Di tengah pandemi covid 19 (New Normal), bersepeda dianggap aman oleh sebagian masyarakat dalam berkendara sekaligus berolahraga. Tapi harus hati-hati bagi para pemula jangan memaksakan, beberapa sumber mengatakan bisa kena serangan jantung.
Hampir semua pusat kebugaran atau fasilitas olahraga masih ditutup sehingga kini banyak orang memilih bersepeda sebagai alternatif aktivitas fisik. Selain membuat tubuh bugar, juga membuat ke luar rumah mengurangi rasa bosan dan suntuk.
Pemerintah di Jerman misalnya, merespons fenomena positif ini dengan membuat jalur sepeda ‘dadakan’ atau pop-up bike lane. Sebuah tren baru berkelanjutan yang lahir akibat pandemi dan bisa menjaga praktik social distancing (Kompas.Com).
Tak kalah juga di Tambun Kab Bekasi. Beberapa masyarakat sudah mulai rutinitas menggunakan sepeda. Dari arah Perumahan Grand Wisata setiap pagi, pada hari Sabtu-Minggu puluhan pesepeda sedang mengoes. Mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua.
Baru-baru ini, dilansir situs web Serikat Pesepeda Internasional (UCI), pada 14 Mei lalu, Ramboll Smart Mobility menyelenggarakan sebuah webinar yang mana kota Berlin, Badan Transportasi Selandia Baru dan DG Move Eropa akan membagi pada otoritas publik dalam berbagai level yang berbeda agar dapat menerapkan jalur sepeda (Kompas.com).
Maraknya bersepeda, membuat sepeda bekas saya terpaksa terjual. Para pembeli sepeda sedang ramai di musim pandemi ini, walaupun sudah New Normal sekalipun. Bahkan sepeda saya langsung terjual karena banyak yang nawar. Awalnya sepeda tersebut saya gunakan olahraga setiap pagi.
Sejarah Sepeda
Di Indonesia sendiri, popularitas sepeda dikenalkan pertama kali dimasa kolonial Belanda. Orang Belanda membawa sepeda buatan Eropa sebagai alat transportasi saat melakukan penjajahan di Indonesia (polygonbikes.com).
Pekan Olahraga Nasional ke-2 tahun 1951, balap sepeda menjadi cabang olahraga resmi yang diperlombakan. Kemudian beberapa daerah membentuk komunitas-komunitas untuk perkumpulan balap sepeda, dan akhirnya berdiri Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) pada tanggal 20 Mei 1956 di Semarang.
Siapa sebenarnya yang menemukan sepeda ? Seperti ditulis Ensiklopedia Columbia, nenek moyang sepeda diperkirakan berasal dari Prancis. Menurut sejarah, negeri itu sudah sejak abad ke-18 mengenal alat transportasi roda dua yang dinamai velocipede. Bertahun-tahun, velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk hasil rancang bangun kendaraan dua roda (id.wikipedia.org).
Seorang dari Jerman bernama Baron Karls Drais von Sauerbronn yang pantas dicatat sebagai salah seorang penyempurna velocipede. Tahun 1818, von Sauerbronn membuat alat transportasi roda dua untuk menunjang efisiensi kerjanya. ( Republika.co.id )
Masyarakat menjuluki ciptaan sang Baron sebagai dandy horse. Nah si Baron ini kemudian mendaftarkan penemuannya ini ke kantor paten. Sehingga banyak orang menganggap bahwa Baron-lah yang menemukan model sepeda modern.
Pada 1839, Kirkpatrick MacMillan, pandai besi kelahiran Skotlandia, membuatkan pedal khusus untuk sepeda. Tentu bukan mesin seperti yang dimiliki sepeda motor, tapi lebih mirip pendorong yang diaktifkan engkol, lewat gerakan turun-naik kaki mengayuh pedal. MacMillan pun sudah “berani” menghubungkan engkol tadi dengan tongkat kemudi (setang sederhana).
Sedangkan ensiklopedia Britannica.com mencatat upaya penyempurnaan penemu Prancis, Ernest Michaux pada 1855, dengan membuat pemberat engkol, hingga laju sepeda lebih stabil. Makin sempurna setelah orang Perancis lainnya, Pierre Lallement (1865) memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg). Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang (Republika.co.id).
Filsafat Sepeda
Ketika orang naik sepeda akan menjaga keseimbangan. Tidak miring ke kanan dan tidak ke kiri posisi tengah-tengah agar sampai tempat tujuan. Di era modern dengan macam-macam paham, kita perlu mengambil sebagai umat pertengahan. Benar-benar di tengah-tengah yang central (Washathan), bukan tengah-tengah agak ke kiri ataupun agak ke kanan ( Wasthon ).
Dengan mencari keseimbangan agar bisa terus bergerak. Anthony Giddens, pemikir asal Inggris, mengatakan, bahwa dunia kita adalah dunia yang tunggang langgang (runaway world). Siapa yang tak siap ikut berlari, pasti akan tertinggal.
Di dunia modern Barat waktu adalah terus maju (linier) kesempatan tidak akan datang dua kali, karena waktu tidak bisa diulang ke masa lalu. Banyak teori yang menjelaskan ketidak mungkinan kita balik ke masa lalu.
Tetapi orang Timur menganggap bahwa waktu itu adalah silkuler bisa berputar kembali. Kadang posisi di bawah, kadang di atas. Ada kalanya kesempatan datang kedua kalinya. Tahun ini kita tidak lulus tes, bisa jadi tahun berikutnya-kan ada tes, bisa jadi ada kesempatan lulus. Jadi waktu terkadang mengingatkan kita seperti kembali ke masa lalu –seperti pernah mengalami seperti ini tapi beberapa tahun yang lalu.
Mana yang bagus diantara waktu linier atau silkuler. Sama-sama bagus, tergantung ruang dan waktu untuk kebutuhan kita. Ada kalanya kita maju terus, dan juga ada kalanya kita berhenti sejenak untuk menegok kebelakang dan muhasabah diri.
Ketika sepeda berjalan, rodanya akan berputar. Sama seperti hidup, jangan terlalu mencemaskan hidup yang mungkin sekarang sedang di posisi bawah. Mungkin dengan usaha dan tantangan hidup yang jalani dapat mengantarkan sampai di atas. Namun, ketika di atas tidak harus bangga dan malah menyombongkan apa yang di miliki. Bisa jadi suatu saat nanti takdir malah akan berubah kembali ke bawah.
Ada ulama sufi di datangi oleh muridnya, sang murid berkata : “wahai guru bolehkan aku menginap di rumahmu?” Jawab sang guru : boleh bahkan aku sudah menyiapkan kamar khusus dengan kasur paling nyaman.
Aku ingin mencari ketenangan di rumah sang guru. Tak di sangka kamar dengan kasur ternyaman yang sudah disiapkan tersebut, diatasnya ada tombaknya, di bawah kasur banyak ularnya. Sang murid justru tak bisa mencari ketenangan. Malah banyak fikiran. Bagaimana jika saat saya tidur tombaknya jatuh. Atau saat saya tidur jatuh ke bawah dan di patok ular.
Pagi-pagi sang ulama sufi bertanya kepada sang murid, bagaimana istirahat semalam nyaman-kan? Sang murid menjawab: Bagaimana bisa nyaman di atas ada tombak dibawah ada ular. Sang ulama sufi bertanya memang kenapa pagi ini saja kamu sehat tidak kenapa-napa. Yang membuat kamu fikiran itu kan kamu sendiri nyatanya enggak ada masalah sampai pagi ini. Kalau belum terjadi ya sudah itu belum terjadi, jangan di fikirkan setidaknya fikiran kita tidak terbagi menjadi 3 masa, memikirkan masa lalu, masa sekarang, dan memikirkan masa depan yang belum terjadi.
Waktu menurut mitos-nya Jawa seperti Cokro Manggilingan. Lingkaran yang berputar, kadang di bawah kadang di atas atau kita bisa mengakali sedikit agar lingkaran itu bisa macet –agar lama di atas, atau agar lama di bawah. Tapi tidak bisa selamanya kita di atas terus-terusan, dan tidak selamanya kita di bawah terus-terusan. Tinggal nunggu kapan waktunya tiba saja.
Untuk menghadapi cokro manggilingan. Kita butuh: ketika di atas jangan kita merasa tinggi dan ketika di bawah jangan merasa rendah tapi ikhlas berusaha untuk ke atas. Sedangkan mitosnya waktu di Yunani adalah Crounos waktulah yang melahirkanmu, tetapi kalau tidak hati-hati waktu yang akan menghentikanmu.