Seni adalah cerminan dari realitas sosial. Kurang lebihnya begitu kata filsuf kenamaan, Plato.
Sejak zaman kuda gigit besi, sejak zaman Ki Benen memang sudah seperti itu. Senimanlah yang merefleksikan zaman. Seniman mengcapture setiap kejadian yang dilalui zaman.
Para peneliti menemukan banyak lukisan yang ditemukan di dinding gua purba. Peneliti meyakini, inilah asal mula seni. Pada zaman orba, beberapa karya dari para seniman hebat kerap dibungkam.
Ya, zaman itu memang sedang ngetrend pembungkaman terhadap kesenian yang dianggap ‘menyentil’ pemerintah. Beberapa contohnya ialah Bengkel Teater pimpinan WS Rendra si Burung Merak dan Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno yang pentasnya dilarang oleh aparat kepolisian karena itu tadi: dianggap ‘menyentil’ rezim yang sedang berkuasa dan dianggap mempropagandai msyarakat untuk melawan.
Bahkan Wiji Thukul yang sampai saat ini belum ditemukan adalah produk otoriternya rezim orba. Sejumlah studi gerakan seni oleh Adnyana (2014), Cahyani dkk (2014), Wijaya (2014), Andryana (2014), Arianto (2011, 2009), dan Zuliani (2009) masih parsial belum menjawab pertanyaan penting kenapa gerakan seni selalu muncul untuk melakukan perlawanan.
Tidak hanya Rendra dan Nano, Iwan Fals, penyanyi balada yang sangat tersohor di negeri ini sempat beberapa kali berurusan dengan pihak berwajib lantaran lagunya yang dianggap menyinggung negara.
Iwan Fals karyanya yang berbentuk lagu terlihat sekali sarat akan akan kritik. Terlepas ia menganggapnya itu sebagai kritik atau bukan, yang jelas orang-orang kerap mengklaim bahwa banyak dari lagu Iwan Fals yang mengkritik pemerintahan kala itu, orde baru.
Tidak hanya Iwan Fals, bahkan ada era 1980an, Rhoma Irama pernah dicekal oleh TVRI karena lagunya membicarakan tentang kekerasan negara terhadap rakyat. Jauh sebelum Rhoma Irama, grup Musik Bimbo juga mengalami hal yang serupa. Mereka dicekal gara-gara lagunya yang berjudul Tante Sun. Lagu tersebut ditafsirkan pemerintah saat itu sebagai sindiran untuk istri para pejabat.
Sejarah akan terus berulang, begitu kira-kira. Ya, hari ini, kita melihat pemerintah seolah mengamini hal tersebut. Belakangan, beberapa karya seni yang berbentuk mural yang bernada kritik, dihapus oleh yang pihak yang berwenang.
Setelah dihapus, sebetulnya bukan benar-benar dihapus, tapi ditiban lagi pakai cat, tembok yang sebelumnya artsy, malah menjadi jelek. Menurut KBBI sendiri, Vandalisme itu kurang lebih artinya merusak karya seni.
Jika ditimbang-timbang, justru yang dilakukan pihak berwenang adalah tindakan vandalisme. Apakah yang dilakukan pihak berwenang termasuk vandalisme? Hmm… silakan tafsirkan sendiri di hati masing-masing. Namun, anehnya mural di Tangerang yang berbunyi Jokowi 404: not found yang dihapus atau ditiban hanya wajah pak Jokowinya saja, gambar tulisan grafiti di sampingnya dibiarkan. Ada apa ini sebenarnya?
Mural sebagai alat perlawanan dan propaganda sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para pejuang kita dulu. Kalau kita menonton kembali video-video dokumenter zaman penjajahan, akan banyak terlihat coretan-coretan yang bernafaskan perlawanan terhadap penjajah di tembok-tembok jalan.
Lalu, harus di mana para seniman menyuarakan kritiknya? Berdemonstrasi sudah barang tentu tidak diperbolehkan karena sedang PPKM, bersuara lewat seni mural malah disuruh hapus dan dijerat KUHAP lewat tulisan malah medianya yang dibredel dengan pedang UU ITE. Demokrasi macam apa ini?
Namun, jika dibandingkan dengan baliho-baliho tidak penting yang memajang foto para politisi dengan ‘janji-janjinya’ mural akan terlihat lebih humanis dan estetik tentunya. Sayangnya, pemerintah kita jauh dari sense of art, makanya takut dengan karya mural para seniman. Bahkan, yang lebih mengerikan, postingan di sosial media pun dapat menjerat kita dengan pedang UU ITE. Sungguh mengerikan.
Masih ingat lagu Iwan Fals yang berjudul Coretan di Dinding? Lirik di awal lagu tersebut nampaknya relevan dengan keadaan sekarang:
Coretan di dinding membuat resah// Resah hati pencoret mungkin ingin tampil// Tapi lebih resah pembaca coretannya// Sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam// Yang terpojok di tiap tempat sampah// Di tiap kota..
Ya, hari ini, sejarah berulang.