sarat subjektivitas.

Ketika sejarah itu didengar dari pelaku sejarah tersebut, tidak ada juga yang bisa memastikan apakah yang dikatakan oleh pelaku sejarah itu adalah sebuah kebenaran atau bukan. Bisa jadi pelaku sejarah itu lupa dalam beberapa bagian peristiwa. Dari lupa itu akhirnya terbangunlah sesuatu yang tidak utuh. Tidak menutup kemungkinan pula dari lupa akhirnya muncul sesuatu yang diada-adakan, dikurangi atau juga dilebih-lebihkan.

Karena itu, sejarah sejatinya tidak mungkin mampu menghadirkan keutuhan. Ada begitu banyak bias yang mungkin muncul. Ada banyak peristiwa —kecil-besar— yang sangat mungkin hilang dari catatan dan ingatan.

Ada celah juga di mana kepingan-kepingan yang terlupakan itu ditambal dengan kepingan yang diada-adakan. Perbedaan versi sejarah dalam suatu peristiwa yang sama menjadi sebuah kewajaran yang akan selalu ditemukan sekaligus menimbulkan perdebatan.

Tidak perlu jauh-jauh sampai ke negeri orang untuk membuktikannya. Di negeri ini saja, sejarah kelam G-30S PKI memiliki banyak versi. Setiap menjelang peringatan persitiwa kelam itu, perdebatan terkait mana versi yang benar selalu bermunculan dan tidak pernah menemukan titik temu menjadi sebuah kebenaran mutlak.

Begitu juga tentang Kejahatan HAM pada kerusuhan Mei 1998 yang beberapa kurun terakhir makin gencar dimunculkan dan dikait-kaitkan dengan percaturan Pemilihan Presiden. Hingga detik ini, masih banyak versi terkait rusuh Mei 1998 yang tidak kunjung berakhir itu.

Kalau kita mau jujur, contoh perbedaan versi sejarah kerusuhan Mei 1998 hampir pasti juga akan kembali terulang puluhan tahun ke depan, saat anak-cucu kita berbicara terkait rusuh 21-22 Mei 2019 yang menewaskan 9 orang. Bukankah saat ini saja, rusuh 21-22 Mei 2019 memiliki banyak versi?

Sejarah sebagai sebuah pengakuan

Meminjam kata-kata Goenawan Mohamad dalam “Origami” yang dimuat dalam majalah Tempo, 16 Agustus 2012 : seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang.

Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan. Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah.

Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.

Apa yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad tersebut secara tidak langsung ingin memberikan pengertian bahwa sejarah mengandung sebuah pengakuan tentang sebuah ingatan yang pada dasarnya tidak bisa dibentuk dengan utuh.

Sebuah sejarah hanya diakui kebenarannya karena adanya pengakuan yang belum tentu benar adanya. Dari pengakuan itulah pada akhirnya sebuah sejarah diyakini kebenarannya. Seperti halnya zaman Soeharto yang selalu memutar film G-30SPKI. Pemutaran film itu pada dasarnya menjadi sebuah jalan mendapatkan pengakuan atas kebenaran versi sejarah yang coba dibentuk kembali menjadi sebuah film.

Meskipun begitu, toh pada akhirnya tidak sedikit orang yang mempertanyakan kebenaran versi sejarah PKI dalam film tersebut. Begitulah makna sejarah sebagai sebuah pengakuan bukan sebagai kebenaran absolut. Mencoba membentuk sejarah dalam wujud tulisan maupun visual menjadi sebuah kebenaran absolut adalah hal yang mustahil.

Hal tersebut karena masa lalu adalah sesuatu yang tidak lagi bisa dibentuk sebab sudah terlipat mati. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.

Gambar Ilustrasi: sarpoosh.com

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.